BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Perkara DPR, Pembuktian KPK

Perkara DPR, Pembuktian KPK

Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 13.30


Oleh Zainal Arifin Mochtar



Menuntaskan perkara dalam term mengejar semua pelaku sehingga tidak terkesan tebang pilih dan kemudian menahan serangan."

Pengajar ilmu hukum di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta; Direktur Pukat Korupsi FH UGM Yogyakarta ACUNGAN jempol apre siatif terhadap Komisi Pemberantasan Koru psi (KPK) layak diberikan. Betapa tidak? Setelah ditunggu sekian lama oleh publik, DPR akhir nya menetapkan 26 orang mantan (ada juga yang masih aktif) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai tersangka baru kasus skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Kasus yang cukup dikenal luas oleh publik karena kasus itu menyeret beberapa nama politikus senior dari beberapa partai tertentu. Bukan hanya itu, ada juga pemeriksaan terhadap istri mantan pati Polri yang diduga sebagai pembawa uang. Bahkan, masih ada juga selentingan berita soal peng usaha besar yang bermain di belakangnya dan menyediakan uang untuk memenangkan sang kandidat.

Kasus itu tentu saja bukan sepele. Itu merupakan potret nyata penjualan kewenangan yang dilakukan pejabat negara untuk mendapatkan pelayanan berlebih dari pejabat negara yang diinginkan pengusaha. Dalam konteks itulah, pengusaha akan mendapatkan fasilitas berlebih dari pejabat negara yang akan menduduki jabatan tersebut. Itulah potret state captured corruption. Bentuk korupsi ganas yang memamah independensi pejabat publik, menyandera posisi mereka, serta mereka akhirnya `wajib' menggunakan kewenangan mereka ke arah yang diinginkan penyandang dana. Tuntaskan! Karena itu, KPK memang wajib menyeriusi perkara itu. Perkara itu memang masih jauh dari kata selesai. Jumlah tersangka masih jauh dari yang ideal. Dalam ingatan pu blik, ada banyak mantan anggota DPR lainnya yang juga menikmati uang suap tersebut.

Jumlah 26 orang tersangka baru, ditambah dengan dengan beberapa terdakwa lama, belumlah menunjukkan jumlah sesungguhnya. Dalam pengakuan the whistle blower, si pengungkap kasus, Agus Condro, ada anggota DPR la innya yang juga seharusnya bertanggung jawab untuk itu.

Bukan hanya kepada para mantan anggota DPR-nya, melainkan juga pemberi uang dan penyadang dana serta siapa yang diuntungkan dengan penyuapan tersebut. KPK harus bekera keras untuk menunjukkan semua yang bertanggung jawab dalam perkara tersebut.

Pemberi uang yang sedang lari ke luar negeri dengan alasan sakit harus diseriusi. KPK ha rus memeriksa kadar sakit yang diakui mereka, seperti menyediakan tim dokter yang lebih independen untuk memeriksa pengakuan sakit yang dilakukannya. Keseriusan dilakukan untuk segera menarik si pemberi uang ke Indonesia agar lebih mudah diproses secara hukum.

Dari situ juga akan lebih terlihat peran penyandang dana dan pejabat yang paling diuntungkan karena dengan suap tersebut maka dengan mudah ia menduduki jabatan publik tertentu. Bahkan dengan logika paling standar pun,

kita akan p a h a m bahwa mustahil ada orang yang mau yang mau menyediakan dana puluhan miliar untuk memenangkan seseorang untuk mendu duki jabatan tertentu tanpa pernah membicarakan perihal kebutuhan masing-masing serta janji-janji yang harus dipenuhi sebagai bagian dari kesepakatan untuk menjadi penyandang dana proses suap-menyuap.
Waspada serangan Sembari menyeriusi perkara, KPK wajib untuk waspada akan serangan mengingat beberapa yang terlibat adalah tokoh penting di negeri itu. Adanya pihak DPR tentunya menjadi mudah untuk mencium jejak partai politik di belakangnya. Makanya, beberapa petinggi partai politik tertentu yang tiba-tiba menyambangi KPK haruslah dipandang pada konteks yang lebih luas. Terlalu naif jika memandangnya ha nya sebagai silaturahim biasa. Mudah membacanya sebagai tekanan politik karena pada saat yang sama DPR juga punya peran dalam menggodok beberapa hal penting berkaitan dengan KPK.

Salah satunya adalah menggembosi komisioner KPK. Ada dua pola yang bisa dilakukan partai politik. Mendorong lanjutan kriminalisasi dua komisioner KPK dan membajak satu komisioner terpilih KPK.

Serangan parpol atas kriminalisasi KPK sangat mudah terbaca ketika beberapa petinggi partai politik sangat getol mendorong pelanjutan `kriminalisasi' KPK.
Dalam berbegai komentar, beberapa petinggi parpol memperlihatkan `wajah' jengkel dan marah terhadap KPK. Hal yang kurang lebih sama dan sebangun mereka lakukan untuk meminta kejaksaan untuk melanjutkan kasus BibitChandra.

Kita masih ingat benar, betapa riuh tepuk tangan para anggota DPR ketika mendengar cerita Kapolri perihal bukti rekaman percakapan yang menunjukkan bukti keterlibatan Bibit-Chandra.
Tetapi, ketika Kapolri berbohong dan hingga saat itu tidak kunjung menampilkan bukti tersebut, bahkan meralat menjadi hanya memiliki catatan pembicaraan, hanya segelintir anggota DPR yang marah karena merasa dibohongi.
Yang lainnya tidak menunjukkan reaksi apa-apa karena rasa kebencian yang berlebih terhadap KPK.
Bodohnya, beberapa anggota DPR yang memang menunjukkan ada beberapa petinggi partai dan anggota DPR yang menghendaki agar KPK dikriminalisasi.

Serangan yang tidak kalah berbahayanya adalah menggembosi proses pemilihan komisioner KPK.
Seperti kita ketahui, DPR benarbenar merasa kesulitan dengan dua pilihan komisioner yang disodorkan pansel.

Siapa pun yang terpilih tentunya bisa menjadi simbol kemenangan bagi gerakan pemberantasan korupsi. Itu berpeluang membuat KPK akan semakin ganas. Hal tersebut berarti potensi petinggipetinggi partai politik di DPR akan semakin terancam ketika KPK akan makin ganas.

Kehendak untuk menolak dan membatasi durasi calon terpilih adalah dua dari sekian banyak indikasi yang dapat dibaca sebagai upaya menggembosi hasil komisioner yang dipilih pansel.
Padahal, perihal penolakan, tentunya DPR sadar bahwa mereka tidak memiliki kewenangan untuk menolak pilihan pansel. Bahasa UU KPK yang jelas-jelas membatasi DPR `wajib memilih' dari pilihan yang diberikan pansel menunjukkan secara eksplisit, DPR tidak punya kewajiban untuk memilih. Hal yang pastinya berbeda jika bahasanya adalah `menyetujui', seperti pada beberapa kewenangan DPR lainnya.
Kata menyetujui berarti include di dalamnya kewenangan untuk tidak menyetujui.

Meski sadar akan hal tersebut, herannya, beberapa petinggi partai tetap saja menyuarakan penolakan. Tentunya itu hadir dari analisis `alasan pembenar ' dan bukan alasan yang benar. Hal yang dicari-cari hanya untuk membenarkan sikap beberapa orang DPR yang memang ingin menggembosi KPK. Hal yang sama terlihat dari alasan durasi komisioner terpilih. Sangat patut dicurigai, pandangan itu mengemuka karena melihat potensi kedua calon yang akan cukup beringas menegakkan pemberantasan korupsi termasuk ketika akan berhadap-hadapan dengan DPR. Makanya, DPR mencoba memangkas durasinya.

Meski calon itu masih terus memaki KPK bahkan di ruang maya. Hal hanya bersi fat mengganti, bukan b e r arti DPR bisa menegasikan UU KPK.

Pasal 34 UU TIYOK KPK menegaskan masa jabatan semua komisioner KPK yang empat tahun.Hal yang berarti harusnya diterjemahkan sebagai keseluruhan komisioner KPK, termasuk yang bersifat sebagai pengganti.
Apalagi, secara teoretis Milakovich dan Gordon sebagaimana dikutip F Funk dan Richard Seamon (2001), mendalilkan lembaga-lembaga negara independen mempunyai beberapa ciri yang di antaranya adalah kolegialitas kepemimpinan yang berimplikasi pada kesetaraan p a r a komisioner, serta durasi masa jabatan yang defenitif. Arti nya, seharusnya para komisioner itu setara yang bukan hanya pada kewenangan, melainkan juga hak dan kewajiban untuk menduduki jabatan secara waktu definitif seperti yang dikehendaki UU, yakni empat tahun.

Bahkan, yang paling lucu adalah upaya beberapa petinggi partai politik untuk membawa ke arah pertarungan politik dengan mengatakan mengapa hanya partai politik tertentu yang dikejar dalam kasus itu. KPK tidak boleh terpengaruh. KPK tetap harus berada pada jalur. Jika pada kasus itu melibatkan mayoritas petinggi partai oposisi, kita menunggu kegarangan KPK untuk petinggi partai penguasa. Kasus Century dan kasus yang ditengarai melibatkan petinggi partai Demokrat di kasus Abdul Hadi Jamal harus dilanjutkan.

Kerja harus dilakukan. Publik akan mencoba mengawal kepen tingan-kepentingan KPK, termasuk un tuk mendapatkan komisioner yang baik seiring de ngan upaya KPK untuk membuk tikan diri.

Kita tentu akan terus memercayai KPK dan mendukung KPK sepanjang mampu dan mau u n t u k melakukan keduanya.

Menuntaskan perkara dalam term mengejar semua pelaku sehingga tidak terkesan tebang pilih dan kemudian menahan serangan dengan cara membuktikan kepada siapa pun bahwa bukan hanya partai tertentu yang akan dihajar KPK. Kita semua salut dengan KPK, sembari menunggu pembuktian keseriusan KPK untuk mengenyahkan ko rupsi di republik ini.


http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/09/06/ArticleHtmls/06_09_2010_027_001.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: