Penulis Dan Prajurit
Heboh tulisan Kolonel Adji Suraji yang dimuat harian kompas 5 September 2010 lalu menimbulkan banyak opini. Komentar-komentar yang saya baca di media online dan berbagai milis menunjukkan Kol. Adjie mendapat dukungan yang sangat luas seperti dialami orang-orang yang diperiksa lainnya.Memang dukungan terhadap Kolonel Adjie belum seluas dukungan terhadap penulis email Prita Mulyasari, kriminalisasi pimpinan KPK Bibit-Chandra atau penahanan Susno Duaji. Tetapi sentimen masyarakat memang sulit ditebak. Namun apapun yang terjadi, ada pelajaran yang bisa diambil di lembah patahan (cracking zone) yang tengah terjadi di Indonesia. Apa itu?
Pribadi Menjadi Publik
Anda yang berusia 40 tahunan ke atas mungkin masih ingat, masa remaja Anda diisi dengan buku harian (diary) yang halamannya berwarna, dan beberapa diary dilengkapi dengan kunci sehinggga buku pribadi itu bisa digembok. Buku harian adalah tempat Anda mencurahkan segala perasaan Anda terhadap siapa saja yang menjadi rahasia hidup Anda.Pikiran dan opini disimpan, dan tidak bisa dipaparkan secara terbuka.Lain generasi, lain pula perilakunya. Apa yang dilakukan masyarakat di era social media saat ini berkebalikan sama sekali. Diary dituangkan dalam bentuk tulisan di blog yang bisa dibaca dan diakses oleh siapa saja. Di berbagai blog, bahkan di “wall” masing-masing Facebook saya sering menyaksikan keluh kesah suami pada istrinya atau sebaliknya, anak kepada orang tua, atau yang tersering rakyat kepada pemimpinnya. Tak ketinggalan juga caci maki pembaca kepada penulis-penulis opini terkenal disamping pujian-pujian dan kekaguman-kekaguman tentunya.Segala
sesuatu yang semula bersifat pribadi kini terbuka. Kolonel Adji tentu bukan remaja baru kemarin yang dibentuk dari sejarah keterbukaan.
Ia bukan generasi digital pribumi (native digital), melainkan imigran digital (pendatang di dunia digital) yang sama statusnya dengan saya dan sebagian pembaca. Kalau Anda rajin mengamati fenomena pesta blogger di berbagai kota di negeri ini, Anda akan menyaksikan, rata-rata blogger itu berusia 20-30 tahunan. Tetapi bukan tak ada yang berusia 40-50an. Generasi pendatang ini adalah generasi transisi yang – maaf – serba kasihan dan kagok. Kalau tidak ikut terbuka dianggap kuno dan ketinggalan, tetapi begitu ikut, bisa jadi setengah ngawur, dan lebay (berlebihan). Tetapi menjadi orang yang tertutup, jaim, sok tahu, mendiamkan persoalan, tak mau ambil pusing, Cuma asyik memikirkan karir saja – jelas bukan pilihan yang menarik bagi generasi ini.Celakanya, satu generasi sedikit di atas kita masih bertengger orang-orang yang terbiasa memimpin Top-Bottom, dengan nilai-nilai kesetiaan (loyalitas), taat-diam, jalankan saja, tutup mata, dan seterusnya. Di
bawah, generasi-generasi baru adalah generasi yang seolah-olah Asri (Asyik Sibuk Sendiri), tetapi mereka sangat partisipatif, berisik (banyak opini), terbuka, dan suka-suka. Kata setia menjadi ujian dalam banyak hal, namun nasionalisme mereka belum tentu kalah dengan generasi “45”.Inilah yang membuat generasi transisi serba terjepit.
Kalau saya baca tulisan Kolonel Adjie, sepintas saya melihat tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tulisan itu masih dalam batas-batas kewajaran dan sopan santun. Ia hanya minta perhatian sebagaimana yang dituntut mayoritas bangsa ini, yaitu pemberantasan korupsi. Ia menuntut janji presiden yang diucapkan saat kampanye. Untuk itulah ia menuntut adanya keberanian, sebab tanpa keberanian tak ada perubahan. Ia pun menaruh harapan yang tampak pada kalimat penutup tulisannya. Ini berarti Kolonel Adjie tetap repek pada panglima tertingginya.
Dilema Penulis Muda
Meski berpangkat Kolonel, di kalangan kolomnis, nama Adjie Suradjie bukanlah sosok penulis yang banyak dikenal. Dapat dikatakan ia adalah pemula yang masih harus membangun “personal brand” agar tulisannya dibaca atau dilirik orang. Penulis-penulis muda biasanya tergoda untuk menulis secara lepas dan menunjukkan keberaniannya dengan sedikit galak, bahkan tak sedikit yang berwacana ngawur. Yang penting kelihatan berani. Dalam tulisan Adjie di Kompas, saya tidak melihat ia ngawur, namun terlihat ia berani.Berani bukan tampak dari tulisannya, melainkan saat ia menjelaskan siapa jati dirinya. Di tulisan itu tertera keterangan bahwa ia adalah anggota TNI AU. Di sinilah letak masalahnya.
Saya kira hal ini bukanlah masalah Adjie semata-mata, melainkan masalah kaum intelektual bangsa yang bekerja terikat pada institusinya. Sebagian besar kolomnis Indonesia adalah karyawan yang bekerja sebagai dosen dan terikat dengan universitasnya, guru yang bekerja untuk sekolahnya, atau PNS pada berbagai departemen. Barangkali, hanya budayawan dan seniman, atau pengusaha dan profesional (ahli) tertentu saja yang tak bekerja pada orang lain.Akan lain halnya misalnya bila di kolom itu, Adjie menulis dirinya sebagai pengamat perubahan atau pakar perubahan. Yang jelas pembaca pasti memerlukan title, karena title menentukan derajat kepercayaan terhadap isi tulisan.
Tetapi title apakah yang bisa ditulis penulis-penulis atau intelektuil-intelektuil yang baru muncul di media massa? Pengamat? Apakah ia bisa benar-benar mengamati bidang ini terus menerus? Pakar? Pembaca pasti bertanya, apa dasarnya kita memberi title kepakaran seseorang kecuali karya-karyanya sudah tampak kasat mata terbaca luas?Maka biasanya media kembali pada di mana seseorang bekerja. Namun begitu atasan ikut membaca dan tulisan itu bisa ditafsirkan lain, urusannya bisa menjadi panjang. Di TNI-AU sendiri harus diakui budaya menulis dan intelektualitasnya dapat dikatakan tinggi. Kita tahu, mantan KSAU Marsekal Chappy Hakim adalah penulis dan pengamat yang sangat produktif dan dihormati. Semasa aktif di TNI ia pun aktif mendorong kolega-koleganya menulis buku. Jadi Kolonel Adjie bukanlah pembangkang yang perlu dikhawatirkan.Namun yang perlu diwaspadai adalah manakala budaya menulis di TNI-AU itu mati atau meredup.
Budaya ini biasanya mati manakala orang-perorangan sudah tidak peduli lagi dengan nasib bangsa dan hanya asyik dengan karirnya sendiri. Yang penting jadi pejabat, jadi Jendral, Marsekal, Laksamana, Deputy, Panglima, atau Kepala Staff. Untuk duduk di posisi-posisi itu yang dibutuhkan seakan-akan Cuma loyalitas dan kepatuhan.Nah begitu konsentrasi orang hanya ke sana, celakalah para intelektual dan penulis. Mereka akan dianggap sebagai ancaman dan sosoknya menjadi terlihat aneh. Penulis dan intelektual dikenal luas di luar, tetapi di dalam pangkatnya susah naik, dan tak jarang mereka hidup terteror, difitnah, dianggap bodoh, sok tahu, dan seterusnya. Tetapi semua itu hanyalah cermin ketakutan dan ketidakberdayaan hirarki terhadap tajamnya pena seorang penulis atau kolumnis.Kalau Adjie Suradji sukses dan terus mengarah penanya, ia justru akan menjadi penulis hebat dan kelak orang-orang yang menistakannya dapat mengatakan, “Dia itu teman saya.” Tetapi
sebaliknya, dalam politik subordinasi, seorang penulis yang menjadi karyawan yang belum jadi, ya teman-temannya bisa saja berujar, “Siapa dia?”Pengalaman saya sebagai kolomnis dan juga pengalaman-pengalaman kolomnis-kolomnis lainnya menunjukkan perlunya kegigihan dalam memperjuangkan kebenaran. Sebagai bawahan kita semua mengalami masa-masa yang sulit. Tulisan kita bisa dianggap biasa-biasa saja, meski di luar banyak pihak mengkliping dan memberi apresiasi, bahkan media massa terus memberi tempat dan semangat. Saya juga sering melihat pegawai bank yang tulisannya diapresiasi publik dan media massa memberi dia gelar pakar atau pengamat perbankan, namun saat mengunjungi kantornya saya sering merasa kasihan.
Ia cuma dianggap pegawai biasa dan dalam sejumlah hal dianggap ancaman bagi atasan-atasannya atau dianggap sok tahu oleh teman-temannya. Semua itu terjadi karena adanya rivalitas.Namun terlepas dari itu semua, intelektualitas dan kepakaran seorang penulis tentu perlu dibuktikan dengan kesungguhannya berkarya dan menjaga integritasnya. Banyak pantangan yang harus dilakukan agar apa yang ditulis bahkan sekedar baik bila dilakuakan orang lain (pemimpin), melainkan juga melekat pada diri yang bersangkutan. Saat menuntut pemberantasan korupsi misalnya kita pun harus teguh menolak suap dan bekerja keras memberantasnya dalam hidup pribadi kita.
Saat menuntut Presiden agar teguh dan berani melakukan perubahan, kita pun perlu melakukannya dalam hidup dan perjuangan kita. Ketika menyuarakan kedamaian, tak ajal kita pun harus berperilaku damai.Semua itu ada ujiannya, dan ada fitnah-fitnahnya. Hadapi saja, sebab hanya di bawah api yang membara, dan godam yang ditempa terus-menerus lah sebatang besi berubah menjadi baja yang kuat dan mengkilat.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/350136/34/
Penulis Dan Prajurit
Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 12.53
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar