BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mudik Lebaran dengan Sepeda Motor

Mudik Lebaran dengan Sepeda Motor

Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 13.22

Tulus Abadi,ANGGOTA PENGURUS HARIAN YLKI DAN ANGGOTA DEWAN TRANSPORTASI KOTA JAKARTA

Hari Raya Idul Fitri tanpa mudik ke kampung halaman rasanya kurang afdol. Bagi masyarakat perkotaan, mudik bahkan telah menjadi senyawa atas perayaan Lebaran itu sendiri. Tahun ini diperkirakan 17,4 juta orang menyemut ke kampung halaman, dengan berbagai moda transportasi. Bahkan, menurut Menteri Perekonomian Hatta Rajasa, semua moda mengalami peningkatan jumlah penumpang. Jumlah angkutan jalan naik menjadi 5,43 juta (dari 5,38 juta), angkutan sungaidanau-penyeberangan naik menjadi 3,69 juta (dari 3,25 juta), angkutan kereta api naik menjadi 3,18 juta (3,13 juta), angkutan laut naik menjadi 1,24 juta (dari 1,11 juta). Jumlah angkutan udara mengalami peningkatan paling pesat, hingga 15 persen. Sementara pada 2009 jumlahnya hanya 1,71 juta, pada 2010 menjadi 1,97 juta penumpang.

Yang amat mencengangkan adalah fenomena mudik dengan sepeda motor. Dari tahun ke tahun, jumlahnya melambung signifikan. Terbukti, masih menurut Hatta Rajasa, jumlah pemudik bersepeda motor diperkirakan mencapai 3,6 juta jiwa (pada 2009 hanya 3,1 juta). Klaim Hatta ini bahkan dianggap terlalu “tradisional”. Sebab, menurut prediksi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), secara nasional jumlah pemudik bersepeda motor mencapai lebih dari 7 juta. Mudik dengan sepeda motor tampaknya sudah menjadi trend setter di sebagian besar pemudik. Ironisnya, pemerintah tampaknya gagal membendung atau setidaknya mengantisipasinya agar tidak membludak.

Lalu apa sejatinya yang mendorong sebagian masyarakat begitu “antusias”mudik dengan sepeda motor? Alasan efisiensi paling lazim dikemukakan, baik itu efisiensi waktu maupun efisiensi ekonomi. Faktor pasar tumpah, infrastruktur jalan rusak, dan/atau perilaku pengguna kendaraan itu sendiri sering menjadi penyebab timbulnya kemacetan berjam-jam. Nah, dengan sepeda motor, manuver untuk menghindari kemacetan terbilang lebih fleksibel. Selain itu, efisiensi ekonomi amat dirasakan. Nyaris tak ada moda transportasi yang bisa mengalahkannya. Bayangkan, hanya dengan modal beberapa puluh ribu rupiah, pemudik sudah bisa mendarat di kampung halaman. Sementara itu, jika

menggunakan angkutan umum, selain terjebak kemacetan panjang, tarifnya lebih mahal, belum lagi kena pungli oleh awak angkutan dengan alasan “untuk tambahan THR”. Sepeda motor juga bisa digunakan untuk moda transportasi selama bersilaturahmi di lokasi mudik. Manfaat sepeda motor amat dirasakan karena minimnya akses angkutan di pedesaan.

Lebih dari itu, sepeda motor juga merupakan simbolisasi keberhasilan selama “nyantri”di perkotaan. Perkara sepeda motor dibelinya dengan cara mencicil atau kontan, itu tak menjadi soal. Berbagai kemudahan untuk mendapatkan sepeda motor juga menjadi pemicu pemudik untuk menggunakan sepeda motor.

umum tak bisa diandalkan, baik dari sisi kapasitas, kelaikan, keterjangkauan tarif, maupun ketepatan waktu tempuh. Artinya, mereka menggunakan sepeda motor sebenarnya karena terpaksa.Tapi, jangan lupa, jikapun mereka disuruh berpindah ke angkutan umum, dipastikan angkutan umum yang tersedia tak akan mampu mengangkutnya. Dengan moda angkutan umum jenis apa pun, pemerintah akan klenger mengakomodasi pemudik yang bersepeda motor.

Namun, toh, kendati mengantongi berbagai kelebihan, fenomena mudik dengan sepeda motor tetap harus diwaspadai oleh semua pihak. Betapapun efisiennya, sepeda motor bukanlah sarana transportasi yang ideal untuk moda transportasi alternatif.
Apalagi untuk urusan mudik, yang menempuh jarak ratusan kilometer, plus membawa muatan melebihi kapasitas.
Tingkat kecelakaan selama arus mudik de ngan korban meninggal mayoritas pengguna sepeda motor. Data juga menunjukkan, baik yang dimiliki kepolisian maupun Jasa Raharja, jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas 70 persen adalah pengguna sepeda motor.

Silakan menghitung, berapa jumlah korban meninggal dari pengguna sepeda motor per harinya jika di Indonesia 30 ribu orang meninggal di jalan raya per tahun. Atau, selama arus mudik kemarin (2010), lebih dari 800-an orang meninggal (data MTI).

Harus ada jalan keluar yang komprehensif untuk mengatasi hal ini.

Boleh saja pihak agen tunggal pemegang merek mengangkut sepeda motor milik pemudik dengan truk. Lebih dari 10 truk dikerahkan untuk mengangkut sepeda motor, sementara pemiliknya diangkut dengan bus. Atau bahkan pemerintah yang mengangkut dengan kereta api atau kapal laut. Tapi, pertanyaannya, apakah terobosan itu mampu mengangkut mayoritas sepeda motor milik pemudik? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab, terbukti, sepeda motor yang terangkut; baik dengan truk, kereta api, atau bahkan kapal laut, kurang dari 10 persen dari total pemudik yang menggunakan sepeda motor. Idealnya, pemerintah menekan di sisi hulu, baik pada aspek marketing maupun aspek promosi penjualan sepeda motor yang amat jor-joran.

Membludaknya penggunaan sepeda motor sebagai sarana mudik merupakan bukti nyata bahwa secara empiris faktor keselamatan dalam bertransportasi masih ditempatkan pada tong sampah. Paradigma “yang penting terangkut”justru menjadi jargon utama, dan pertama. Proses pembiaran ini seharusnya tak boleh dibiarkan berlarut oleh siapa pun, terutama oleh pemerintah, pihak industri otomotif, bahkan masyarakat. Betapapun sepeda motor mengantongi beberapa nilai plus (entah untuk urusan mudik atau bahkan sarana transportasi dalam kota), sejatinya tak sebanding dengan kerugian sosial-ekonomi yang dialami oleh pengguna, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan bahkan lingkungan global sekalipun. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/09/07/ArticleHtmls/07_09_2010_011_009.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: