BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memaknai Putusan MK

Memaknai Putusan MK

Written By gusdurian on Senin, 27 September 2010 | 13.45

Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

Jaksa Agung dipecat oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD lebih cepat dari rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Mahfud menyatakan, sejak Mahkamah Konstitusi memutuskan masa jabatan Jaksa Agung, Rabu (22/9) pukul 14.35, Hendarman Supandji bukan Jaksa Agung dan tugasnya dilaksanakan oleh Wakil Jaksa Agung. Hebat. Pemecatan Jaksa Agung dan penugasan wakilnya tanpa keputusan presiden. Putusan MK Nomor 049/PUU-VIII/2010 memuat amar ”masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”. MK tak mengadili Hendarman dan putusannya tidak expressis verbis mengakhiri masa jabatan Jaksa Agung.

Penafsiran Mahfud berbeda dari hakim Maria Farida. Menurut Maria, Hendarman tak serta-merta inkonstitusional dan ilegal karena tidak berhenti saat berakhirnya kepresidenan 2004-2009 (Oktober 2009). Saat itu MK belum memastikan masa jabatan Jaksa Agung seumur kabinet.

Konvensi ketatanegaraan

Sebetulnya pertimbangan MK kabur. Dalam persidangan terungkap, pembahasan RUU Kejaksaan 2004 tidak menegaskan berapa lama masa jabatan Jaksa Agung. MK menyatakan, penyusun UU dari kalangan DPR dan pemerintah menyepakati bahwa Kejaksaan adalah ”lembaga pemerintah”, padahal UU itu tegas menyebutnya ”lembaga pemerintahan”.

Tak sahih pula cara MK merujuk konvensi ketatanegaraan. Menurut MK, ”sejak tahun 1961 Jaksa Agung selalu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden di awal dan di akhir kabinet, kecuali terjadi reshuffle kabinet dan Jaksa Agung digantikan dengan pejabat yang baru. Namun, pejabat yang baru ini hanya akan meneruskan sisa masa jabatan Jaksa Agung yang digantikannya”.

Sejarah itu bertunduk pada implementasi primary rule bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah prerogatif Presiden petahana. Selain itu, Jaksa Agung Singgih menjabat pada 1987-1996 dalam beberapa periode jabatan Presiden Soeharto (1983-1988, 1988-1993, 1993- 1998). Sebelumnya, Jaksa Agung Soeprapto (1950-1959) tidak diangkat berkali-kali meski kabinet silih berganti.

Putusan MK hendak mengatur masa jabatan Jaksa Agung lebih definitif dengan cara mendudukkan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet. Padahal, Kejaksaan diatur legislatif meski fungsinya terkait yudikatif (Pasal 24 UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman 2004). UU Kejaksaan menegaskan, fungsi pokok Kejaksaan adalah melaksanakan kekuasaan negara untuk menuntut hukuman dan fungsi itu harus dijalankan secara merdeka (Pasal 2). Kejaksaan menyandang independensi kelembagaan.

Maka, Kejaksaan disebut lembaga pemerintahan atau berjenis eksekutif, tetapi bukan bagian dari lembaga kepresidenan (presidency). Independensi Kejaksaan ditandai oleh kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara, yang sumber perekrutannya bukan hanya pejabat karier dalam hierarki Kejaksaan. UU Kejaksaan tidak mengharuskan Jaksa Agung dari jaksa aktif (PNS). Jaksa Agung mirip hakim agung karena bisa berasal dari luar institusi, pensiunan, atau karier.

”Juristocracy”

Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jaksa Agung tidak mengangkat dan memberhentikan diri sendiri meski boleh meminta berhenti. UU Kejaksaan 2004 menentukan, Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat oleh Presiden apabila ”berakhir masa jabatannya”. Ketiadaan angka definitif pada masa jabatan itu diuji oleh MK. Sebetulnya ketiadaan angka definitif itu unimplementable dilihat dari jarak waktu, tetapi tetap bermakna bahwa masa Jaksa Agung menjabat bertunduk pada pemberhentian oleh Presiden.

Ternyata MK mendudukkan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet sehingga masa jabatannya dibatasi konvensi tentang keanggotaan kabinet, yaitu paling lama seumur kabinet atau kalau saat sedang menjabat ia diberhentikan oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan.

Akan tetapi, UU MK menyatakan putusan MK berlaku sejak dibacakan di muka umum. Putusan MK tidak berlaku surut (nonretroaktif). Masa jabatan Jaksa Agung versi MK berlaku dan diimplementasikan setelah putusan dibacakan. Jadi, Jaksa Agung saat ini akan mengakhiri jabatannya pada akhir masa jabatan Presiden tahun 2014 atau kalau ia diberhentikan oleh Presiden.

Pemahaman tersebut sesuai dengan sejumlah prinsip dan hukum konstitusi serta doktrin yudikatif. Konstitusi mengandung prinsip distribusi kekuasaan. Pengadilan berkuasa melakukan ajudikasi, pada umumnya tentang fakta hukum empirik (decision on empirical facts). Namun, pengujian UU di MK adalah tentang norma hukum (normative facts). Jadi, sifat erga omnes (berlaku umum) putusan MK bermakna bahwa yang sah (valid) berlaku umum adalah norma untuk diimplementasikan pasca-putusan, bukan automatically having legal efficacy sejak pra-putusan. Ke depan, seseorang menjabat Jaksa Agung paling lama seumur masa jabatan Presiden atau kalau diberhentikan oleh Presiden dalam masa jabatan kepresidenan.

Peradilan mengenal principle of judicial restraint. Hakim seharusnya menahan diri tentang persoalan yang bukan kompetensinya. Kalau perkara itu termasuk kompetensinya, pengadilan dilarang menolak mengadili dengan alasan tidak ada hukumnya. Kompetensi MK menguji UU dan dapat membatalkannya. Akan tetapi, UUD 1945 dan UU mana pun tidak memberikan wewenang MK memberhentikan Jaksa Agung. Menafsirkan putusan MK aquo memiliki empirical and immediate legal efficacy berarti memaksa pengawal konstitusi itu bermain juristocracy, bukan demokrasi.

Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas HukumUniversitas Gadjah Mada Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/24/03534831/memaknai.putusan.mk
Share this article :

0 komentar: