SEPANJANG pekan lalu, sebelas anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia punya tugas tambahan. Mereka menggelar rapat khusus, -meneli-sik kembali dokumen dokumen lama. Satu demi satu laporan penyelidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia, kliping media, juga berkas pengaduan lama, dibersihkan dari debu, lalu dibaca ulang.
"Kami diminta memeriksa latar belakang calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia dari perspektif hak asasi manusia," kata Ketua Komisi Nasional Ifdhal Kasim. Permintaan itu datang dari Komisi Kepolisian Nasional, awal September lalu. Menurut Undang Undang Kepolisian, komisi ini punya tugas memberikan pertimbangan tentang pencalonan Kepala Polri.
Komisi Kepolisian juga mengirimkan permintaan serupa ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Badan Intelijen Negara. "Kami perlu masukan dan klarifikasi dari lembaga lembaga itu," kata Ketua Komisi Djoko Suyanto.
Rekomendasi lembaga lembaga itu bakal menjadi penentu calon pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Perlu semacam penjelasan dan klarifikasi dari lembaga lembaga ini bahwa para calon bebas dari masalah hukum dan hak asasi manusia," kata Yudhoyono, ketika berbicara di depan sejumlah wartawan di Istana, sehari sebelum Lebaran.
Delapan nama calon Kepala Polri dalam daftar Komisi Kepolisian adalah Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani, Komisaris Jenderal Gorries Mere, Komisaris Jenderal Ito Sumardi, Komisaris Jenderal Nanan Soekarna, dan Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo (ketika diajukan masih berpangkat inspektur jenderal). Di belakangnya masih ada Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Timur Pradopo dan Kapolda Sumatera Utara Inspektur Jenderal Oegroseno. Komisaris Jenderal Susno Duadji, eks Kepala Badan Reserse Kriminal yang kini jadi tersangka kasus mafia hukum, juga tercantum.
Dari sederet nama itu, seleksi internal Markas Besar Kepolisian hanya meloloskan dua calon: Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo (Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan) dan Komisaris Jenderal Nanan Soekarna (Inspektur Pengawasan Umum). Se-akan hendak menegaskan calon yang lebih disukai-nya, awal pekan lalu, Kepala Kepolisian Negara Jenderal Bambang Hendarso Danuri menaikkan pangkat Imam Sudjarwo menjadi jenderal bintang tiga. Sejak itu peluang Nanan mulai redup.
Prediksi banyak orang tentang mulusnya jalan Imam Sudjarwo menuju kursi Tribrata 1 diperkuat oleh pernyataan sejumlah tokoh di lingkaran dalam SBY. Hampir semua menilai Imam figur yang loyal pada atasan, tidak berpolitik, dan relatif bersih.
Peta ini sedikit bergeser setelah lima lembaga yang dimintai pertimbangan mulai mengirimkan hasil verifikasi dan re-komendasinya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, misalnya, terang terangan meminta Presiden memilih Kapolri yang mendapat perolehan skor terbaik dalam perspektif hak asasi manusia. Nah, kandidat yang paling mumpuni, menurut Komnas HAM, adalah Nanan Soekarna.
"Dari sisi kognisi atau pemahaman atas perspektif hak asasi manusia, sisi perilaku dan sisi terkait tidaknya dengan pelanggaran hak asasi, Nanan mendapat skor tertinggi," kata Ifdhal Kasim. Mengenai "kompetitor" nya, "Imam berkarier di Brimob, yang merupakan unit semimiliter di kepolisian," kata Ifdhal. "Kami menilai pendekatannya terhadap kasus hukum cenderung menggunakan kekerasan."
Selama sepekan penuh, kata Ifdhal, Komnas mengumpulkan data dan dokumen yang diperlukan. Mereka beruntung karena banyak calon sudah memiliki "catatan" di Komisi. Inspektur Jenderal Timur Pradopo, Kapolda Metro Jaya, misalnya, sempat ditanyai Komnas soal keterlibatannya dalam insiden penembakan mahasiswa Trisakti, 1998. Ketika itu Timur menjabat Kapolres Jakarta Barat. "Jadi sekarang kami tinggal membaca dan menganalisis dokumen lama itu," kata Ifdhal.
Menurut Ifdhal, Nanan mendapat skor tinggi karena visi kepolisiannya lebih demokratis dan independen. Dia juga dinilai lebih bisa menerapkan prinsip hak asasi manusia dalam penegakan hukum. Kasus kematian Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat pada Februari 2009, ketika Nanan menjadi Kepala Polda Sumatera Utara, dinilai bukan poin minus. "Tidak pernah ada penyidikan internal maupun eksternal yang memastikan siapa polisi yang bersalah dalam kasus itu," kata Ifdhal.
Surat rekomendasi Komnas HAM itu dikirim langsung ke Komisi Kepolisian. "Saya yakin sudah dibaca Presiden," kata Ifdhal. Setelah surat dikirim, dia mengaku sempat dihubungi staf Istana, yang meminta klarifikasi. "Saya jelaskan metodologi dan sumber data yang kami pakai," katanya.
Proses verifikasi yang sama juga berlangsung di PPATK, KPK, Direktorat Jenderal Pajak, dan BIN. Bedanya pada jumlah calon yang diperiksa. Ketua PPATK Yunus Husein mengaku awalnya mendapat delapan nama kandidat dari Komisi Kepolisian. "Namun kami kembalikan," katanya. Menurut Yunus, verifikasi rekening dan aliran dana delapan kandidat tak mungkin bisa dilakukan dalam waktu singkat. "Karena Komisi Kepolisian butuh data cepat, kami sarankan jumlahnya dikurangi."
Hanya dalam tempo beberapa hari, Komisi Kepolisian mengirim tiga nama jenderal bintang tiga untuk diperiksa. Hasilnya clear. Ketiga nama yang diajukan tidak terkait dengan rekening gendut. "Secara normatif, kami tidak menemukan transaksi tidak wajar dalam database kami," katanya.
REKOMENDASI Komnas HAM membuat nama Imam Sudjarwo sedikit terganjal. Namun tak berarti Presiden serta merta mengurungkan niatnya mencalonkan bekas Komandan Brimob itu. Faktor yang kini jadi pertimbangan adalah loyalitas.
Penekanan pada aspek loyalitas ini tampak benar dari pertanyaan yang diajukan staf Istana kepada sejumlah sumber Tempo yang terlibat proses verifikasi. "Soal perangai dan watak para calon ini sempat beberapa kali dita-nyakan," katanya.
Untuk faktor ini, Imam kabarnya dinilai lebih baik. Salah satunya karena dia dekat dengan adik ipar Yudhoyono, Pang-lima Kodam III/Siliwangi Mayjen Pra-mono Edhie Wibowo. Mereka berdua angkatan 1980 di Akademi Militer. Imam juga konon terkatrol oleh perannya- ketika besan SBY, Aulia Pohan, ditahan di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok.
Ketika dimintai konfirmasi, Imam menolak berkomentar. "No comment," katanya, Rabu pekan lalu. Pramono tidak bisa ditemui. Sepanjang pekan lalu, dia tak tampak di kantornya. "Sudah seminggu ini bertugas di luar terus," kata Kepala Penerangan Kodam Siliwangi Kolonel Isa Haryanto.
Nanan Soekarna juga tak menjawab permintaan wawancara Tempo. Namun satu orang dekatnya membenarkan munculnya kecurigaan pada -karakter Nanan yang dinilai cenderung melawan atasan. "Padahal itu hanya salah persepsi," katanya.
Kedekatan Nanan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga dikabarkan jadi faktor minus. Rumor ini muncul karena Nanan sering hadir di rumah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, di Sentul, Jawa Barat, pada sekitar 2001. Ini dibenarkan orang dekat Nanan. "Ketika itu Nanan Kapolwil Bogor, dan Megawati wakil presiden," kata sumber ini.
Seakan untuk membantah penilaian miring atas dirinya, dalam acara per-ingatan Hari Ulang Tahun Polisi Wanita di Sekolah Polisi Wanita, Ciputat, Rabu pekan lalu, Nanan merilis pernyataan khusus. Setelah menggenggam erat tangan rivalnya, Imam Sudjarwo, dia berujar, "Kita loyal pada Presiden." Sambil menatap puluhan kamera yang mengabadikan momen itu, Nanan dan Imam tersenyum lebar.
SEPUCUK surat yang dinanti nanti itu tak kunjung tiba. Sampai Jumat pekan lalu, Presiden Yudhoyono tak juga mengirim nama calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia pilihannya ke Senayan. "Belum masuk," kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie, akhir pekan lalu.
Sebelumnya, santer kabar bahwa pekan lalu adalah tenggat pengiriman nama calon Kapolri yang diajukan Istana. Sebab, masa dinas Jenderal Bambang Hendarso akan segera berakhir. Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, berulang kali menegaskan kandidat pilihan Yudhoyono akan di-umumkan "dalam waktu dekat".
Ketua Komisi Kepolisian Nasional yang juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto, mencoba menenangkan. "Presiden pasti tahu betul kapan nama itu harus dikirim," katanya melalui pesan pendek. "Tunggu saja."
Jawaban mengambang ini kontras dengan respons RI 1 ketika berbicara di depan para pemimpin redaksi media, awal September lalu. Dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono memberikan sinyal terang benderang. "Setelah hari raya Idul Fitri, akan segera saya ajukan ke DPR," katanya ketika itu.
Ketidakjelasan tenggat pencalonan ini membuat banyak orang menduga duga apa gerangan yang terjadi di Istana. Apalagi, sepanjang pekan lalu, staf Istana bolak balik menghubungi sejumlah tokoh lembaga swadaya masyarakat dan aktivis hak asasi manusia. "Beberapa aspek kepribadian dua calon yang diajukan Kapolri ditanyakan sampai detail," kata sumber Tempo.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane menduga Istana sedang menimbang nimbang kembali pilihannya. Dua nama yang diajukan, Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo, dinilai sama sama punya kelemahan. "Saya dengar akan ada calon ketiga, seorang satrio piningit," kata Neta.
Wahyu Dhyatmika, Setri Yasra (Jakarta), Ahmad Fikri (Bandung)
http://majalah.
0 komentar:
Posting Komentar