| Reformasi yang telah berlangsung lama sedang mengalami pancaroba dan memerlukan pengelolaan yang tepat dan efektif agar mendekati cita-cita para pendiri bangsa dan pejuang demokrasi. Salah satu masalah yang harus dibenahi dan diperbaiki adalah sektor keamanan negara yang di dalamnya termasuk bidang intelijen negara yang berfungsi sebagai garis pertama pertahanan negara (the first line of defence) dan pemberi peringatan serta deteksi dini (early warning and detection) menghadapi ancaman terhadap keamanan dan pertahanan Negara. Sepanjang sejarah Republik Indonesia,peran penting lembaga intelijen diakui oleh semua pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan negara dan keberadaannya pun diakui,bahkan sejak perjuangan rakyat Indonesia melepaskan diri dari kolonialisme dan dilanjutkan pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI yang masih sangat muda. Namun,eksistensi lembaga dan komunitas intelijen negara masih belum mantap karena landasan hukum yang sepadan dengan kedudukan strategisnya belum diwujudkan, sehingga pengembangan dan pemberdayaan fungsi dan perannya belum dapat berjalan sebagaimana yang seharusnya. Lembaga dan komunitas intelijen masih pada posisi marginal dan senantiasa menghadapi risiko dianggap sebagai elemen yang tingkat kompatibilitasnya kecil dengan prinsip-prinsip demokrasi dan khususnya aspek perlindungan HAM. Konsekuensinya lembaga dan komunitas intelijen di dalam wacana dan praktik penyelenggaraan negara, pada era pascareformasi acap disikapi dengan minimal ungkapan “benci tapi rindu” dan maksimal dengan apriori bahwa ia adalah suatu yang “jelek namun niscaya”( the necessary evil). Sebagian dari publik dan pihak-pihak yang menginginkan lembaga dan komunitas intelijen negara berada pada posisi marginal selalu mengeksploitasi rekam jejak yang kurang baik dan dibawa kepada sebuah konklusi bahwa lembaga dan komunitas ini keberadaannya tidak diperlukan lagi atau harus mengalami reduksi besar-besaran. Pihak lembaga intelijen dan komunitas intelijen negara, yang memang tidak memiliki payung hukum cukup mampu melindungi keberadaan dan pengembangan dirinya, tentu saja akan bersikap defensif dan ragu.Ironisnya bangsa dan negara ini—sebagaimana layaknya semua negara yang merdeka dan berdaulat—akan tetap memerlukan kehadiran dan peran strategisnya. Artinya, dalam kondisi selemah apapun,mereka akan diminta untuk bekerja untuk melindungi keamanan dan pertahanan negara! Kondisi seperti ini sudah pasti akan mudah menimbulkan berjangkitnya moral hazarddalam lembaga dan komunitas intelijen. Pada gilirannya hal itu menyulitkan mereka untuk bekerja secara optimal karena minimnya infrastruktur, kelemahan SDM, dan ketertinggalan teknologi yang disebabkan oleh posisi yang tidak kondusif tersebut. Ancaman Perubahan Intelijen Indonesia memiliki rekam jejak yang dapat dibanggakan selama masa perjuangan mendirikan dan mempertahankan eksisitensi RI serta pada era setelah itu. Namun kini terancam akan mengalami kesulitan dalam mengantisipasi perubahan global yang meniscayakan semakin intensifnya keterlibatan intelijen di segala macam bidang strategis itu.Dengan perubahan-perubahan yang sangat mendasar pada ranah geopolitik dan geostrategis global, maka peningkatan kapasitas intelijen di suatu negara adalah sine qua non. Sebaliknya pula,semakin suatu negara mengabaikan peran dan fungsi strategis dari lembaga dan komunitas intelijennya,maka ia menjadikan dirinya sebagai target infiltrasi dan penetrasi strategis negara lain. Inisiatif DPR-RI untuk membentuk dan menetapkan UU Intelijen Negara merupakan hal yang harus disambut dengan positif oleh lembaga intelijen,komunitas intelijen, masyarakat sipil dan OMS, serta seluruh pemangku kepentingan sektor keamanan di negeri ini. Survei yang baru-baru ini dibuat Center for Liberty and Security Policies (CLSP) menunjukkan bahwa kalangan kelas menengah intelektual di Indonesia pun ternyata sangat mendukung dibuatnya aturan perundang-undangan bagi intelijen negara. Tentu saja bukan berarti pembuatan UU ini berlangsung tanpa kontroversi di masyarakat,khususnya di kalangan kelompok-kelompok yang peduli terhadap keberlangsungan reformasi, demokratisasi, dan perlindungan HAM. Beberapa waktu terakhir ini, saya mendapat kesempatan ikut terlibat dalam diskusi-diskusi tentang RUU Intelijen bersama kalangan cendekiawan dan LSM yang memiliki kepedulian dan fokus kepada masalah hankam dan demokrasi serta HAM.Kesan saya adalah bahwa kendati sebagian besar para cendekiawan dan aktivis bisa menerima keniscayaan dibuatnya RUU Intelijen. Bagi saya, ini pertanda bahwa tingkat kepercayaan dari sebagian anggota masyarakat masih perlu ditingkatkan. Masih kuatnya trauma terhadap kiprah intelijen di masa lalu merupakan sebuah indikator bahwa persepsi masyarakat terhadap intelijen negara sebagai sebuah lembaga independen, nonpartisan,dan berada di bawah kontrol sipil belum merata. Perdebatan Ada beberapa permasalahan yang menonjol dan menjadi perdebatan. Antara lain adalah: Pertama, pembedaan (diferensiasi) peran dan fungsi intelijen, mencakup intelijen dalam negeri, luar negeri,pertahanan,penegakan hukum, kementerian dan seterusnya. Kedua, lingkup wewenang BIN sebagai koordinator komunitas intelijen di Indonesia.Ketiga, pengawasan terhadap BIN dan komunitas intelijen.Keempat, kewenangan khusus BIN menyangkut penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan khusus. Kelima, pemberdayaan komunitas dan lembaga intelijen negara. Di antara kelima masalah tersebut poin ke-4 adalah yang paling tinggi tingkat kontroversinya, disusul poin ke-3, ke-2, dan ke-1.Poin ke-5, sejatinya tidak kontroversial sama sekali dan bahkan menjadi usulan dari banyak pihak agar menjadi bagian dari UU Intelijen karena usulan yang ada baik dari komunitas intelijen maupun dari DPR masih belum terakomodasi dengan baik. Menyikapi berbagai masalah di atas, hendaknya kita yang sedang berupaya memperkuat kelembagaan demokrasi (democratic institutional empowerment) juga menempatkan intelijen sebagai salah satu unsur yang strategis di dalamnya. Sebab keberadaan UU ini akan dapat semakin memperjelas kedudukan, fungsi, peran, dan tugastugas penyelenggara intelijen yang selama ini hanya diatur dengan Keppres dan/atau Inpres saja. Yang terakhir misalnya adalah Kepres No. 103/2001 dan Inpres No.5/2002) yang masih terlampau umum dan singkat.Kondisi ini,tentu saja,tidak dapat dilepaskan dari sistem politik sebelum reformasi, khususnya masa Orde Baru, yang menempatkan lembaga dan penyelenggara intelijen sebagai aparat pemerintah yang dipergunakan untuk mempertahankan dan memperluas jangkauan kekuasaan dan kontrol terhadap rakyat. Sangat perlu diperhatikan bukan saja masalah pembatasan yang dapat mengurangi tumpang tindih dan duplikasi antar lembaga intelijen, tetapi juga menjaga efisiensi dan koordinasinya. Perdebatan mengenai fungsi intelijen dalam dan luar negeri di satu tempat, yaitu BIN, sebetulnya dapat dicarikan solusi dengan cukup mudah jika dilandasi pemahaman ini dan bukan hanya didasari kekhawatiran akan munculnya akumulasi kekuasaan belaka. Demikian juga masalah koordinasi penyelenggara intelijen, pada hakikatnya lebih efektif jika dilaksanakan oleh pihak yang langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai chief executive atau kepala pemerintahan. Mengenai kewenangan khusus yang diberikan kepada BIN dalam rangka penanggulangan terorisme, adalah wajar. Tujuan utama dari kewenangan khusus adalah memperoleh informasi yang dapat dipakai sebagai alat untuk peringatan, deteksi, dan pencegahan dini dari ancaman terorisme. Kewenangan khusus meliputi: intersepsi komunikasi, transaksi bank,dan pemeriksaan intensif selama 7x24 jam terhadaporangyangdidugakerasme Pengawasan publik dilakukan oleh masyarakat sipil dan organisasinya serta publik pada umumnya melalui jalur yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, seperti lembaga legislatif, dalam berbagai bentuk seperti dengar pendapat dan sebagainya. Profesional Sebaik apapun aturan yang dimiliki, tetapi yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan intelijen adalah kemampuan profesi dan pengembangannya sesuai dengan perkembangan baik pada tataran nasional, regional, maupun internasional. Penguasaan teknologi akan sangat menentukan efektivitas dan kemandirian penyelenggara intelijen di masa depan sehingga fungsi peringatan dan deteksi dini dapat dilaksanakan dengan optimal di seluruh wilayah Indonesia, baik matra darat, laut, udara,dan cyber. Dari serangkaian analisis di atas, pembentukan UU Intelijen Negara sangat mendesak untuk dilaksanakan. Terlebih jika kita mencermati dinamika perkembangan politik nasional, regional, dan global yang masih belum menunjukkan adanya kestabilan yang cukup memadai karena munculnya ancaman- ancaman yang makin bervariasi bentuknya terhadap keamanan nasional, maka salah satu upaya untuk memperkuat ketahanan dan pertahanan nasional adalah adanya payung hukum yang dapat memberdayakan penyelenggara intelijen negara. Proses pembentukan RUU di DPR masih berjalan karenanya sangat logis bila terdapat pertukaran pandangan dan perbedaan pendapat terhadap substansinya yang muncul dari berbagai kalangan dan pemangku kepentingan. Kendati demikian, diperlukan suatu semangat kebersamaan dan kesepakatan yang bulat mengenai keniscayaan akan adanya UU Intelijen Negara tersebut yang akan menjadi payung hukum bagi penyelenggara dan penyelenggaraan intelijen. Kiranya semangat mendukung dan menjalankan proses reformasi dan demokratisasi di Republik ini tidak harus bertentangan dengan keniscayaan negara untuk memiliki aparat dan lembaga intelijen yang profesional,nonpartisan,dan akuntabel. Intelijen negara yang demikian itulah yang mampu mewujudkan semboyan velox et exactus (cepat dan akurat) dalam kinerja yang konkret demi bangsa dan negara.(*) Dr Muhammad AS Hikam, MA Wakil Rektor President University, Kota Jababeka |
http://www.seputar-indonesia.


0 komentar:
Posting Komentar