BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pidato Kegalauan Presiden

Pidato Kegalauan Presiden

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.13

CUKUP lama saya merenung untuk memberi penilaian terhadap Pidato Kenegaraan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (16/8).

Saya kurang tertarik dengan pernyataan-pernyataan normatif seperti yang sudah sering kita dengar. Saya juga sudah terbiasa dengan retorika yang disampaikan Presiden. Saya justru lebih tertarik dengan apa yang disebut pada bagian akhir pidato tersebut, ketika Presiden menyampaikan,“Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mari kita sikapi hasilhasil pembangunan secara lebih wajar dan proporsional. Memang masih banyak tantangan dan pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, namun sesungguhnya telah banyak pula prestasi pembangunan yang berhasil kita raih.”

Tak pelak, kesan bahwa Presiden sedang berusaha “membela diri” menjadi menonjol.Benar, sebuah pidato harus mampu membangkitkan semangat dan optimisme, sehingga capaian perlu lebih ditonjolkan ketimbang catatan kelam. Mudah pula dipahami apabila sebuah pidato memenuhi tuntutan untuk mengulang-ulang prinsip dan jargon yang sifatnya normatif. Namun, pilihan kata yang digunakan menunjukkan bahwa Presiden sedang resah, sedang mengalami kegalauan.

Bagaimana tidak? Pidato disampaikan Presiden di tengah persoalan bangsa yang begitu menekan dari segala arah.Ada persoalan mafia hukum yang tak kunjung tuntas,teror elpiji,kenaikan harga pangan,koordinasi dan sinergi antarsektor dan antardaerah yang lemah, ancaman terorisme dan ekstremisme, dan seterusnya. Belum hilang pusing, sarasehan para ekonom terkemuka membuat kesimpulan mengagetkan bahwa ekonomi sedang kehilangan arah, sedang mengalami krisis kebijakan,sehingga pembangunan berjalan tanpa roh, tanpa keberpihakan yang jelas dan tegas kepada rakyat (5/7/10).

Kritik Megawati Soekarnoputri,yang menilai tata kelola negara kacau-balau (4/8/10), memperkuat intensitas kegalauan Presiden. Hasratmembeladiridapatmembahayakan logika dan keruntutan pemaparan.Presiden menyatakan era reformasi telah memasuki Reformasi Gelombang Kedua yang memiliki aspek ganda yaitu perubahan dan kesinambungan (change and continuity). Perubahan paling hakiki yang diharapkan adalah perubahan cara pandang (mind-set).

Tanpa perubahan ini kita tidak akan mampu mengatasi tantangan yang begitu berat di hadapan kita.Sayang, perubahan cara pandang seperti apa yang dibutuhkan ke depan tidak disampaikan dalam pidato tersebut. Bahkan Presiden seperti sengaja menghindar dari persoalanpersoalan sensitif yang selama ini banyak kita rasakan, seperti tingkat ketimpangan pendapatan antarkelompok masyarakat yang kian melebar, penggunaan tolok ukur kemiskinan dan pengangguran yang begitu lunak dan longgar,

persoalan birokrasi negara yang bermetamorfosis menjadi penyebab utama ekonomi biaya tinggi (kleptokrasi), ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menindak tegas aksi premanisme atas nama agama, menipisnya modal sosial sebagai akibat wabah keserakahan yang semakin hari semakin dilembagakan (infectious greed), dan kesalahan manajemen sumber daya alam yang membuat negara dalam posisi dirugikan.

Tidak pula dijelaskan apakah perubahan cara pandang juga terkait dengan perubahan paradigma pembangunan? Presiden hanya menegaskan,tujuan Reformasi Gelombang Kedua bukan untuk mengubah haluan, melainkan untuk mempertegas haluan.Bagaimana dengan haluan pembangunan yang selama ini terlalu menekankan pada utang (debt-led development) dan eksploitasi sumber daya alam?

Apakah strategi industrialisasi hulu sampai hilir yang terintegrasi, yang mensyaratkan kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik (domestic market obligation) dalam mata rantai proses produksi, tidak perlu dijadikan prioritas? Presiden menyebut hakikat kemerdekaan sebagai penentuan nasib bangsa berada di tangan kita sendiri. Bila demikian, mengapa amanat konstitusi dalam pengelolaan ekonomi tidak menjadi fokus dan prioritas kita?

Mengapa ada gejala, setiap kita mengingatkan hal-hal mendasar seperti yang diharapkan para pendiri bangsa, kita justru dianggap romantis dan nostalgis? Bukankah sesungguhnya kita mulai takut dengan otentisitas kita sendiri dan menilai apa yang dari luar selalu superior? Dalam Pidato tentang Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara 2011 di depan DPR, Presiden melihat arti penting intervensi langsung negara untuk memastikan agar manfaat pembangunan mengalir, tidak hanya menetes, kepada rakyat.

Tapi Presiden tidak menyinggung mengapa perbankan nasional begitu sulit menurunkan suku bunga kredit, sehingga melahirkan rentenirisasi ekonomi dan ekonomi pengisapan ke atas (trickle-up economy). Hal yang justru mengentak adalah pidato pengantar yang disampaikan Ketua DPR Marzuki Alie. Marzuki menyinggung hal-hal yang selama ini terasa melilit kehidupan bangsa seperti persoalan kemiskinan struktural, kekhawatiran kemunculan kantong-kantong kemiskinan baru dalam proses pemekaran wilayah,hukum yang belum bisa menjadi ”panglima”,

wabah korupsi yang menjalar ke daerah-daerah, dan kekhawatiran tidak tercapainya sasaran-sasaran tujuan pembangunan milenium (millenium development goalsatau MDGs). Isi sebuah pidato tentu bukan sekadar persoalan selera. Kalau hanya soal selera,berlaku apa yang dikatakan Becker dan Stigler (1977),de gustibus non est disputandum (tak ada perdebatan sepanjang soal selera).Tapi memang benar, perubahan riil dan perubahan cara pandang tak bisa lahir hanya dari sebuah upacara pidato.(*)

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D
Pengamat Ekonomi

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345358/
Share this article :

0 komentar: