Oleh Yudi Latif Direktur Eksekutif Reform Institute
Kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!"
S ETIAP proklamasi kemerdekaan In donesia diperin gati, bayangan kita segera tertuju pada sepasang figur sentralnya, Soekarno dan Mohammad Hatta. Dalam suasana friksi antarfaksi di sekitar proklamasi, SoekarnoHatta tampil sebagai jangkar keyakinan, kepercayaan, dan persatuan.
Gerangan apakah yang membuat keduanya menjadi pusat teladan? Jelas bukan karena keduanya tak punya cacat dan kekurangan. Tapi, di atas segala cacat dan kekurangannya itu, keduanya memiliki modal terpenting sebagai pemimpin, yakni moral kapital.
Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, tapi juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi perilaku masyarakat.
Saat ditanya Direktur Penjara Landraad Bandung ikhwal `kehidupan baru' selepas bebas, Bung Karno menjawab, "Se orang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan saya meninggalkan penjara untuk pikiran yang sama." Sementara itu, Bung Hatta menegaskan, "Menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu ke luar, itulah kewajiban yang amat sulit dan susah.
Itulah kewajiban leiderschap!...
Pergerakan rakyat tumbuh bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak dapat oleh rakyat mengeluarkannya.... Pemimpin mengemudikan apa yang sudah dikehendaki oleh rakyat.
Itulah sebabnya, maka pemimpin lekas dapat pengikut dan pergerakan yang dianjurkannya cepat berkembang."
Keteladanan kedua proklamator kemerdekaan Indonesia itu terasa kontras dengan bayangan kepemimpinan politik saat ini.
Setelah lebih dari 10 tahun gerakan reformasi dan demokratisasi digulirkan, panggung politik terasa tumbuh dengan komedi omong dari suatu ekshibisionisme pencitraan yang padat modal, di tengah-tengah kelesuan kehidupan rakyat.
Demokrasi tidaklah diperuntukkan bagi rakyat, melainkan rakyatlah yang diperuntukkan bagi demokrasi.
Jika suasana peringatan kemerdekaan sekarang ini terasa hambar, hal itu tiada lain karena kepemimpinan yang boros omong dengan sedikit pengorbanan tidak mampu menggemakan semangat proklamasi.
"Semangat proklamasi," ujar Soekarno, "adalah semangat rela berjoang, berjoang mati-ma tian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri.
Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat, mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan."
Menghadirkan kenyataan Tugas pemimpin politik bukanlah mengobral khayal dengan memanipulasi kesan yang dapat mengecoh rakyat.
Sebaliknya, tugas mereka ialah menghadirkan kenyataan dan sense of crisis yang, dalam istilah Soekarno, dapat `mengaktifkan kepada perbuatan', yakni mengaktifkan bangsa yang ia pimpin kepada perbuatan.
Kalau cuma menyerukan perbuatan, tetapi dalam kenyataan tak mampu mengaktifkan rakyat kepada perbuatan, buat apa bermimpi jadi pemimpin?
Dalam pandangan Soekarno, besar kecilnya spirit--kemauan rakyat untuk berjuang ditentukan oleh tiga hal. Pertama, menarik tidaknya tujuan atau cita-cita politik yang diperjuangkan pemimpin. Kedua, rasa mampu di kalangan rakyat. Ketiga, tenaga yang tersedia di kalangan rakyat sendiri.
Maka dari itu, pemimpin harus cakap melukiskan daya tarik cita-cita politiknya, mampu membangkitkan kepercayaan rakyat pada kemampuannya sendiri, serta sanggup menyusun tenaga rakyat demi tujuan politik.
Membangkitkan semangat dan kemauan kolektif bangsa plural bukanlah perkara mudah. Pemimpin nasional harus mampu merangkum keragaman posisi (multiple-positionings), keragaman faktor penen tu (multiple-determinations), dan keragaman aliansi (multiplealliances). Hal ini sudah terbukti dalam trayek menuju kemerdekaan Indonesia. Ideologi dan kepemimpinan yang bersifat sektoral, baik itu bersifat etnisitas, keagamaan, maupun kelas sosial, tak mampu melahirkan solidaritas nasional yang melahirkan kemerdekaan.
Kemerdekaan politik bangsa Indonesia bisa diwujudkan setelah terbangun kehendak kolektif untuk menyatukan pelbagai keragaman posisi, determinasi, dan aliansi itu ke dalam suatu blok historis (historical bloc). Istilah terakhir dapat diartikan sebagai kompleks kehendak kolektif sebagai perwujudan kesatuan struktur dan suprastruktur serta pertautan pelbagai ide dan nilai dari keragaman kekuatan historis.
Konsepsi Âhistorical blocÊ ini lahir dari pemahaman Antonio Gramsci bahwa momen politik dalam proses pembentukan kehendak kolektif itu melewati tiga fase. Pertama, momen paling primitif yang disebut tahap `korporatif-ekonomis'. Pada tahap ini, kehendak bersama hanya sebatas solidaritas dalam unit korporasi tertentu, belum merangkum kategori lain meski dalam kelas (go longan) yang sama. Momen kedua adalah tahap ketika solidaritas mempertautkan semua kategori dari sebuah kelas (golongan) yang sama.
Tahap ketiga adalah `fase yang sepenuhnya politik', ketika solidaritas mampu melampaui batas-batas korporasi dan kelas (golongan), menjang kau kepentingan dan ke mauan kelompok-kelompok lain. Momen inilah yang menjelmakan historical bloc.
Historical bloc hanya bisa diwujudkan di bawah `kepe mimpinan moral-intelektual'.
Moral dalam arti ini ialah nilainilai kolektif suprastruktural yang mengatasi basis material. Intelektual di sini berarti aktor yang relatif mampu mentransendensikan diri dari kepentingan korporatis maupun kelas (golongan). Hal ini tidaklah berarti bahwa intelektual mengabaikan kepentingannya demi suatu ide kolektif. Yang terjadi, aneka ke pentingan ideal intelektual (yang muncul dari proses rasionalisasi) mengimbangi, n adakalanya mendahului, bah kan mungkin berlawanan de i ngan kepentingan praktis dan material mereka.
n t Mengatasi kesempitan Dengan demikian, istilah s intelektual di sini tidak terbatas n pada intelektual tradisional (akademisi, ulama, pendeta), tetapi bisa juga tentara, peda gang, artis, dan profesi lainnya.
n Dengan syarat, mereka mampu k mengatasi kesempitan dan ken pentingan profesi, kelas, atau , golongannya. Sekali berambisi u menjadi pemimpin nasional, s mereka harus memiliki kemamr puan menghadirkan historical bloc, mengemban kehendak i dan moral kolektif.
r Anomali dalam politik Indonesia terjadi ketika partai dan pemimpin politik yang mestinya berjuang menghadirkan `momen ketiga' (fase politik) masih tertawan di momen paling primitif (korporatifekonomis). Karena proyek historisnya terhambat di fase ini, yang merajalela adalah politisipedagang, yang tunduk pada pemodal kuat. Akibatnya, jagat politik kita diwarnai surplus politisi dan defisit negarawan.
Seperti kata Georges Pompidou, "Negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa. Sementara politisi adalah negarawan yang menempatkan bangsa dalam pelayanan kepada dirinya."
Dalam situasi demikian, sulit membayangkan pemimpin nasional yang mampu mengaktifkan rakyat kepada perbuatan.
Di sinilah pentingnya menggali kembali api proklamasi. Api proklamasi adalah semangat juang, semangat persatuan, dan semangat membangun negeri.
"Dan manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi," ujar Soekarno, "kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!"
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/08/16/ArticleHtmls/16_08_2010_044_003.shtml?Mode=0
Kemerdekaan tanpa Kepemimpinan
Written By gusdurian on Senin, 16 Agustus 2010 | 11.45
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar