BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Di Bawah Bendera Reformasi

Di Bawah Bendera Reformasi

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.16

Orang tua-tua itu sudah marah! Begitu pesan yang disampaikan Adhie Masardi lewat Polemik Radio Trijaya dengan judul bahasan Merdeka tapi Cemas, Sabtu Minggu lalu (14/8).

Yang dimaksud adalah tokoh Syafii Ma’arif, Franz Magnis Suseno, Salahudin Wahid, dan kawan-kawan. Mereka berkumpul Jumat malam (13/8) di Tebet membicarakan kemerdekaan. Tidak spesifik mengatakan, pemimpin harus mundur tapi kita bisa mengartikan sendiri. Mencermati banyak masalah di negeri ini memang akan memunculkan diskusi-diskusi warung kopi.Namanya juga diskusi tidak resmi,ngomong asal ngebul sah-sah saja.

Makin lama diskusi, pembicaraan bisa jungkir balik. Ada yang masuk akal,banyak juga yang ngawur.Diskusi baru selesai ketika pemilik warung sengaja menjatuhkan nampan seng, breng! Protes tidak langsung karena pengunjung tidak nambahkopi tapi tidak pergipergi. Kesimpulan diskusi, pokoknya, pemimpin harus mundur! Saya tidak berani lebih jauh membahas gagasan pemimpin harus mundur.

Sebab, saya bukan politisi dan tidak paham politik. Saya hanya ingin menulis, setiap tahun menggelar talkshow terkait HUT Kemerdekaan RI, kok, selalu muncul pertanyaan, apakah kita sudah merdeka? Ini seperti pertanyaan ngawur, asal mangap, ironis, gombal! Wong sudah jelas memperingati HUT Kemerdekaan, kok, masih ragu?

Masih Sama

Usai makan sahur pakai sayur lodeh jantung pisang dengan lauk ikan asin, seperti zaman revolusi, iseng saya buka-buka buku warisan orang tua, Dibawah Bendera Revolusi- nya Bung Karno.Sekedar ingin tahu catatan dahulu itu seperti apa? Ternyata, cerita dalam buku tersebut, saya yakin Bung karno tidak bohong, membuat saya melongo.

Bacaan itu memaksa mengingat- ingat tamu-tamu saya pada siang sebelumnya, yaitu Ketua PP Muhamadiyah Din Syamsuddin, Ketua DPD Irman Gusman, Ekonom Faisal Basri, dan Adhie Masardi dari Gerakan Indonesia Bersih. Mereka berdiskusi dan sampai pada kesimpulan bahwa kita belum merdeka seratus persen.

Lho,berarti sebelum kemerdekaan dengan sesudah merdeka sama saja? Simak, dalam artikel berjudul Mencapai Indonesia Merdeka halaman 271 Buku Dibawah Bendera Revolusi,Bung Karno berkisah ada orang gantung diri di Desa Banaran, dekat Tulung Agung.Kutipannya begini:

“Sudah lama ia seanak bininya merasa sengsara sekali, malahan anaknya yang masih kecil sekali sering diemiskan nasi pada orang sedesa situ. Saben hari ia cari kerja, berangkat pagi pulang sore, tapi sia-sia tiada orang yang butuh kuli.Kemarin dulu ia tidak bepergian, Cuma duduk termenung di rumahnya saja, rupa-rupanya sudah putus asa dan bingung mendengar anaknya menangis minta makan. Tahu-tahu dia sudah ketemu mati. Gantung diri.”

Kisah tragis tersebut dimuat media Aksi 14 November 1931.Empat belas tahun sebelum Indonesia merdeka. Tapi, setelah 65 tahun merdeka, ternyata, sama! Pekan lalu, tanggal 12 Agustus 2010, lima hari menjelang Hut Kemerdekaan RI,seorang ibu,Khoir Umi Latifah, 25,bunuh diri karena tidak mampu bayar utang Rp20.000 di Buyengan, Klaten,Yogyakarta.

Kejadian semacam ini bukan hanya di Klaten. Banyak! Tidak lama setelah beduk subuh, Koran Seputar Indonesia datang,seperti biasa langsung saya baca. Di halaman pertama, ada berita Kapolri minggat dari acara serah terima jabatan petinggi Polri. Kemudian jadi polemik, karena simpang siur keberadaannya. Petinggi Mabes Polri bilang Kapolri ada tugas luar, tapi staf ahlinya bilang ada di rumah, sakit perut, mulas. Itu berita biasa. Simpang siur informasi dan kebohongan publik di negeri ini kerap terjadi. Katanya ada rekaman, ternyata tidak.

Pokoknya, terkesan negeri dikelola dengan guyon.Yang mengejutkan, ketika hendak menutup koran di halaman belakang ada berita,“Ibu Tega Menjual Bayi Rp300.000”. Itu kejadian di Desa Jengik, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Baiq Suryani, 38, menjual bayinya yang baru dua hari di-lahirkan. Sejatinya, saya bukan terkejut dengan seorang ibu menjual bayi tersebut. Ini juga bukan berita baru.

Banyak berita semacam ini di Indonesia dengan alasan kemiskinan.Yang membuat saya kembali bengong, belum satu jam saya membaca hal yang sama diceritakan Bung Karno dalam bukunya. Pada halaman 272 Dibawah Bendera Revolusi, Bung Karno mengutip media Siang Po terbitan 23 Januari 1933.Kutipannya begini:

“Di dekat Kota Karawang sudah kejadian barang yang sangat bikin ngenes hati. Ada orang janda namanya Upi,punya anak kecil.Dia punya lelaki barusan mati,sebab sakit keras yang cuma satu minggu lamanya. Upi memang dari sedari hidupnya dia punya laki ada sangat melarat sekali, tapi sesudah ia jadi janda kemelaratan rupanya tidak ada bates lagi.Lama-lama Upi sudah jadi putus asa, dan anaknya yang ia cintai itu sudah ia tawarkan sama Tuan LKB di Karawang.Ditanya apa sebabnya ia mau jual anaknya, ia tidak jawab apa-apa, Cuma menjatuhkan air mata bercucuran.Tuan LKB sangat kasihan sama dia, dan kasih uang sekedarnya pada itu janda yang malang.”

Waktu untuk Memperbaiki

Nekat gantung diri, nekat bakar diri dan berbagai nekat lainnya untuk mengakhiri hidup karena sengsara di negeri gemah ripah loh jinawi ini, boleh jadi dinilai orang sebagai tindakan bodoh.Tapi kalau sudah merasa tidak mampu lagi, maka jalan pintas terpaksa dilakukan. Kita tidak layak menyebut mereka melakukan tindakan bodoh. Memang ada yang masih mampu berpikir “cerdas” tertuang dalam buku Bung Karno tersebut.

Masih sekitar tahun 1932 itu dikisahkan cara sejumlah orang mengatasi kelaparan. Begini kutipannya; “Banyak orang menyamperi pintu bui minta dirawat di bui saja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui masih kenyang makan, sedang di luar belum tentu makan.” Tanpa mengesampingkan kemajuan yang ada di Indonesia pada masa sekarang, tetapi kisah di tingkat masyarakat bawah, kaum miskin pada masa sebelum revolusi dan sesudah reformasi ternyata masih relevan.

Kemiskinan mendorong orang mencuri ayam,menjual bayi,bunuh diri pada era reformasi masih kerap terjadi. Ini yang memunculkan pertanyaan,apakah kita sudah merdeka? Bukan hanya pengelolaan negara yang menjadi sorotan tetapi korupsi edan-edanan faktor pencetus kemiskinan.Kadang kita harus bertanya, apakah pemerintah serius atau memang tidak mampu? Kesan negara dikelola seperti perusahaan angkot menjadi sangat nyata.

Bayangkan,tiba-tiba muncul seorang Gayus, anggaplah sebelumnya hanya orang biasa,mendadak punya apartemen, mobil mewah, tabungan miliaran, pelesiran tiap minggu ke luar negeri. Para “Gayus” makin kaya raya, tapi negaranya–kalau kita ibaratkan angkot pengangkut rakyat miskin yang disusun mirip ikan pindang itu–makin terseok-seok, makin rombeng. Kalau direm, itu angkot, baru berhenti di tiang listrik karena tidak ada dana untuk ganti onderdil.

Lucunya, Gayus yang tampak lugu dengan mata melolok itu mengaku terima uang dan uangnya pun ada, tapi yang kasih uang mirip hantu, tidak ada. Betulbetul kacau! Kita memang tidak harus selalu sinis kepada pemerintah dan pemimpinnya. Kita wajib mendoakan.Doa kan juga bermacam bentuknya. Meminjam doa yang sering diucapkan musisi jazz, almarhum Bill Saragih, kepada penonton yang tidak memberikan tepuk tangan. Semoga diberikan kelancaran dalam memimpin dan masuk surga kepada mereka yang melindungi rakyat,bekerja sesuai amanah.

Semoga kembali ke jalan yang benar kepada pemimpin yang menyengsarakan rakyat. Pemimpin yang membuat rakyat selalu cemas walau hidup di alam merdeka harus segera disadarkan sebelum wafat. Sebab, kalau sudah keburu ke alam baka, susah melacak hasil korupsinya. Walau tiba-tiba anak cucunya kaya raya tanpa kerja, tetap susah dibuktikan. Indonesia sudah 65 tahun merdeka dan berada dalam orde reformasi. Kecemasan masih ada dan tidak mengenal tempat serta waktu.

Di udara,naik pesawat tidak ada jaminan bisa mendarat tepat. Di laut, faktanya, anggota DPR yang punya wewenang bikin aturan tewas karena kapalnya melanggar aturan, tanpa pelampung. Yang naik kapal juga nekat. Di darat, tabung gas meleduk. Begitulah Indonesia di bawah bendera reformasi. Dirgahayu negeriku!(*)

Eddy Koko
Praktisi Media

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345357/
Share this article :

0 komentar: