BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bibit, Bebet, Bobot

Bibit, Bebet, Bobot

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 09.57

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

Singkatnya, konsep bibit-bebet-bobot yang diperkirakan menjadi persyaratan ideal untuk perkawinan tidak selalu menjamin kesuksesan.

Begitu juga konsep itu belum tentu tepat untuk persyaratan memilih pemimpin.”
DI kalangan masyarakat tradisional Jawa, salah satu persyaratan untuk terpilih menjadi calon pasangan adalah bila bibit, bebet, dan bobot memadai. Persyaratan itu bukan bermaksud diskriminatif. Demi kelanggengan rumah tangga yang akan dibangun, saran itu masuk akal.

Pasangan diharapkan serasi agar tidak gampang goyah setiap ada cobaan. Yang dimaksud bibit ialah asal usul keturunan. Bebet hasil asah-asihasuh yang diperoleh dari keluarga dan lingkungan terdekat, yang membantu membentuk baik sikap dan perilaku maupun budi pekerti. Bobot menunjuk pada bekal yang dimiliki, apakah bentuknya kekayaan atau status sosial. Dalam masyarakat homogen yang serbatertib, persyaratan semacam itu wajar. Bukankah burung-burung yang bersayap sama sebaiknya terbang bersama? Bisakah persyaratan bibit-bebetbobot berlaku juga untuk pemilihan pejabat-pejabat legislatif, eksekutif, dan yudikatif? Pemilihan Ketua KPK yang tepat, misalnya, diharapkan bisa mencegah agar korupsi jangan menjadi rekreasi nasional. Ini sifatnya mendesak. Fit and proper test oleh DPR, yang seharusnya memadai, adakalanya menjadi ‘not proper’ karena kepentingan-kepentingan tertentu.
dan berakhir saat ajal menjemput.

Sepanjang hidup, manusia belajar memberi respons terhadap kehidupan. Itu salah satu aspek pembelajaran formal dan informal. Lagi pula sebenarnya pendidikan formal adalah kelanjutan dari asih-asah-asuh yang diperoleh manusia sejak awal. Nilainilai, sikap, dan pola perilaku diteruskan ke generasi berikutnya; begitu pula himpunan pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan lewat lembaga-lembaga pendidikan. Dengan demikian, kelangsungan eksistensi masyarakat terjamin, menembus waktu.

Dalam sejarah modern, segenap masyarakat di mana pun memiliki lembaga-lembaga pendidikan formal untuk membantu memberi bekal hidup kepada kalangan muda. Fungsi pendidikan formal semakin penting seiring dengan makin kompleksnya kehidupan masyarakat dan makin tingginya tuntutan standar kinerja.

Dalam masa pembelajaran formal itu, anak-anak juga belajar bahwa masyarakat menilai mereka dari kemampuan dan kinerja mereka, suatu pelajaran yang tidak selalu sesuai dengan apa yang dialami kemudian setelah mereka selesai pendidik an.

Kenyataan itu menimbulkan pelbagai benturan nilai. Misalnya, bagaimana memilih antara ekonomi yang pertama-tama harus mengutamakan keuntungan individu/korporasi dan ekonomi yang pertama-tama harus mengutamakan kesejahteraan
publik?
Mengenai pendidikan formal macam apa yang tepat untuk masyarakat kita, Prof Dr Soedijarto MA dalam bukunya, Pendidikan Nasional Kita (2008), antara lain menyatakan, "Untuk mempertahankan bentuk negara kesatuan perlu dilaksanakan dan diselenggarakan satu sistem pendidikan nasional dan perlu terus dimajukannya kebudayaan nasional.” Saat berbicara tentang salah satu karakteristik struktur bangunan negara Indonesia, dia berpendapat, “Negara kebangsaan modern yang dicita-citakan oleh Bung Karno adalah negara yang didukung oleh seluruh rakyat yang memiliki pengalaman kolektif sejarah yang sama.... Terancamnya integrasi nasional baik secara sosial, politik dan teritorial yang kita hadapi pada saat ini tidak lain karena banyak pemimpin melupakan hakikat negara Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan yang demokratis. Bukan demokrasi liberal yang berdasarkan `free-fight liberalism' yang semangatnya adalah mengalahkan lawan politik dan merebut kekuasaan." Yang diharapkan Prof Soedijarto demokrasi de ngan semangat menemukan konsensus nasional demi keutuhan bangsa dan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menuntut keputusan cepat Dengan berbagai silang opini dan tarik-menarik kepentingan mengenai berbagai persoalan nasional, sulit bagi masyarakat dan kalangan pimpinan bisa cepat bersepakat tentang masalah-masalah muskil, antara lain menemukan pemimpin yang tepat untuk KPK, misalnya. Seperti dalam perkawinan, bibit-bebet-bobot tidak menjamin kelanggengan. Posisi Ketua KPK seperti telur di ujung tanduk yang mudah jatuh pecah karena ramainya tarik-menarik kepentingan.
Selain itu, nilai-nilai masyarakat pun tidak lagi mudah dipetakan karena apa yang diajarkan orang tua dan di bangku sekolah berbeda dengan yang terjadi di lapangan. Berbagai godaan dan cobaan ramai lalu lalang.

Proses demokrasi di mana pun dan kapan pun selalu mengalami cobaancobaan yang memberatkan jajaran pimpinan dan publik. Walter Lipp mann (1889-1974), jurnalis-filosof terkemuka tamatan Harvard, sepakat dengan filosof Yunani Plato (427-347 SM) bahwa publik adakalanya menjadi kumpulan orang bingung di tengah ramainya perang opini.
Berkaitan dengan itu, Lippmann mengatakan dalam karyanya, Public Opinion (1922), ada kesulitan menggunakan akal sehat untuk merespons kehidupan politik yang tidak masuk akal. Seperti Plato, dia juga berpendapat bahwa nakhoda tahu apa yang terbaik untuk kapalnya. Tetapi, yang ada dalam benak nakhoda tidak mudah dikenali awak kapal. Sementara sang nakhoda terpesona oleh gemerlapan bintang di langit dan gerak angin, dia tidak menyadari awak kapal pun perlu tahu apa yang dia ketahui.

Tidak ada waktu untuk sa ling berkonsultasi sekalipun itu menjadi tuntutan demokrasi. Alasannya, krisis menuntut keputusan dalam hitungan cepat. Maka akan sia-sia mengatakan agar memberikan pembelajaran pada awak kapal. Lagi pula, memang, teori bagus di darat belum tentu tepat untuk mengatasi keadaan darurat ketika kapal sedang oleng diterpa badai.

Singkatnya, konsep bibit-bebetbobot yang diperkirakan menjadi persyaratan ideal untuk perkawinan tidak selalu menjamin kesuksesan.
Begitu juga konsep itu belum tentu tepat untuk persyaratan memilih pemimpin karena kondisi kehidupan politik sering tidak masuk akal.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/08/20/ArticleHtmls/20_08_2010_026_023.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: