BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » (Belum) Merdeka di Laut

(Belum) Merdeka di Laut

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.01

M Riza Damanik

Belum selesai perkara pencemaran di Laut Timor akibat kilang Montara di wilayah Australia meledak, 21 Agustus 2009, muncul kasus Malaysia menangkap tiga anggota patroli pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan sesaat setelah patroli KKP menangkap pencuri ikan asal Malaysia di perairan Tanjung Berakit, Pulau Bintan, Kepulauan Riau, 13 Agustus lalu.

Dalam dua hal itu, kesungguhan Indonesia menjadi negara kelautan diuji. Hingga bendera Merah Putih selesai dikibarkan menandai puncak peringatan HUT ke-65 Republik Indonesia, baik PTTEP Australia sebagai pengelola kilang Montara maupun Pemerintah Australia belum juga menyelesaikan tanggung jawab mutlaknya memulihkan nasib nelayan dan lingkungan Laut Timor. Sementara itu, ketiga petugas KKP akhirnya dilepas melalui mekanisme tukar guling dengan tujuh pencuri ikan asal Malaysia persis pada Hari Kemerdekaan.

Merujuk pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS, 1982) dan sejumlah perundangan nasional, status penyelesaian di atas nyata-nyata pelecehan sekaligus menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia ragu atas kedaulatannya di laut.

Insiden penembakan dan penculikan tiga petugas KKP seharusnya tak perlu terjadi jika wibawa pemerintah dan aparat hukum tampak dalam menyelenggarakan perlindungan, pengawasan, dan penindakan hukum. Minimnya perlindungan Kedutaan Besar RI di Malaysia terhadap tindakan brutal aparat hukum Malaysia kepada nelayan Indonesia adalah peristiwa rutin yang belum terkoreksi hingga kini.

Sebagai contoh, kasus terakhir yang ditangani oleh penulis pada Mei 2009: lima nelayan tradisional asal Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ditangkap kepolisian Malaysia di wilayah yurisdiksi Indonesia. Pada kasus ini, keluarga nelayan baru mendapat pemberitahuan 20 hari setelah penangkapan. Meski demikian, baik Kedutaan Besar RI di Malaysia maupun pemerintah pusat tak melayangkan nota protes sebagai wujud dukungan dan perlindungan atas warganya.

Faktor penghambat lain adalah masih ditemuinya aparat hukum yang tidak profesional. Di Kabupaten Tarakan, Kalimantan Timur, jamak ditemui tauke ikan asal Malaysia bebas melakukan transaksi jual beli ikan dan menyewakan bahtera pukat tanpa tindakan hukum. Padahal, praktik ini jelas melanggar ketentuan keimigrasian, merugikan negara karena tak bayar pajak, bahkan merusak sumber daya perairan Indonesia dengan menggunakan alat tangkap merusak jenis pukat, selain persoalan klise terkait dukungan anggaran maupun peralatan yang minim dalam menjalankan pengawasan itu sendiri.

Turun tangan

Pencurian ikan adalah satu dari sejumlah kejahatan yang merugikan bangsa ini. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (2001) menyebut bahwa saban tahun Indonesia kehilangan sekitar 4 miliar dollar AS dari tiap komoditas ikan yang dicuri. Negara harus kehilangan kesempatan melakukan pungutan perikanan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak sekurang- kurangnya Rp 50 triliun per tahun (KIARA, 2010). Demikian halnya hingga menyebabkan keterguncangan pangan dari sektor perikanan.

Maka, Presiden perlu memimpin langsung pemberantasan kejahatan lintas batas laut Indonesia. Khusus untuk insiden 13 Agustus, Presiden perlu kembali menyampaikan sendiri kecamannya seperti yang kerap ia lakukan dalam menanggapi tiap kritik lawan politiknya di Tanah Air. Ini penting demi menguatkan pesan diplomatik dan kesungguhan pemimpin negara melindungi warganya.

Pemerintah RI tak boleh mempertaruhkan masa depan penegakan hukum di laut dengan menukar guling pembebasan petugas KKP. Proses hukum terhadap pencuri ikan harus tetap ditindaklanjuti sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, baik terhadap anak buah kapal, nakhoda, maupun pemilik kapal. Ini mendesak agar tak jadi preseden hukum yang buruk dalam pemberantasan pencurian ikan di laut Indonesia. Belajar dari kasus Sipadan dan Ligitan, ketetapan hukum pun diperlukan agar Malaysia tak menggunakan insiden itu sebagai rujukan klaim pengelolaan kawasan (tem- pat terjadinya insiden) kelak.

Demi mencegah konflik meluas di wilayah perbatasan, dua program konservasi laut regional yang mengikutkan sebagian besar laut Indonesia (Sulu Sulawesi Marine Ecoregion dan Coral Triangel Initiative) perlu ditunda hingga ada kesepahaman terkait batas wilayah di laut dan perairan tradisional lintas negara bersama 10 negara yang berbatas langsung dengan perairan Indonesia, termasuk Malaysia dan Australia.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan pada 17 Agustus 1945, keputusan terhadap masa depan Indonesia terletak pada generasi sekarang: turut membiarkan negara asing mengotori dan berangsung-angsur mengambil alih kendali atas wilayah laut kita, atau ingin sungguh- sungguh menyelesaikan krisis perbatasan secara tuntas, berdaulat, dan bermartabat!

M Riza Damanik Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/20/03071020/belum.merdeka.di.laut
Share this article :

0 komentar: