Hamidi dan Pendidikan yang Membebaskan
Oleh Viktor Yasadhana Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
Kecuali dia murid paling bongsor di kelasnya, berkulit gelap, datang dari keluarga miskin yang broken home, ayahnya lari ke hutan karena dituduh terlibat kelompok separatis dan ibunya memutuskan meninggalkannya di bawah pengasuhan kerabat untuk menikah lagi setelahnya, dan punya ketertarikan yang luar biasa pada kegiatan bercocok tanam dan beternak. Di sekolah menengah pertama, Hamidi bukanlah murid yang menonjol secara akademik. Tahun lalu dia naik kelas dengan nilai akademik sedikit di bawah ambang batas dan pertimbangan nilai perilakunyalah yang menyelamatkan dirinya. Hamidi sering datang ke kantor saya dengan kegusaran dan kritikan. Mulai soal cara mengajar guru tertentu sampai cara sekolah menangani kambing yang masuk ke halaman sekolah.
Yang pasti, Hamidi sepertinya hanya tertarik akan tiga hal selama belajar di sekolah kami; pengetahuan umum tentang kota-kota di dunia, bercocok tanam jagung, singkong, atau semangka, dan asyiknya memelihara beberapa ayam kampung. Karena itu, selain kadang-kadang dia muncul di hadapan kami, para gurunya, dengan beragam pertanyaan tentang kota-kota di penjuru dunia, Hamidi hampir selalu terlihat menghabiskan waktu senggangnya untuk mencangkul dan menanam jagung atau singkong di lahanlahan kosong di sekolah yang memang diperuntukkan kegiatan pengembangan life skills murid.
Di saat panen, dengan bangga dia menjual hasil jerih payahnya kepada kami demi beberapa ribu rupiah uang yang dipakainya untuk jajan atau membeli perlengkapan pribadinya.
Sebagai gurunya, saya bisa melihat Hamidi `lebih hidup' dan `bebas' setiap kali dia mengayunkan cangkul dan memetik hasil panennya.
Sebagai guru, saya juga bangga dengan bagaimana sekolah kami bisa belajar memberi kesempatan pada anak-anak seperti Hamidi.
Mungkin apa yang sekolah kami lakukan belumlah sempurna. Namun, yang melegakan adalah sepertinya sekolah kami tidak menjadi tipikal sekolah yang umumnya ada di negeri ini.
Seperti dikatakan Alexander Sutherland Neill, sekolah kami beranjak untuk memilih `menghasilkan seorang tukang sapu yang berbahagia jika dibandingkan dengan menghasilkan sarjana yang neurotik' (Neill: 1992). Pertanyaannya adalah mungkinkah sekolah semacam itu bisa melakukannya? Bisakah sekolah menjadi tempat murid untuk menjadi manusia yang `bebas merdeka'?
Adalah Paulo Freire--salah satu pemikir dunia pendidikan kelahiran Brasil yang paling berpengaruh di abad ke-20--yang menekankan sebuah proses pembelajaran sejatinya harus merupakan juga sebuah aksi kultural dan pembebasan. Bukunya yang paling berpengaruh, Pedagogy of the Oppressed (1970), sepertinya menjadi sumur inspirasi yang tak pernah kering untuk memimpikan sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan anak seperti Hamidi mendefi nisikan sendiri dunianya. Konsep pendidikan ‘gaya bank’ sepertinya lebih banyak berlaku di sekolah-sekolah sekitar kita. Sekolah, melalui para guru, lebih sibuk menentukan apa yang para murid boleh pelajari untuk mengisi benak kesadaran mereka. Sementara itu, para murid adalah individu yang pasif atas apa yang dijejalkan kepada mereka. Seperti laku mengisi bejana atau gelas kosong. Seperti menggemukkan deposit di bank.
Murid tidak pernah ditimbang sebagai individu yang punya pilihan dan berkemampuan untuk berkreasi. Murid lebih dilihat sebagai benda yang menerima secara pasif sederet dalil pengetahuan sang guru. Murid adalah objek sementara guru adalah subjek. Pengertian, kesadaran, dan pemahaman akan ilmu pengetahuan yang diberikan sang guru bukanlah menjadi hal penting karena murid hanya akan m e n g e l u a r k a n ilmu yang mereka simpan pada saat diperlukan, persis sama seperti saat guru memberikannya kepada merek a . K e b i a s a a n menghafal daripada memahami, pilihan tertutup daripada esai, menyalin dan mencatat daripada membahasakannya kembali (reframing) adalah beberapa cara yang lebih mengesampingkan pemahaman murid akan ilmu pengetahuan mereka. Ukuran keberhasilan proses pendidikan ‘gaya bank’ ini pun sederhana. Semakin banyak terisi bejana atau gelas kosong semakin sukseslah si guru. Guru lebih memikirkan target ketuntasan mengajar dan mengesampingkan kedalaman pemahaman sebuah materi yang disampaikan. Pemahaman
vidu yang punya pilihan dan berkemampuan untuk berkreasi. Murid lebih dilihat sebagai benda yang menerima secara pasif sederet dalil pengetahuan sang guru. Murid adalah objek sementara guru adalah subjek. Pengertian, kesadaran, dan pemahaman akan ilmu pengetahuan yang diberikan sang guru bukanlah menjadi hal p e n t i n g k a re n a murid hanya akan mengeluarkan ilmu yang mereka simpan pada saat diperlukan, persis sama seperti saat guru memberikannya kepada mereka. Kebiasaan menghafal daripada memahami, pi lihan tertutup daripada esai, menyalin dan mencatat daripada membahasakannya kembali (reframing) adalah beberapa cara yang lebih mengesampingkan pemahaman murid akan ilmu pengetahuan mereka. Ukuran keberhasilan proses pendidikan `gaya bank' ini pun sederhana. Semakin banyak terisi bejana atau gelas kosong semakin sukseslah si guru. Guru lebih memikirkan target ketuntasan mengajar dan mengesampingkan kedalaman pemahaman sebuah materi yang disampaikan. Pemahaman yang biasanya didapat dari praktik persinggungan ilmu pengetahuan yang diterima murid dengan kehidupan nyata di sekitarnya direduksi menjadi proses menghafal habis rumus-rumus dan teori yang lebih sering jauh dari pengalaman nyata hidup si murid.
Lalu bagaimana dengan ‘pendidikan yang membebaskan’? Freire percaya pendidikan sejatinya adalah sebuah aksi kultural dan pembebasan, yaitu pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis yang mendorong kemampuan murid untuk memiliki kedalaman menafsirkan persoalan nyata dalam kehidupannya, serta membangun kepercayaan dirinya untuk bersikap. Karena itu, proses dalam pendidikan lebih penting daripada hasil itu sendiri. Proses belajar dimaknai sebagai dinamika pergerakan dari sebuah tingkat kesadaran tertentu menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Jika dalam praktik keseharian kita melihat guru merasa cukup untuk memindahkan ‘pengetahuan’ kepada murid, pend i d i k a n y a n g m e m b e b a s k a n adalah pendidikan yang memungkinkan murid untuk memahami, mempraktikkan, dan memiliki sikap atas masalah yang m e re k a h a d a p i (bandingkan dengan tingkatan dom a i n k o g n i t i f , afektif, dan psikomotor dalam taksonomi Bloom).
Proses belajar adalah saat ‘penget a h u a n ’ d i sampaikan, diolah melalui pemahaman, didiskusikan, dan direfl eksikan.
Dalam hal ini tidak ada lagi hubungan guru-murid sebagai pihak yang mengajar-diajar karena guru dan murid bersama-sama belajar.
Guru adalah teman dalam memecahkan masalah dan murid adalah peserta aktif dalam sebuah dialog yang sejajar. Mungkinkah pemikiran Freire bisa diterapkan dalam konteks sekolah di negeri kita? Banyak hal yang mungkin membedakan konteks pemikiran Freire dengan konteks pendidikan Indonesia. Namun, semangat dalam konsep pendidikan yang membebaskan bisa dipraktikkan.
praktik keseharian kita melihat guru merasa cukup untuk memindahkan `pengetahuan' kepada murid, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memungkinkan murid untuk memahami, mempraktikkan, dan memiliki sikap atas masalah yang m e re k a h a d a p i (bandingkan dengan tingkatan domain kognitif, afektif, dan psikomotor dalam taksonomi Bloom).
Proses belajar adalah saat `pengetahuan' disampaikan, diolah melalui pemahaman, didiskusikan, dan direfleksikan.
Dalam hal ini tidak ada lagi hubungan guru-murid sebagai pihak yang mengajar-diajar karena guru dan murid bersama-sama belajar.
Guru adalah teman dalam memecahkan masalah dan murid adalah peserta aktif dalam sebuah dialog yang sejajar. Mungkinkah pemikiran Freire bisa diterapkan dalam konteks sekolah di negeri kita? Banyak hal yang mungkin membedakan konteks pemikiran Freire dengan konteks pendidikan Indonesia. Namun, semangat dalam konsep pendidikan yang membebaskan bisa dipraktikkan. Pengalaman Sekolah Sukma Bangsa mungkin bisa menjadi contoh kecil. Kegiatan belajar di Sekolah Sukma Bangsa lebih menekankan pada proses daripada hasil. Guru dan murid saling belajar sehingga sekolah bukan menjadi institusi yang paling sempurna. Sekolah Sukma Bangsa adalah sekolah yang terus belajar, a school that learns. Guru selalu dituntut untuk memahami muridnya dan persoalan mereka. Dengan demikian guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Murid (dan juga guru) adalah subjek dalam proses belajar. Mereka adalah individu yang tidak saja unik, tetapi selalu memiliki kemampuan untuk berkreasi dan memilih sehingga mengajar adalah sebuah proses yang selalu diusahakan menjadi sebuah proses yang demokratis. Guru selalu memungkinkan untuk dikritik--sesuatu yang tabu dalam proses pendidikan yang konvensional--sebagaimana murid siap untuk berdiskusi. Kemampuan akademik bukan satu-satunya ukuran kenaikan kelas atau keberhasilan murid. Sikap, partisipasi, dan kemampuan interpersonal adalah hal lain yang selalu ditimbang untuk menilai murid. Terkesan rumit, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan.
Murid seperti Hamidi memiliki gairah yang tidak selalu bisa dilampiaskan dalam wilayah kognitif. Ketertarikannya untuk mengetahui segala informasi tentang kota-kota di dunia melewati batasan kurikulum dan ketuntasan materi dalam buku teks. Hal itu mendorong bukan saja saya sebagai gurunya untuk membaca lebih banyak, melainkan juga memberikan ‘kepuasan’ dan ‘kebebasan’ bagi Hamidi untuk mendapat informasi yang penting bagi dirinya, bagi hidupnya. Kesenangannya dalam bercocok tanam dan beternak ternyata memberikannya pengalaman yang jauh lebih berharga daripada sekadar menenggelamkan dirinya dan menghafal berbagai buku teks resmi. Sebuah pengalaman yang mungkin lebih berharga pada saat dirinya harus kembali ke kampungnya daripada selembar ijazah atau rapor.
Hamidi juga memberikan pelajaran yang berharga bagi kami guru-gurunya, bahwa cara terbaik untuk ‘belajar’ adalah selalu melalui proses saling menghargai antara mereka yang belajar. Guru dapat menjadi mereka yang ‘belajar ’ dan murid dapat menjadi mereka yang ‘mengajar’. Mengajar menjadi semacam proses politik yang harus demokratis dan mencegah guru sebagai satu-satunya pihak yang memiliki otoritas atas pengetahuan. Kritik menjadi bagian penting proses belajar yang membuat sekolah kami semakin dewasa. Sampai saat ini pun kami masih terus belajar pada murid-murid kami.
Pada Hamidi dan teman-temannya yang membawa kesadaran baru tentang makna belajar dan mengajar, tentang keputusan untuk memahami talenta mereka dan ikut membimbingnya.
Pendek kata, a school that learns!
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/04/12/ArticleHtmls/12_04_2010_022_018.shtml?Mode=0
Hamidi dan Pendidikan yang Membebaskan
Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 12.13
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar