KOLOM POLITIK EKONOMI
Manusia Biasa
Budiarto Shambazy
Persis setahun yang lalu, 20 Januari, saya berangkat sekitar pukul
06.00 dari rumah dinas Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Pak
Sudjadnan Parnohadiningrat menuju Kongres dengan kereta api bawah
tanah. Lalu lintas di The Mall, yang luasnya sekitar 3 x 1,8
kilometer, ditutup untuk acara pelantikan Presiden Barack Obama yang
digelar di halaman Kongres.
Subway penuh sesak karena merupakan satu-satunya transportasi yang
dapat digunakan mencapai beberapa stasiun di The Mall. Suhu hari itu
mencapai minus 17 derajat celsius. Dari stasiun ke Kongres, makan
waktu sekitar satu jam berjalan kaki.
Total sekitar 1,4 juta manusia menyemut di The Mall menyaksikan
pelantikan. Antrean masuk ke tempat pelantikan di gerbang-gerbang yang
dijaga ketat aparat keamanan mencapai berpuluh-puluh meter. Rapatnya
barisan manusia yang menghangatkan badan tak mampu mengusir rasa
dingin yang menusuk tulang.
Beda dengan pesta kemenangan Obama di Chicago, 4 November 2008, yang
gegap gempita dan dihadiri sekitar 700.000 orang, pelantikan berjalan
khidmat. Saking dinginnya, konser Yo Yo Ma dan kawan-kawan terpaksa
disajikan lewat rekaman karena senar selo, biola, dan tuts piano
sumbang akibat cuaca.
Beda dengan di Chicago, Obama menjalani transformasi dari orang
Demokrat menjadi presiden negara demokrasi kedua terbesar di dunia.
Jika selama kampanye ia bersenjatakan slogan ”Change, We Can Believe
In”, dalam pelantikan ia yakin slogan ”Yes We Can” tercapai dalam 100
hari.
Obama memang ”The Phenomenon”. Tidak bosan menyaksikan kegembiraan 1,4
juta manusia di The Mall sejak pagi sampai malam, sejak upacara
pengambilan sumpah sampai pawai. Obama bersama Michelle bahkan turun
dari mobil saat pawai di dekat Gedung Putih. Semua berharap Obama
memperbaiki wajah AS di mata dunia agar lebih manusiawi, pluralistis,
dan damai.
Selama setahun memerintah, kehadiran Obama terasa di mana-mana. Rakyat
dan media dunia tak bosan mencumbu Obama, istrinya, kedua putrinya,
bahkan anjing peliharaan mereka.
Namun, selama dua bulan terakhir 2009, honeymoon mulai membosankan.
Slogan ”Yes We Can” dicemooh menjadi ”No You Can’t”. Approval rate
Obama melorot dari di atas 70 persen ke kisaran 50 persen.
Pukulan telak terjadi pekan ini. Citra Obama dan Demokrat yang menang
telak dalam pemilihan presiden, senator, anggota DPR, dan gubernur,
pada November 2008, tercoreng hanya oleh sebuah ”pemilu khusus”. Salah
satu akibatnya, mayoritas 60-40 Demokrat di Senat, majelis tinggi yang
peranannya amat menentukan dalam legislasi, terancam bahaya dalam
pemilu sela, November 2010.
Pemilihan khusus terjadi di Massachusetts. Setelah Senator Ted Kennedy
wafat, kursi Senat di negara bagian itu kosong sehingga perlu segera
diisi. Ternyata calon Demokrat, Martha Coackley, dikalahkan Scott
Brown (Republik).
Ini bukan kekalahan biasa. Ted Kennedy sudah lebih dari 40 tahun
menjadi senator di sana.
Kedua, Massachusetts adalah daerah pemilihan ”yang paling biru” (biru
warna Demokrat) yang tak terbayangkan akan direbut Republik. Apalagi
dari negara bagian itu lahir ”darah biru” Demokrat yang tersohor,
seperti klan Kennedy atau Senator John Kerry. Wajar kubu Demokrat
menggugat diri mengapa bisa begini?
Tentu tidak semua terjadi karena kesalahan Obama. Toh, ia terpilih
menjadi presiden justru karena dukungan mayoritas rakyat. Ia tahu
rakyat lelah dengan kultur perang Presiden George W Bush, oleh sebab
itu menambah pasukan ke Afganistan untuk membekuk Osama bin Laden.
Ia bertekad menutup Guantanamo untuk mengembalikan hak asasi manusia
sebagai salah satu core values Demokrat. Jangan lupa, Obama terpilih
juga karena dari jauh hari sudah memprediksi bakal terjadinya krisis
moneter yang dipicu oleh kekeliruan subprime mortgage.
Tentu Obama melakukan sejumlah kesalahan pemula. Pertama, ia keburu
menjual program jaminan kesehatan yang sesungguhnya bertujuan mulia.
Ia tidak belajar dari kegagalan eksperimentasi serupa yang dilakukan
Presiden Bill Clinton dan Ibu Negara Hillary Clinton.
Singkat kata, program jaminan kesehatan itu malah membebani rakyat
dengan pajak baru dan mengundang ekspansi pemerintah (big government).
Kedua, ia terjebak ke dalam perjudian penggelontoran paket stimulus
dan bail out yang memanjakan eksekutif, bankir, dan industrialis. Di
kala penganggur bertambah dalam bilangan 100.000- 200.000 per bulan
sejak tahun 2008 yang mencapai total sekitar tujuh juta sampai kini,
perjudian itu pasti sukar dimenangi Obama.
Oleh karena itu, pidato Obama dua hari lalu mulai memosisikan bankir,
industrialis, dan eksekutif sebagai ”musuh” dan lebih fokus ke job
creation. Ini solusi ampuh, tinggal bagaimana ia menerjemahkan rencana
menjadi program riil yang diamini rakyat biasa.
Obama berpolitik sejak usia muda yang jadi modal kuat menghadapi
serbuan kritik Republik ataupun 30-40 persen rakyat independen. Ia
pemimpin yang memiliki kredibilitas, tidak asal bicara, dan tampil apa
adanya seperti manusia biasa.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/23/02523780/manusia.biasa
Baz: Manusia Biasa
Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 11.24
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar