BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Asmar Oemar Saleh: Berharap kepada Satuan Tugas

Asmar Oemar Saleh: Berharap kepada Satuan Tugas

Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 11.08

Asmar Oemar Saleh, ADVOKAT, MANTAN DEPUTI III BIDANG PENANGGULANGAN
PELANGGARAN HAM MENTERI NEGARA HAM RI

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menabuh genderang perang melawan
mafia hukum. Menindaklanjuti prioritas 100 hari pemerintahannya--salah
satunya pemberantasan mafia hukum--Presiden membentuk Satuan Tugas
(Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum pada 30 Desember 2009.

Tugas utama Satgas, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
(Keppres) No. 37 Tahun 2009, adalah membongkar semua hambatan dalam
pembersihan lembaga hukum Indonesia. Dalam kerangka itu, Satgas akan
bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung untuk
koordinasi.
Adapun penindakan berada pada kejaksaan dan kepolisian.

Terungkapnya pemberian fasilitas "kamar hotel berbintang"di Rumah
Tahanan Pondok Bambu, yang dihuni Artalyta Suryani dan Liem Marita,
menandai prestasi awal Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Meski
demikian, sejumlah pihak masih memandang Satgas ini dengan sebelah
mata. Sebagian ragu akan efektivitas lembaga itu. Sebagian lagi
memandang dengan curiga bahwa Satgas hanya bagian dari politik citra
Presiden. Bagaimana kita bisa berharap kepada Satgas ini?
Mafia hukum Selama ini, mafia hukum merupakan batu sandungan paling
utama dalam pemberantasan korupsi. Karena korupsi lazimnya merupakan
kolusi kolektif, bukan individual, maka keberhasilannya sangat
bergantung pada keberadaan mafia hukum.
Selama masih ada korupsi, mafia hukum akan terus bersemayam, juga
sebaliknya.

Di negeri ini, keberadaan mafia hukum telah menggurita dan membentuk
suatu sindikasi yang sulit ditembus oleh penegakan hukum biasa. Mata
rantai jaringan mafia ini tak hanya berpusat pada makelar kasus, tapi
juga pada para oknum penegak hukum di kepolisian, kejaksaan,
pengacara, sampai pengadilan.

Di tubuh kepolisian, mafia hukum tumbuh subur dalam beberapa bentuk,
dari salah tangkap, melepaskan tersangka tanpa dasar, penanganan kasus
yang tidak sesuai dengan aturan, hingga manipulasi data-data
penyelidikan dan penyidikan. Di tubuh eksekutif dan legislatif, mafia
yang paling besar adalah pada pembuatan undang-undang serta
pelaksanaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Motif mafia hukum juga beragam. Tujuan memperkaya diri dan kelompok
adalah yang paling jamak. Namun, terdapat pula motif-motif seperti
memburu pangkat dan jabatan, nepotisme keluarga, serta motif
primordialisme.

Rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan para oknum penegak hukum,
yang diperdengarkan kepada publik secara terbuka di Mahkamah
Konstitusi, menyingkap keberadaan mafia hukum di negeri ini. Rekaman
tersebut mengindikasikan fakta bahwa hukum bisa diatur, diintervensi,
dan direkayasa sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu.
Membangun harapan Meski prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan
reformasi Departemen Keuangan dalam memberantas korupsi relatif baik
dibandingkan dengan institusi lain di Indonesia, skor Indeks Persepsi
Korupsi Indonesia (IPK) yang dirilis oleh Transparency International
pada 2009 masih cukup tinggi.

Pada IPK 2008, Indonesia mendapat skor 2,6. Sedangkan pada 2009 naik
menjadi 2,8. Kenaikan skor 0,2 tidak terlalu signifikan jika melihat
bahwa Indonesia berada pada urutan ke-111 dari 180 negara. IPK
Indonesia masih di bawah negaranegara tetangga, seperti Brunei
Darussalam (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,3).

Dengan skor 2,8, dapat dimaknai bahwa Indonesia merupakan negara yang
dipersepsikan korup. Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para
pelaku bisnis maupun pengamat. Artinya, usaha pemberantasan korupsi
masih jauh dari berhasil. Dalam kaitan ini, komitmen pemerintah
terhadap tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) masih
dipertanyakan. Satgas tentunya menjadi elemen penting dalam mencapai
komitmen tersebut.

Dilihat dari anggotanya, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum memang
menjanjikan harapan. Diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto, yang juga
Ketua Unit Kerja Presiden untuk Program Pengendalian Pembangunan,
dengan Sekretaris Satgas adalah Denny Indrayana, Satgas beranggotakan
Wakil Jaksa Agung Darmono, Herman Effendi dari kepolisian, Mas Achmad
Santosa mewakili kalangan profesional, serta Ketua Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan Yunus Hussein.

Untuk menepis skeptisisme dan kecurigaan banyak kalangan, pertama-tama
Satgas yang baru dibentuk selayaknya mulai bekerja ekstrakeras,
terstruktur, dan terencana. Keraguan publik harus dijawab dengan kerja
seoptimal mungkin.

Kedua, mengingat pemberantasan mafia hukum di Indonesia adalah kerja
semua lapisan masyarakat, lembaga pemerintah, dan lembaga
nonpemerintah lainnya, maka kerja sama adalah kunci keberhasilan
Satgas. Sebab, mafia hukum telah menjadi parasit yang hidup di
berbagai lapisan dan banyak lembaga.
Keberhasilan memberantasnya ditentukan oleh kerja kolektif dan
kontribusi dari banyak pihak. Satgas harus mampu membangun kerja sama
dan koordinasi yang terpadu tersebut, terutama dengan lembaga-lembaga
penegak hukum lain.

Ketiga, dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat, fokus utama
Satgas adalah membongkar mafia hukum bukan dari yang terkecil,
melainkan dari yang terbesar. Dimulai dari yang kakap, terutama oknum
aparat penegak hukum dan lingkaran istana.

Keterlibatan kedua unsur tersebut dalam mafia hukum merupakan pangkal
bagi korupsi raksasa dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan
masyarakat banyak. Selain itu, kedua unsur tersebut merupakan figur-
figur sentral yang menjadi cermin bagi masyarakat dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia secara menyeluruh.

Akhirnya, kita akan melihat, apakah Satgas dapat menjadi senjata baru
bagi pemerintah dalam memerangi korupsi. Atau, hanya akan menjadi
topeng bagi bobroknya penegakan hukum di negeri ini.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/01/28/ArticleHtmls/28_01_2010_012_002.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: