BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Yulianto

Yulianto

Written By gusdurian on Rabu, 11 November 2009 | 08.28

Sial betul nasib orang-orang yang bernama Yulianto saat ini. Mereka
dikejar-kejar wartawan, malah bisa-bisa masuk DPO (daftar pencarian
orang) polisi.

Pasalnya oknum misterius yang menjadi pelaku atau saksi kunci dalam
kasus Bibit-Chandra (mari kita hindari istilah “kasus KPK”, apalagi
“KPK vs Polri”) kebetulan bernama Yulianto.Ini salah satu sesat pikir
yang berkembang di masyarakat yang disponsori oleh media massa, yaitu
menggeneralisasi dari khusus ke umum,dari satu Yulianto, ke semua
Yulianto se- Indonesia.

Beruntung sekali orang tua saya dulu memberi nama saya
“Sarlito”,bukanYulianto. Sesat pikir (istilah teknis dalam filsafat
logika) yang serupa juga terjadi ketika Bibit-Chandra digeneralisasi
menjadi KPK sehingga seolah-olah kasus Bibit-Chandra adalah kasus
upaya penggembosan atau bahkan pembubaran KPK.

Kalau sudah sesat pikir seperti ini, maka ucapan SBY bahwa beliau
“akan berdiri paling depan untuk menghalangi orang yang mau
membubarkan KPK” tidak terdengar lagi oleh massa rakyat. Bahkan
kemalangan yang dialami SBY dan keluarganya, ketika besan SBY, Aulia
Pohan, terpaksa masuk penjara karena dijerat KPK, sudah tidak ada lagi
yang ingat.

Pokoknya rakyat sudah berkesimpulan bahwa KPK, idola bangsa dalam
pemberantasan korupsi, hendak dibubarkan, jadi Presiden harus
bertanggung jawab,harus bertindak. Celakanya, SBY merasa terdesak oleh
sesat pikir rakyat,maka beliau membuat tim pencari fakta (TPF) yang
justru menimbulkan pertanyaan karena di sini Presiden sudah melakukan
intervensi ke ranah yudikatif, yang bertentangan dengan prinsip
sendiri seperti yang diucapkan pada pidatonya tanggal 23 Oktober 2009
lalu.

Sementara itu memang ranah yudikatif sudah diobok-obok habishabisan
ketika kasus digelar di depan umum melalui media massa (termasuk
pemutaran rekaman di Mahkamah Konstitusi/ MK) sehingga terjadilah apa
yang dinamakan trial by the public, suatu hal yang dianggap paling
salah dalam ilmu hukum pidana. Benar kata Jaksa Agung, di negara
hukum, keadilan tempatnya adalah di pengadilan, bukan di jalanan atau
di Facebook. Namun pengadilan pun belum tentu adil.

Socrates, filosof Yunani yang ajarannya masih dianut dalam ilmu
pengetahuan sampai hari ini, dihukum mati dengan minum racun oleh
pengadilan rakyat (399 SM).Bahkan rumah Tuhan yang namanya gereja bisa
tidak adil. Galileo Galilei (1564–1642) dihukum isolasi seumur hidup
oleh Gereja (1633) gara-gara temuannya bahwa bumilah yang mengelilingi
matahari, bukan sebaliknya.

Temuan tersebut, ketika itu, dianggap melawan takdir Tuhan walaupun
sejak itu sampai hari ini umat seluruh dunia mengakuinya sebagai
kebenaran yang tak terbantahkan. Anehnya, gereja Katolik baru mengakui
kesalahannya pada tahun 1992 (Paus Johanes Paulus II) dan
merehabilitasi nama Galileo Galilei sebagai ilmuwan pada 2008 (Paus
Benedictus XVI).

*** Ada seorang filosof-ilmuwan Inggris bernama Sir Francis Galton
(1822–1911) yang telah mengingatkan akan bahaya sesat pikir. Salah
satu sumber sesat pikir adalah idola fori, yaitu mengidolakan pendapat
forum (orang banyak, suara terbanyak, massa, publik, media, dll).
Dalam rangka idola fori sangat mudah orang meyakini sesuatu yang
salah. Contohnya, takhayul dan prasangka. Perbudakan dan diskriminasi
rasial bisa bertahan berabad-abad karena idola fori berwujud takhayul
dan prasangka itu.

Begitu juga hollocaust yang meminta korban jutaan jiwa orang Yahudi di
Jerman didasari prasangka terhadap orang Yahudi. Jadi Galton mewanti-
wanti semua ilmuwan agar tetap konsisten (bahasa Islamnya: istiqamah),
yaitu hanya percaya pada buktibukti empirik. Jangan pernah
menyimpulkan sesuatu sebelum kita membuktikannya secara empirik.
Bahkan bukti empirik pun bisa digugurkan oleh bukti empirik lain.

Karena itu tidak akan pernah ada ilmu yang sempurna, tetapi hanya
ilmulah yang bisa berkembang sehingga makin lama makin sempurna. Jadi
dalam kasus Bibit- Chandra, kita tidak bisa memastikan mana yang benar
dan yang salah. Kita harus tunggu sampai semua terbukti atau tidak
terbukti. Dalam negara hukum kita,bukti itu harus disidangkan di
pengadilan. Bukan digelar dan dijadikan bahan debat kusir di Bundaran
HI, di televisi, koran, atau bahkan di Facebook.

Mungkin Polri lambat (barangkali karena kesulitan mengumpulkan barang
bukti), ya doronglah Polri supaya bertindak lebih cepat.Atau Kejaksaan
Agung terlalu banyak birokrasi, ya Kejaksaan Agung didorong untuk
lebih profesional. Akan tetapi jangan melakukan intervensi, apalagi
karena dorongan pendapat publik yang di-kendalikan oleh media.
Dampaknya pasti sesat pikir.

Sulitnya, para elite Indonesia, termasuk pakar-pakar dan pengamat-
pengamat karbitan, demen banget masuk tivi. Kalau sudah masuk tivi,
ngomong semaunya. Celakanya, tivi-nya malah senang. Makin
kontroversial, makin senang. Malah tokoh-tokoh yang sedang sewot
(tersangka sampai pengacara dan politisi) diundang dan dikipasi
sedemikian rupa sehingga akhirnya mereka berantem (adu mulut, bahkan
adu jotos) di depan kamera. Memang seru sebagai tontonan,tetapi tidak
santun sebagai tuntunan,bukan?

*** Namun mengapa para elite yang terpelajar, bahkan ada yang doktor,
malah profesor, bisa ikutikutan idola fori yang sesat pikir? Le Bon
(1841–1931), psikolog sosial Prancis, menjawabnya dengan teori jiwa
kelompok (group mind). Seseorang, kata Le Bon, tidak peduli tingkat
pendidikan dan status sosialnya,begitu bergabung dalam kelompok, akan
melepaskan jiwa individualnya dan bergabung dalam jiwa kelompok.

Padahal jiwa kelompok itu selalu irasional, emosional, destruktif,
kekanakkanakan. Coba perhatikan wajah-wajah, nada suara, gerak-gerik,
dan katakata mereka yang tampil di depan kamera tivi dalam kasus
Bibit- Chandra.Walaupun tidak semua, kebanyakan menunjukkan perilaku
kanak-kanakan. Marah-marah, melecehkan, teriak-teriak, menertawakan
orang, menyalahkan orang, ngomong tidak konsisten, dan yang terpenting
tidak rasional.

Pas betul seperti yang digambarkan oleh Le Bon dalam bukunya The
Crowd. Akan tetapi mungkin inilah jalan yang harus dilalui oleh bangsa
Indonesia untuk sampai ke negara demokrasi yang sesungguhnya. Amerika
Serikat menjalaninya selama lebih dari 200 tahun dan mengalami perang
saudara, bahkan beberapa kali pembunuhan presiden.

Sementara Indonesia sendiri saat ini pun (tidak perlu lamalama) sudah
diacungi jempol oleh negara-negara lain sebagai negara paling
demokratis, tetapi juga paling aman dan paling amin (baca: menjunjung
agama) sedunia. Meski begitu, demokrasi kita tidak boleh waves the
rules (mengaduk- aduk peraturan).

Kita harus mencontoh Inggris yang selama berabad-abad bisa rules the
waves (menguasai lautan), padahal buat mereka, selama berabad-abad,
yang penting bukan demokrasi, melainkan right or wrong my country
(benar atau salah, pokoknya negaraku).Yang jelas di sana tidak ada
orang ketakutan hanya karena namanya Yulianto.(*)

Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar, Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia, Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/283284/
Share this article :

0 komentar: