BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Nasib Tragis Pemberantasan Korupsi

Nasib Tragis Pemberantasan Korupsi

Written By gusdurian on Senin, 28 September 2009 | 08.39

Nasib Tragis Pemberantasan Korupsi

Zainal Arifin Mochtar *)
*) Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi FH UGM

Kehidupan adalah perjuangan melawan lupa…
(Milan Kundera)

JIKA lembaran sejarah kehidupan lembaga pemberantas korupsi (maupun
yang serupa dengannya) dibuka, ada fakta menarik perihal perjuangannya
bertahan hidup. Lembaga-lembaga pemberantas korupsi cenderung berada
pada langgam kehidupan yang sama: memiliki ketergantungan tinggi pada
dasar kewenangan yang kuat dan iktikad (will) pelaku kekuasaan negara
untuk melindungi. Ada kebutuhan akan platform yang kuat sebagai
pijakan berdiri dan keharusan adanya payung kokoh yang melindungi.
Tanpa keduanya, lembaga pemberantas korupsi dengan mudah terbunuh.
Hingga saat ini, belum ada satu rezim pun yang menyematkan dua hal itu
pada lembaga pemberantas korupsi.

Mulai Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), Operasi Budhi,
Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar), Tim Pemberantas
Korupsi (TPK), Komite Empat, Pangkopkamtib dengan Operasi Tertib
(Opstib), Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN),
hingga Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK),
semuanya hidup lalu mati secara menyedihkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah diterpa dua hal yang
sama: dasar kewenangan yang mulai dipersoalkan dan, pada saat yang
sama, tidak satu pun pelaku negara memberikan pembelaan atas KPK.

Saat ini tengah ada upaya untuk menghajar kewenangan dan daya jelajah
KPK. Sejujurnya, jika melongok pada kemampuan KPK untuk menegakkan
hukum antikorupsi, peran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
tidak kalah kecilnya. KPK dan Pengadilan Tipikor adalah tandem yang
cukup menakutkan, sekaligus memiliki hubungan saling tergantung.
Menghajar KPK tentu saja bisa dengan membuat Pengadilan Tipikor cacat,
baik karena substansi yang terbajak maupun karena tidak kunjung
mengada hingga 19 Desember 2009.

Bahkan di RUU Pengadilan Tipikor ada semangat ”berlebih” untuk
membunuh KPK, yakni dengan menghilangkan kewenangan penuntutan oleh
KPK. Memang, biasanya penuntutan dilakukan oleh jaksa, tapi sebagai
bagian dari ”ijtihad” luar biasa untuk memberantas kejahatan luar
biasa (extraordinary crime), KPK diberi kewenangan ini.

Pelaksanaan kewenangan juga sudah mulai diganggu dengan
mempermasalahkan tindakan atau langkah pelaksanaan kewenangan oleh
KPK. Dua orang komisioner ditetapkan menjadi tersangka dalam rangka
pelaksanaan kewenangan. Adakah ini berkaitan dengan pelanggaran
pelaksanaan atau suap-menyuap, yang terang semua ini tanpa menunjukkan
bukti.

Dalam penetapan tersangka ini, kepolisian dalam skop tertentu telah
bertindak seperti kepolisian di zaman Orde Baru. Penetapan tersangka
dan penangkapan dikedepankan, kesalahan menyusul kemudian. Polisi
seakan-akan menganggap dirinya telah sah menetapkan tersangka ketika
mampu menyebut pasal yang disangkakan, meski tidak mampu dan gagap
untuk menjelaskan terpenuhi atau tidaknya unsur perbuatan pelanggaran
pada pasal yang disangkakan.

Dalam serangan mematikan atas pelaksanaan kewenangan dan dasar
kewenangan, pemegang kekuasaan negara malah cenderung diam dan
berpangku tangan, bahkan tak meminta kepolisian berhati-hati dan
profesional dengan pemaparan bukti otentik kesalahan komisioner KPK.

Anehnya, Presiden lebih memilih mengeluarkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perpu) untuk segera menunjuk pelaksana tugas
pimpinan KPK karena pimpinan KPK tinggal dua orang. Perpu ini sedari
mula bermasalah karena menjadi pembuka kotak Pandora yang berpotensi
memunculkan kejahatan lain.

Pertama, perpu ini telah menjadi pembenar terhadap kriminalisasi oleh
kepolisian atas pelaksanaan kewenangan oleh KPK. Kedua, meskipun
sebuah perpu merupakan subyektivitas Presiden, keliru jika perpu
dikeluarkan melawan keniscayaan dan kepatutan sistem yang dibangun,
yakni pemilihan melalui seleksi, tidak melalui penunjukan, sekalipun
hanya memilih pelaksana tugas.

Ketiga, perpu ini jelas keliru karena dengan seketika membesarkan
kewenangan Presiden untuk menunjuk pejabat pelaksana tugas komisioner
KPK, padahal pada saat yang sama ”pihak” pemerintah tengah jadi
”tertuduh” dalam skandal korupsi, misalkan saja kasus Bank Century.
Jika logika ini diterima, akan ada kemungkinan pemimpin negeri dengan
mudah membuat skenario kriminalisasi terhadap petinggi lembaga
pemberantas korupsi, lalu setelah diberhentikan, langsung diganti
dengan mekanisme kekuasaan yang ada pada dirinya, semisal perpu.

Artinya, berkaca pada serangan atas KPK, harus ada upaya agar rantai
sejarah ini diputus. Di tengah ketiadaan dukungan pelaku kekuasaan
negara terhadap KPK, publik harus tetap melindungi KPK. Pada saat yang
sama, KPK harus membalas kecintaan publik dengan terus bekerja
memproses pelaku-pelaku korupsi, khususnya pada wilayah yang
ditengarai menjadi simpul penyebab serangan terhadap KPK.

Di samping itu, petinggi negeri tetap harus diingatkan. Jika dalam
kampanye banyak menyinggung dan ”menjual” pemberantasan korupsi,
saatnya kini menyelamatkannya. Bukan melalui perpu kotak Pandora,
melainkan melalui perlindungan atas pelaksanaan kewenangan KPK dan
pemihakan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi.


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/KL/mbm.20090928.KL131482.id.html
Share this article :

0 komentar: