BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Semua Bermula dari Antasari

Semua Bermula dari Antasari

Written By gusdurian on Kamis, 13 Agustus 2009 | 09.36

Semua Bermula dari Antasari
Oleh: Jabir Alfaruqi

PADA waktu diadakan fit and proper test (uji kelayakan) para calon
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), semua elemen antikorupsi
secara lantang menolak figur Antasari Azhar (AA) sebagai nomine.
Penolakan semakin kuat ketika terdengar kabar bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) akan memilih dia sebagai ketua KPK. Kendati demikian,
akhirnya dia terpilih juga sebagai ketua KPK.

Penolakan itu dilatarbelakangi track record AA yang kurang bagus di
lembaga kejaksaan. Integritas dan kinerjanya di bidang penegakan
hukum, khususnya pidana khusus korupsi, kurang baik. Para aktivis
antikorupsi khawatir ke depan KPK tidak berdaya kalau dipimpin sosok
yang integritasnya tidak baik. Padahal, kehadiran KPK diharapkan bisa
memberikan harapan baru bagi penegakan hukum pidana korupsi.

Tetapi apa dikata, DPR yang memiliki kewenangan untuk menentukan
pimpinan KPK tidak mau menggubris suara arus bawah. Kritik dan
penolakan tersebut dianggap angin lalu. AA pun terpilih sebagai
pimpinan KPK dan dipilih pula menjadi ketua KPK. Sungguh luar biasa.

Dalam perjalanan awalnya, gebrakan AA memang cukup meyakinkan.
Keraguan publik pun terkikis. Banyak pihak yang berharap praduga
negatif di masa uji kelayakan itu salah dan tidak menjadi kenyataan.
Para politisi diciduk, petinggi negara ditahan, dan tak kalah
menghebohkan jaksa Urip Tri Gunawan sebagai orang penting di Kejagung
ditangkap. Itu merupakan prestasi luar biasa mengingat AA berasal dari
institusi kejaksaan.

Namun, lama-lama kinerja KPK mulai melemah. Penanganan kasus-kasus
korupsi hanya mengambil sampel-sampel dan tidak tuntas. Kasus di
kalangan politisi hanya diselesaikan pada tingkat anggota dewan. Tidak
sampai pada pimpinan komisi. Kasus pengakuan Agus Condro dibiarkan
saja karena hal itu melibatkan politisi PDIP yang dulu sangat
menentukan keterpilihan AA. Dan, masih banyak lagi kasus yang
penanganannya belum jelas.

Tidak lama kemudian, AA terlibat kasus pembunuhan Nasrudin dan
terjebak cinta segi tiga dengan Rani, istri siri Nasrudin. Sejak
peristiwa itu, KPK digoyang kanan kiri, baik oleh DPR yang meragukan
keabsahan putusan KPK karena hanya terdiri atas empat orang, perang
dengan petinggi kepolisian yang melahirkan istilah ''cecak melawan
buaya'', maupun belum jelasnya penyelesaian RUU Tipikor.

Yang lebih mengejutkan adalah testimoni AA yang mengatakan dirinya
telah bertemu dengan direktur PT Masaro di Singapura dan mengabarkan
kesaksian bahwa pimpinan KPK menerima suap dari perusahaan tersebut.
Berita itu semakin memojokkan KPK di mata publik. Energi KPK akhirnya
tersedot untuk merespons isu-isu miring yang mendiskreditkan lembaga
tersebut. Itu tentu kerugian besar bagi bangsa Indonesia.

Troublemaker

Bila kita analisis, apa yang akhir-akhir ini dilakukan AA, tampaknya,
semakin memperkuat dugaan awal para aktivis antikorupsi yang menuding
KPK di bawah kepemimpinan AA tidak akan lebih baik. Bahkan, di
kalangan aktivis antikorupsi, AA dianggap sebagai troublemaker KPK.
Benarkah seperti itu? Tentu saja banyak hal yang bisa dijadikan
argumentasi.

Pertama, AA sebetulnya sadar betul bahwa ketika dijadikan tersangka
dalam kasus pembunuhan Nasrudin, citra dirinya sudah habis di depan
publik. Seorang yang sangat ditakuti bisa tersandung kasus yang
semestinya tidak layak untuk dilakukan. Tetapi, dia tidak mau menjadi
pesakitan sendirian. Karena itu, kasus yang menimpa dirinya dicoba
dikait-kaitkan dengan para komisioner KPK lain. Dengan demikian, bukan
hanya dirinya yang kotor, tetapi komisioner lain juga tidak bersih.

Kedua, AA seharusnya sadar betul bahwa pengakuan dirinya telah bertemu
dengan direktur PT Masaro yang buron korupsi di Singapura adalah
melanggar UU No 30/2002 tentang KPK pasal 36 jo pasal 65. Namun, hal
itu tetap diungkapkan AA ke permukaan. Penyampaian informasi tersebut
sebenarnya tidak semata-mata menggambarkan hanya dirinya yang citranya
sudah rusak. Tetapi, lebih jauh dari itu, publik menjadi tahu bahwa
citra KPK tidak sebaik yang dibayangkan orang. Integritas para
pimpinan KPK juga parah, tak sebersih perkiraan orang.

Ketiga, ada kekhawatiran setelah AA diberhentikan dari posisi ketua
KPK, KPK semakin tidak terkendali alias semakin berani menindak kasus-
kasus yang diendapkan pada masa kepemimpinan AA. Bila itu terjadi,
banyak pihak yang dirugikan. Keselamatan terancam dan masa depan
mereka tidak menentu. Hal tersebut tentu sangat tidak diinginkan.
Karena itu, AA didorong untuk melakukan sesuatu.

Keempat, sebagai pucuk pimpinan KPK, integritas dan komitmennya
terhadap KPK layak diragukan. Kenapa? Semestinya kalau dia yang
terkena kasus tertentu dan tidak melibatkan orang lain, sebaiknya AA
tidak mencoba mencari-cari masalah agar citra pimpinan KPK lain
tercoreng. Tetapi, mengapa dia melakukan sebaliknya? Selama ditahan di
Mabes Polri, AA selalu mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan
komisioner KPK lain. Ada apa dengan AA?

Seandainya apa yang tertera di atas itu benar, tudingan awal bahwa
kehadiran AA di KPK maupun sebagai ketua KPK adalah by design bukan
karena kebetulan menjadi benar adanya. Karena kehadirannya by design,
tentu saja ketika terkena masalah dan berpotensi dipecat dari KPK,
banyak pihak yang berusaha agar bukan hanya AA yang jatuh. Lembaga KPK
pun berusaha diseret. Dengan harapan, lembaga itu menjadi lemah.
Keberadaannya seperti tidak adanya. (*)

*) Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah
http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: