BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Rendra, (1935-….)

Rendra, (1935-….)

Written By gusdurian on Senin, 10 Agustus 2009 | 09.29

Rendra, (1935-….)

SAYA tak bisa mengerti bagaimana Rendra ”pergi selama-lamanya”,
kecuali bahwa jasad itu dimakamkan, 7 Agustus 2009, dalam umur hampir
74. Rendra tak pernah mati: ia telah memberi kita puisi.

Lalu terdengarlah suara
di balik semak itu
sedang bulan merah mabuk
dan angin dari selatan.

Sajak seperti ini ditulis sekitar setengah abad yang lalu. Tapi
deskripsinya yang bersahaja dan terang tetap menyembunyikan sesuatu
yang seakan-akan baru terungkap secara mendadak buat pertama kalinya
hari ini. Rendra menghadirkan yang tak terhingga. ”Tujuh pasang mata
peri/terpejam di pohonan”. Imaji seperti itu terus-menerus tak bisa
dibekukan oleh tafsir.

Puisi tentu saja bisa beku, juga puisi Rendra. Ini terjadi ketika apa
yang tumbuh dan hidup dari dalamnya—yaitu yang fantastis, yang ganjil,
yang misterius—ditiadakan. Ini yang terjadi ketika puisi diambil alih
perannya oleh ajaran, dengan niat bisa berguna secara efektif. Dan
zaman bisa membutuhkan itu: karena keadaan, kita dengan brutal
menuntut puisi untuk mati suri.

Saya tak ingin Rendra, yang sebagai penyair rela mengorbankan banyak
hal—termasuk apa yang terbaik dari dirinya—harus dikorbankan berkali-
kali.

Sebab itu, ketika kini Rendra hanya diingat sebagai suara kritik dan
kearifan sosial yang menggugah, saya ingin mengenangnya lebih dari
sekadar itu.

l l l

Di sekolah menengah pertama sekitar tahun 1955, saya terpesona membaca
sajak Litani Domba Yang Kudus di majalah Kisah. Sajak Rendra ini
melantunkan pengulangan yang berbunyi seperti dalam doa, tapi juga
seperti permainan anak-anak yang tangkas, dengan imaji yang datang
dari khazanah yang terasa akrab—yang datang dari latar agama Katolik
yang membesarkan sang penyair. Seperti sebuah sajak lain dari masa
ini, yang ditulisnya sekitar hari sakramen pernikahannya dengan
Sunarti Suwandi:

Di gereja St Josef
tanggal 31 Maret 1959
di pagi yang basah
seorang malaikat telah turun.
Seorang malaikat remaja
dengan rambut keriting
berayun di lidah lonceng.
Maka sambil membuat bahana indah
dinyanyikan masmur
yang mengandung sebuah berita
yang bagus.
Dan kakinya yang putih indah
terjuntai

Suara itu sungguh berbeda dari corak umum puisi tahun 1950-an lain.
Puisi Rendra adalah sebuah kecenderungan naratif yang unik, lincah,
cerah, dan acap kali amat manis.

Seorang kritikus, Subagio Sastrowardojo, menunjukkan bahwa dalam sajak-
sajak Rendra terdapat pengaruh kuat puisi penyair Spanyol Federico
Garcia Lorca, yang di Indonesia waktu itu diperkenalkan dengan bagus
oleh Ramadhan K.H. Tapi orang juga bisa mengatakan, dalam puisi Rendra
masa itu bergema lagu dolanan anak-anak Jawa. Bagi saya itu
menunjukkan, tak seperti Chairil Anwar dan Rivai Apin yang berseru
memilih laut dan meninggalkan daratan, Rendra—seperti Lorca, seperti
dolanan anak-anak dusun—lebih akrab dengan lanskap yang terdiri dari
bukit, jalanan, rumpun, daun, dan burung-burung. Dalam buku Empat
Kumpulan Sajak, ada kutipan sepucuk suratnya kepada sahabatnya, D.S.
Moeljanto, bertahun 1955, yang menyatakan bahwa ia ingin ”tetap
bergantung pada daun-daun, dan air sungai”

Bagi Chairil, Rivai, dan Asrul Sani—mungkin karena mereka datang dari
lingkungan yang terbentuk oleh adat merantau—laut adalah kemerdekaan,
dengan risiko menghadapi malapetaka dan kesendirian. ”Apa di sini,”
kata Rivai Apin memaki tanah asal dalam salah satu sajaknya, ”batu
semua!”

Puisi Rendra, sebaliknya, tak merayakan laut, tak menggambarkan diri
sebagai kelasi yang hanya singgah di bandar asing dengan perempuan
yang cukup dipeluk untuk beberapa saat.

Pada 1953, dalam sebuah pidato tentang Chairil Anwar di hadapan
”sastrawan-sastrawan muda Surakarta”, ia mengecam para seniman yang
meniru-niru ”jalang”-nya Chairil Anwar. Para pembuntut macam itu, kata
Rendra, hanya ”menjalang dengan otak babinya”.

Rendra tak terbatas mengkritik para epigon Chairil Anwar. Terhadap
sikap Chairil sendiri ia menarik garis. ”Konsekuensi dari ajakan
melepas nafsu Chairil dalam sajaknya Kepada Kawan,” demikian kata
Rendra, ”adalah penghapusan undang-undang, yang berarti lebih dahsyat
dari bom atom.”

l l l

Pandangan itu kemudian berubah; kita memang tak bisa berbicara tentang
satu Rendra. Ia kemudian mempesona kita ketika ia berbicara tentang
peran soal ”orang urakan”: orang-orang yang, seperti Ken Arok dalam
sejarah, berada di luar ketertiban hukum, bahkan merupakan antitesis
dari ketertiban sebagai ideologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu,
para ”urakan” justru berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial,
dan pembebasan.

Pada akhirnya, posisi ”urakan” bagi Rendra lebih penting dan lebih
menarik ketimbang posisi pembela ketertiban. Meskipun ia tak pernah
memaki tanah asal sebagai ”batu semua!” sebagaimana Rivai Apin, ia tak
pernah tergerak untuk mensakralkan tempat tinggal, rumah, dan negeri
asal.

Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tak akrab.
Baginya kebudayaan Jawa adalah sebuah ”kebudayaan kasur tua”: sebuah
tempat mandek yang hanya enak buat tidur nyenyak.

Tapi ia melihat tradisi dan masa lalu tak satu. Masa lalu yang
dikecamnya adalah ”kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira dimulai abad
ke-18 atau akhir abad ke-17”. Ada masa lalu lain, yang menurut Rendra
dilupakan orang Jawa sendiri. Dalam ”tembang-tembang kuno,” katanya,
”ada ajaran yang mengajak kita untuk mandiri, untuk berdiri sendiri,
untuk mengada.”

Rendra tak menyebut dengan jelas ”tembang kuno” mana yang mengajarkan
demikian. Ia hanya menyebut kisah Dewa Ruci, kisah tentang Bhima yang
mencari dan kemudian menemukan ”dirinya sendiri”. Agaknya yang jadi
soal bukanlah tradisi itu sendiri, tapi kemandekan yang mencekik
individu. Dalam kebudayaan tradisional yang ada, kata Rendra,
”individu belum diketemukan”.

Pada 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota New York.
Dari sana datang beberapa puisinya yang matang dan memukau, yang
terkumpul dalam Blues Untuk Bonnie. Dalam sepucuk surat yang
ditulisnya dari sana, bertanggal 29 Mei 1967, ia mengatakan,
”Perubahan terjadi di dalam saya…. Adapun yang paling memberikan kesan
pada kesadaran saya dewasa ini ialah ilmu pengetahuan. Saya merasakan
ini sebagai imbangan yang sehat untuk kesadaran mistik dan seni yang
ada dalam diri saya”.

Dari sini ia berbicara untuk melaksanakan ”firman modernisasi”. Ia
bersuara tentang agar orang Indonesia ”melawan alam”. Ini
ditandaskannya kembali ketika ia, bersama awak Bengkel Teater Yogya
memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 1969. Ia berpidato dengan teks
yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaimana di Barat kehidupan diatur
oleh mesin bikinan manusia, dan bagaimana di Indonesia individu
bagaikan sekrup dan gotri yang ditentukan perannya oleh semacam mesin
lain, yakni alam. Individu tak bisa merdeka, katanya, karena seluruh
hidupnya hanya merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan
tugasnya dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah
melawannya, kata Rendra.

Di sini ada gema yang kembali dari pemikiran yang dibawakan para
sastrawan pada 1930-an, terutama oleh S. Takdir Alisjahbana. Suara itu
kemudian dilanjutkan Soedjatmoko ketika menulis pengantar buat majalah
Konfrontasi pada 1955: ia menjelaskan kenapa harus ada ”konfrontasi”
dengan ”faktor-faktor kebudayaan” yang tidak mendukung pembangunan
bangsa. Rendra meneruskan ”firman modernisasi” itu.

Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan Sanusi Pane, seorang
penganut Theosofi yang memuja masa lalu India, punya sisi gelap. Tak
ada yang baru di sini: Max Weber meramalkan bahwa ”akal instrumental”
yang memacu dunia modern pada akhirnya akan membawa manusia ke dalam
”kerangkeng besi”. Mazhab Frankfurt melihat ”Pencerahan” yang membawa
”firman modernisasi” pada akhirnya melahirkan penindasan.

Sanusi Pane memandang sisi gelap itu seraya memegang gambaran tentang
”Timur” dalam idealisasi kaum Orientalis. Akhirnya, sebagai kelanjutan
sikap ”anti-Barat”, penyair Madah Kelana itu memuja semangat Jepang
yang fasistis.

Berbeda dari Sanusi, kaum intelijensia Indonesia yang hidup dalam
dasawarsa 1970 dan 1980 punya acuan lain.

Inilah masa ketika Soedjatmoko, yang agaknya terpengaruh oleh
Schumacher, dan Schumacher yang terpengaruh oleh Buddhisme, berbicara
tentang perlunya ”teknologi madya”. Ini juga masa ketika Arief Budiman
mengedepankan ”teori dependenzia” yang mengecam ”ketergantungan” Dunia
Ketiga kepada modal. Ini juga masa ketika Rendra mementaskan Mastodon
dan Burung Kondor serta Perjuangan Suku Naga, yang mengkritik
”pembangunanisme” kekuasaan ”Orde Baru”.

Tampak ada perubahan yang tajam dari seruan ”modernisasi” dan ”melawan
alam” yang ditulisnya pada akhir 1960-an. Saya tak tahu, adakah
perubahan itu mendasar sifatnya dan akan menetap. Dunia sedang
bergeser lagi. Semangat ”teknologi madya” yang merupakan ”Gandhisme
baru” tampaknya tak bergema lagi, mungkin karena dari ide itu tak ada
jawaban bagaimana negeri-negeri miskin akan bertahan menghadapi negeri
yang memakai teknologi tinggi. Teori ”dependenzia” sudah ditinggalkan
para teoretikusnya sendiri di Amerika Latin. Pembangunan sosialis
model RRC zaman Mao digantikan pembangunan ala borjuis dengan gegap-
gempita dan mencengangkan dunia.

Rendra belum menjawab pergeseran besar ini. Tapi ia telah memberi kita
sebuah kearifan yang boleh dibilang inti dari ”firman modernisasi”
yang sering dilupakan. Kearifan itu tersirat dari kata-katanya:
”Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang bertanya pada
kehidupan.”

l l l

Puisi bukanlah sebuah pertanyaan, tapi puisi tak ingin menjebak kita
dengan jawaban. Seorang penyair akan merasakan gundah ketika orang
ramai menuntutnya jadi pemberi fatwa.

Rendra—di pentas selalu karismatis, suaranya memukau—akan dengan
gampang berada dalam status itu: seorang penyair yang jadi intelektual
publik karena keadaan yang tertekan memaksanya demikian, dan seorang
intelektual publik yang kata-katanya berubah jadi khotbah karena orang
ramai—dengan dorongan tersendiri— mendesaknya.

Saya kira ada kegundahan itu dalam Khotbah, salah satu sajak yang akan
kekal dalam sejarah kesusastraan mana pun.

Fantastis.
Di satu Minggu siang yang panas
di gereja yang penuh orangnya
seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
matanya manis seperti mata kelinci
dan ia mengangkat kedua tangannya
yang bersih halus bagai leli
lalu berkata:
”Sekarang kita bubaran
Hari ini khotbah tak ada”.

Tapi orang-orang tak beranjak. Mereka tetap berdesak-desakan. Mata
mereka menatap bertanya-tanya. Mereka ingin benar mendengar. Mereka
pun berdesah, barbareng, dengan suara aneh. Padri itu menyaksikan
semua itu dengan cemas:

”Lihatlah aku masih muda.
Biarkan aku menjaga sukmaku.
Silakan bubar.
Ijinkan aku memuliakan kesucian.
Aku akan kembali ke biara
Merenungkan keindahan Ilahi.”

Tapi orang banyak itu tak membiarkannya. Mereka tak mau bubar. Mereka
akhirnya mendesak, dan dalam sebuah orgi yang buas dan bernafsu,
memperkosa sang padri, mencincang dagingnya, memakannya, dalam suara
gemuruh, ”cha-cha-cha, cha-cha-cha…”

Fantastis.

Jakarta, 8 Agustus 2009

Goenawan Mohamad

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/08/10/CTP/mbm.20090810.CTP131104.id.html
Share this article :

0 komentar: