BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menantikan Transparansi Negara

Menantikan Transparansi Negara

Written By gusdurian on Senin, 10 Agustus 2009 | 10.05

Menantikan Transparansi Negara



Paulinus Yan Olla

Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesaat setelah peledakan bom
di Mega Kuningan telah menimbulkan polemik.

Para pengkritik menilai, pidato itu sebagai usaha pemanfaatan situasi
duka para korban untuk meraup keuntungan politis dan demi kekuasaan
(bdk, Kompas.com, 22, 29/7).

Terlepas dari polemik itu, masalah yang sering dihadapi bangsa ini
adalah ketidakjelasan isu- isu penting yang langsung mempertanyakan
transparansi negara. Sering terjadi, alih-alih menjernihkan masalah,
pernyataan pejabat malah mengaburkan masalah. Aneka pernyataan
intelijen negara yang tidak terbukti kebenarannya harus disesali
karena selain meresahkan, juga membawa nuansa pembohongan publik
(Kompas, 26/7).

Dalam ruang kekaburan

Bangsa ini harus dapat menolong diri untuk keluar dari cap sebagai
”negara misterius” karena urusan-urusan publik yang bukan rahasia
diperlakukan para pejabat seakan menjadi serba rahasia (Kompas, 6/8).
Berbagai peristiwa seperti gerakan PKI 1965, hilangnya mahasiswa
aktivis, dan berbagai dugaan pelanggaran HAM, atau kasus pengeboman
sepertinya begitu sulit diungkap sehingga negeri ini seolah berjalan
dalam ruang kekaburan.

Keadaan demikian secara tak disadari membenarkan keyakinan filosofis
Walter Benjamin (1892-1940) tentang sejarah sebagai proses penulisan
kemenangan mereka yang berkuasa dan kekalahan para korban.

Para pecundang tidak dihitung dalam sejarah. Mereka yang tertindas dan
menjadi korban sama sekali hilang dari masa lampau, tanpa kenangan,
tanpa jejak. Yang mampu meninggalkan jejak hanya yang berkuasa (bdk,
Ottmar John, ”... und dieser Feind hat zu siegen nicht aufgehört” (W
Benjamin. Die Bedeutung Walter Benjamins für eine Theologie nach
Auschwitz, 1999).

Sejak Reformasi bergulir di Indonesia, negeri ini bertekad menghindari
pesimisme Benjamin tentang penulisan sejarah. Masa lalu maupun
kejadian masa kini yang diseleksi untuk ditulis dalam sejarah
kemenangan kaum otoriter ditolak. Dalam iklim negara demokrasi, semua
warga, terutama mereka yang dalam posisi lemah, wajib didengar
suaranya. Maka keluhan tentang kian lemahnya gerakan masyarakat madani
harus dibaca sebagai peringatan bahwa demokrasi akan mati bila nasib
bangsa ditulis hanya oleh segelintir penguasa.

Pencerahan situasi gelap masa lampau dan masa kini hanya dapat
dilakukan jika pejabat negara bertekad menyelesaikan aneka masalah
bangsa secara transparan. Transparansi bukan sekadar ”buka-bukaan”
yang superfisial atau bermotif politik pencitraan diri. Transparansi
sejati mengungkap dorongan terdalam hati manusia akan kebenaran.

Siapa pun yang memimpin bangsa ini diharapkan menghentikan pola pikir
monopolistis atas kebenaran dan sikap represif terhadap mereka yang
lemah atau yang memiliki ide-ide berlawanan dengan pendapatnya. Pola
pikir dan sikap demikian hanya layak bagi kaum otoriter. Pejabat
otoriter merasa menjadi tuan atas kebenaran dan menempatkan diri pada
posisi penentu seluruh perkembangan bangsa.

Keputusan Pemerintah Inggris membentuk komisi investigasi independen
untuk meneliti keterlibatan negaranya dalam perang Irak merupakan
contoh upaya sebuah bangsa membuka tabir kegelapan dalam urusan
publik. Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan semua pejabat
yang berwenang atas keputusan itu akan diperiksa dalam sidang yang
akan disiarkan televisi dan internet agar diketahui publik (The
Guardian, 30/7).

Kebutuhan transparansi

Bangsa-bangsa beradab selalu belajar menerangi hidupnya agar tak
melanggengkan kesewenang- wenangan dan terhindar dari kejatuhan pada
kesalahan sama. Hal itu dilakukan melalui tuntutan transparansi
pemerintah sebagai pertanggungjawaban kebijakannya di hadapan
rakyatnya.

Situasi kelabu masih meliputi pascapemilu presiden dan wakil presiden.
Hasil pemilu masih menjadi sengketa. Iklim demikian menampakkan kian
mendesaknya kebutuhan akan transparansi berlandaskan semangat mencari
nilai kebenaran. Mereka yang terlibat hendaknya menghayati pertikaian
atas hasil pemilu bukan sebagai tindakan balas dendam berbaju
demokrasi. Ia harus diubah menjadi usaha menerangi kekaburan melalui
dialog agar nilai-nilai kebenaran atau keadilan menjadi landasan
pembangunan negeri yang kian demokratis.

Bila demokrasi menjadi sebuah tuntutan sosial-politis agar masyarakat
berfungsi, perlu dilandasi karakter sosial seperti dibayangkan Erich
Fromm. Transparansi berbasis kerinduan mencari kebenaran, jika
berhasil dijadikan karakter sosial bangsa, maka seluruh masyarakat—
dari pemimpin—akan terpacu dari kedalaman dirinya untuk mewujudkannya
(Erich Fromm, The Sane Society, 1990: 78-81).

Demokrasi yang ingin dibangun dilucuti dari topeng kekaburan dan
rekayasa demi kelanggengan kekuasaan. Dengan demikian, negeri ini
dapat membebaskan diri dari cap negara misterius!

Paulinus Yan Olla Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio
Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/10/04282987/menantikan.transparansi.negara
Share this article :

0 komentar: