BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Aceh Menunggu Komitmen SBY

Aceh Menunggu Komitmen SBY

Written By gusdurian on Sabtu, 01 Agustus 2009 | 12.04

Aceh Menunggu Komitmen SBY

Jangan tanya soal kesetiaan kepada orang Aceh. Pada zaman Soekarno,
rakyat Aceh mendedikasikan diri secara heroik. Salah satunya melalui
sumbangan pesawat Seulawah Agam dan Seulawah Inong. Pada era Orde Baru,
Gubernur Syamsuddin menyerahkan 200 kilogram emas kepada Presiden
Soeharto. Pada pemilu presiden (pilpres) 2004, Aceh secara dominan (73%)
menyumbangkan suara untuk kandidat Amien Rais. Kali ini, Aceh kembali
mengejutkan jagat perpolitikan dengan sumbangan suara sangat signifikan
untuk SBY (93,2%). Jauh di atas rata-rata perolehan suara di provinsi lain.

Sukses SBY itu bermula dari kunjungan beliau ke Aceh pada akhir Maret
2009. Kunjungan ini dianggap sebagai momen penting yang meredam berbagai
aksi kekerasan pemilu. Berdasarkan catatan Aceh Institute (AI), terdapat
37 kasus kekerasan pada periode Oktober 2008-Maret 2009. Kekerasan itu
berupa pembakaran, penggranatan, dan perusakan fasilitas kantor partai
politik. Perusakan alat kampanye partai, misalnya, terjadi pada spanduk
dan poster, hingga penembakan dan pembunuhan, belum termasuk beredarnya
SMS liar yang bernada mengancam untuk memilih atau tidak memilih partai
lokal tertentu. Sumber SMS itu tidak diketahui secara pasti.

Sukses SBY meredam kekerasan ini membuat citranya --termasuk citra
Partai Demokrat-- naik. Faktor penting lain adalah masuknya Sofyan Daud,
mantan juru bicara GAM, sebagai tokoh kunci informal bagi pemenangan
Demokrat di Sumatera bagian utara. Ada /gentlement agreement /untuk
berbagi suara: level lokal untuk Partai Aceh (PA) dan level nasional
untuk SBY melalui Demokrat.

Sukses itu pun berlanjut ke pilpres. Seluruh rakyat Aceh, dimotori oleh
sikap PA, bertekad memenangkan SBY-JK. Kondisinya menjadi sedikit
membingungkan ketika JK juga mencalonkan diri. JK pun berinisiatif
merangkul PA, yang membuat PA tidak bisa bersikap. Faktanya, JK memang
lebih banyak berperan untuk perdamaian Aceh. Namun, pada sisi lain,
komitmen untuk SBY juga sudah diberikan jauh-jauh hari. Melalui Adnan
Beuransah, juru bicara PA, keluar statemen bahwa PA tidak mendukung
siapa pun, walaupun keberadaan orang-orang PA dalam mesin politik SBY
tetap dipertahankan.

Kampanye JK menggunakan kartu "arsitek perdamaian" relatif sukses pada
waktu itu. Banyak publik mulai paham tentang peran belakang layar JK
selama ini. Namun pembuatan keputusan tidak hanya ditentukan oleh elemen
kognitif, melainkan juga harus disertai dengan elemen afektif. Bahkan,
dalam beberapa kasus, elemen afektif justru berperan lebih signifikan.

Tentu tidak ada yang meragukan peran JK dalam perdamaian Aceh.
Sayangnya, pencitraan yang terlambat dibangun membuat masyarakat tidak
mudah mengalihkan pilihan. Satu minggu setelah kunjungan JK ke Aceh,
suara JK terdongkrak signifikan hingga level 40%. Banyak tokoh muda,
ulama, dan masyarakat mulai menaruh harapan pada JK. Sebagian warga Aceh
pun bingung menentukan sikap.

Namun, dalam kebingunan tersebut, warga Aceh tergiring pada
penyederhanaan informasi (/heuristics/), seperti dicatat Lau & Redlawsk
(2006). Dua elemen penting yang terkait untuk konteks ini adalah dengan
melihat ke kubu mana para politikus PA merapat (/group endorsement/) dan
siapa saja dari ketiga kandidat yang berpotensi merusak proses
perdamaian (stereotipe).

Dalam persepsi orang Aceh, pasangan Mega-Pro kurang bersahabat. Namun,
anehnya, Wiranto juga masuk dalam /list /bersama Mega-Pro, walaupun
Wiranto relatif tidak terlibat langsung dalam penerapan Daerah Operasi
Militer (DOM), bahkan mencabutnya pada 7 Agustus 1998. Sebaliknya,
justru SBY --sebagai penanggung jawab Operasi Militer II pada Mei 2003--
yang dianggap sebagai orang bertangan bersih. Lagi-lagi soal pencitraan.

Lalu SBY pun terpilih secara mutlak. Tidak bisa dimungkiri, peran dan
keberadaan politisi PA sangat dominan. Kita tidak tahu, konsesi apa yang
akan diberikan untuk kemenangan tersebut kepada Aceh secara khusus.
Menarik dicatat, hasil penelitian AI yang didukung IRI menunjukkan,
pertama, tema-tema hukum dan politik masih menjadi isu mayoritas. Dari
total 69 anggota parlemen Aceh yang baru, 51 orang menyatakan bahwa hal
ini mendesak dituntaskan, termasuk agenda reintegrasi, kriminalitas
bersenjata, dan pengungkapan kebenaran serta rekonsiliasi (KKR).

Kedua, lebih menarik lagi, 33 anggota parlemen, yang kebetulan semuanya
mewakili PA, sepakat menuntut ketegasan pemerintah pusat soal definisi
/self-governance/. Hal yang termaktub dalam MoU Helsinki, tapi tidak
tegas disebutkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh serta dalam
implementasinya. Hal ini terkait dengan pembagian kewenangan pusat dan
daerah. Ketiga, 33 orang parlemen yang sama menuntut dilakukan /review/
terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh karena diyakini bertentangan
dengan MoU Helsinki.

Tiga tema besar itulah yang akan menjadi perjuangan parlemen Aceh ke
depan. Seperti telah kita lihat, PA menguasai parlemen provinsi pada
angka 48% dan parlemen kabupaten secara total 54%. Pertanyaannya,
setelah Aceh memberi kado istimewa untuk kemenangan SBY, apa hal
istimewa (/in reward/) yang bisa SBY berikan untuk Aceh?

*Fajran Zain*
/Manajer Analisis Aceh Institute/
[*Kolom*, /Gatra/ Nomor 38 Beredar Kamis, 30 Juli 2009]

http://gatra.com/artikel.php?id=128765
Share this article :

0 komentar: