BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Keaksaraan Kritis dan Identitas Keindonesiaan

Keaksaraan Kritis dan Identitas Keindonesiaan

Written By gusdurian on Minggu, 26 Juli 2009 | 09.38

Keaksaraan Kritis dan Identitas Keindonesiaan

*Ella Y. Rumindasari,* bekerja di Departemen Pendidikan Nasional, PhD
lulusan Queensland University, Brisbane, Australia

Dalam pendidikan, kondisi pascakolonial dan globalisasi telah membangun
peran ambivalen pelaku, pendidik, pemimpin, dan pengguna pendidikan.
Prioritas pendidikan berbaur antara mencapai daya saing global dan
memelihara harmoni lokal. Ambivalensi ini diperkuat dengan otonomi
daerah yang dapat mengarah pada pemujaan lokalitas (/chauvinism/).
Ambivalensi ini menghasilkan tarikan untuk diakui sekaligus dikecualikan
oleh cara pandang dan legitimasi akademis Barat yang dominan dan universal.

Agar ambivalensi ini tidak kontraproduktif, perlu direkontekstualisasi
dengan nilai-nilai pendidikan lokal dalam konteks yang lebih luas dari
adat/tradisi, nilai-nilai agama, serta tekanan dan konstruksi penjajahan
Belanda dan Jepang. Kondisi pascakolonial meninggalkan obsesi kolektif
terhadap pencapaian akses dan mutu pendidikan dengan ukuran-ukuran
kuantitatif, seperti angka partisipasi, nilai ujian, atau pemberian
porsi iptek yang berlebih. Globalisasi membawa budaya populer global
dalam bentuk konsumerisme, eksploitasi tubuh, /gesture/ Barat,
Coca-cola-isasi, McDonald-isasi, pengkabelan (kabel koneksi Internet),
dan dolarisasi. Kondisi ini menimbulkan tuntutan gaya hidup yang tinggi
walau dalam kecakapan hidup yang rendah. Sementara itu, otonomi daerah
masih hanya membahas pemekaran dan integrasi bangsa secara fisik, belum
menyentuh cara-cara menangkal /chauvinism/ atau pengembangan identitas
keindonesiaan.

Dalam berbagai kondisi ini, kita perlu merekonstruksi identitas
keindonesiaan yang lentur, kuat, dan bertahan sebagai jati diri bangsa
Indonesia yang mampu mencegah adanya erosi nasionalisme atau terjadinya
kecemburuan etnisitas. Pemekaran dalam otonomi daerah harus didekati
dengan tumbuhnya entitas budaya lokal tertentu yang memerlukan perhatian
sebagai kekayaan bangsa dan aset untuk kemakmuran bersama. Integrasi
didekati dengan "peleburan dan pencairan etnisitas" yang menyuburkan
identitas keindonesiaan--yang mengakui dan menghargai perbedaan sebagai
modal kekuatan, sekaligus membangun kebersamaan. Pembangunan identitas
keindonesiaan ini penting, agar kita terhindar dari perpecahan yang
dapat membuang energi untuk membangun bangsa ini. Dengan begitu, minimal
kita bisa hidup lebih aman dan nyaman.

Menurut Berman (1982), lingkungan dan pengalaman modern melintasi
batasan geografi, etnis, kelas sosial, kebangsaan, agama, dan ideologi.
Siapa pun yang merasa modern tentunya akan sangat terbuka dan peka
terhadap pentingnya pendidikan dan kemajuan teknologi, informasi, dan
komunikasi sebagai salah satu jalan untuk mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Tetapi lingkungan modern dan
obsesi kolektif pascakolonial Indonesia mampu pula mengikis tradisi
lisan, cara pandang lokal yang tradisional, kompleks, inklusif, dan
intuitif. Pendidikan berbasis adat, gotong-royong atau kebersamaan,
keindahan, dan menghargai leluhur/senioritas cenderung dikesampingkan.

Hall (1991) mengatakan dunia global mampu memperbesar sekat-sekat norma
sosial dan pluralisme, membangkitkan kumpulan solidaritas lama dan
identitas yang terkungkung, dan menumbuhkan identitas baru yang lentur
terhadap peluang kerja, dan terbuka terhadap berbagai konsumsi pribadi.
Maka, kerangka dasar pembangunan pendidikan perlu memuat kelokalan dan
rekontekstualisasi sistem keagamaan, moral, komunikasi, sosiopolitik,
ekonomi, teknologi, dan keindahan.

Caranya bukan terletak pada orientasi dunia Barat dan bukan pula
teknokratik. Caranya ditentukan melalui interaksi dengan hetero-budaya
lokal dalam kondisi global untuk membangun jati diri bangsa. Otonomi
daerah dapat menjadi fondasi adanya rumusan solusi lokal terhadap
permasalahan pendidikan, terutama dalam mencari solusi lokal yang
mandiri dan bertahan terhadap gonjang-ganjil global.

Caranya melalui pendidikan masyarakat, yaitu suatu proses di mana upaya
pemerintah dalam pendidikan diwujudkan secara terpadu dengan penduduk
setempat untuk meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang
lebih bermanfaat dan memberdayakan masyarakat. Dalam pendidikan
masyarakat ini dapat dikembangkan keberaksaraan kritis orang dewasa yang
menumbuhkan kemampuan “membaca dunia”, termasuk di dalamnya adalah
kecakapan hidup, keaksaraan media, dan keaksaraan lokal.

Kecakapan hidup merupakan keutuhan dari kecakapan personal (kepribadian,
moral dan spiritual), kecakapan sosial (komunikasi dan interaksi),
kecakapan intelektual (akademik), dan kecakapan vokasional. Keutuhan
pola pikir untuk kecakapan hidup diperlukan untuk mereduksi kesenjangan
antara /lifestyle/ atau gaya hidup dan /life skill/ yang hanya
berorientasi pada keterampilan tangan atau vokasional. Tingginya gaya
hidup, dengan kecakapan hidup yang rendah, akan menghasilkan banyak
masalah, termasuk tindak pidana perdagangan orang. Keaksaraan lokal
adalah metode pemberdayaan berdasarkan spirit daerah setempat dengan
pelayanan yang menegaskan keunikan budaya dan tradisi lokal serta saling
keterkaitannya dengan potensi, kreasi, dan produksi lokal.

Keaksaraan media penting diketengahkan, karena interaksi masyarakat
dengan media cukup banyak dan meluas. Media menyajikan kurikulum
tersembunyi (/hidden curriculum/) dan pembelajaran informal dengan daya
serap substansi yang cukup besar. Informasi yang diserap secara instan
ini belum tentu merefleksikan keadaan yang sesungguhnya, sehingga dapat
menimbulkan penyimpangan dalam membangun kecerdasan kehidupan bangsa.
Dengan keberaksaraan kritis ini diharapkan pendekatan hetero-budaya
dalam pendidikan dapat diterapkan dalam praktek, pedagogi, andragogi,
manajemen, dan kemungkinan alternatif kurikulum untuk zaman baru. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/25/Opini/krn.20090725.171990.id.html
Share this article :

0 komentar: