BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Transaksi Keuangan dalam Pemilu

Transaksi Keuangan dalam Pemilu

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 09.01

Transaksi Keuangan dalam Pemilu

Suatu masalah yang penting dalam pemilihan umum legislatif yang lalu
adalah masalah anggaran pemilu dan dana kampanye pemilu yang dapat
berasal dari partai politik, calon anggota legislatif (caleg) dan
sumbangan pihak lain.

Dana kampanye ini melahirkan transaksi keuangan yang dapat dikelompokkan
ke dalam empat macam transaksi, yaitu transaksi antara pemilih dan
caleg, antara penyumbang dana kampanye dan caleg atau partai politik,
antara caleg atau partai dan penyedia barang dan jasa serta transaksi
terkait penyelenggaraan pemilu. Tulisan ini membahas transaksi keuangan
pada pemilu legislatif baik melalui transaksi tunai maupun transaksi
melalui sistem keuangan seperti perbankan dengan menggunakan berbagai
sumber.

Transaksi antara Pemilih dan Caleg

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak terjadi transaksi keuangan
antara pemilih dan caleg yang dipilihnya. Apalagi pemilu menggunakan
sistem suara terbanyak, sehingga persaingan antara caleg di dalam dan di
luar partai sangat ketat. Di sini bertemu dua kepentingan, yaitu
kepentingan ekonomis pemilih dan kepentingan politis sang caleg.

Dalam hal ini pemilih lebih banyak bersikap pragmatis dengan bertindak
sebagai homo ekonomikus (makhluk ekonomi) dalam menentukan pilihannya
sementara sang caleg le-bih bertindak sebagai zoon politikon(makhluk
politik).Dasar pilihannya bukanlah ideologi,visi,misi,dan program
partai, tapi lebih banyak pada pertimbangan ekonomis,bahwa kalau saya
memilih caleg tertentu saya dapat imbalan apa.

Walaupun undang-undang sudah melarang adanya pemberian uang kepada
pemilih (money politics) pada waktu pemungutan suara, tapi praktik
tersebut masih banyak dan sulit diberantas. Praktiknya dilakukan
misalnya dalam bentuk “serangan fajar” menjelang pemilihan umum.
Biasanya transaksi dilakukan secara tunai dalam jumlah yang tidak
banyak, misalnya setiap pemilih diberi uang Rp20.000.

Sudah tentu sulit melacak transaksi ini karena dilakukan secara tunai
dan sembunyisembunyi. Karena itu diharapkan adanya laporan masyarakat.
Ada beberapa kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang kemudian melaporkannya kepada
kepolisian, tetapi hasil yang diperoleh belum memuaskan.

Transaksi semacam ini menimbulkan adanya kebutuhan uang yang banyak yang
sangat menentukan kemenangan sang caleg.Dana yang diperlukan seorang
caleg berkisar antara ratusan juta rupiah sampai miliaran rupiah. Caleg
itu berusaha mencari uang dengan berbagai cara baik secara sah ataupun
tidak sah.Ada juga yang berasal dari penyalahgunaankewenangancaleg atau
kroninya yang sedang duduk di eksekutif atau legislatif, sehingga
diperoleh dana yang banyak.

Transaksi antara Penyumbang dan Caleg/Partai

Partai harus melaporkan dana kampanye, termasuk sumbangan yang
diterimanya dari penyumbang. Sumbangan ini diperbolehkan oleh
undang-undang dengan pembatasan tertentu, seperti jumlah sumbangan yang
boleh diberikan perorangan maksimal satu miliar rupiah dan yang dapat
disumbangkan perusahaan atau grup sebesar lima miliar rupiah.Sumbangan
harus jelas, bukan berasal dari hasil tindak pidana.

Badan usaha milik negara atau daerah (BUMN/D) dan orang asing atau badan
hukum asing dilarang memberikan sumbangan. Dalam Pemilu Legislatif 2009
sumbangan fiktif jauh berkurang dibandingkan Pemilu 2004 karena batas
maksimal sumbangan demikian besar sehingga kebutuhan untuk memecah-
mecah sumbangan tidak begitu banyak.

Walau demikian,masih terlihat ada upaya untuk melanggar, misalnya
sumbangan disalurkan melalui pengurus partai, sehingga tidak terkena
batasan jumlah. Walau BUMN/BUMD dilarang menyumbang, tetapi badan usaha
ini kadang kala memberikan bantuan dalam bentuk sponsor,terutama untuk
kegiatan yang dilakukan pemerintah yang sudah tentu dapat menguntungkan
partai tertentu. Lebihlebih lagi kalau pengurus atau komisarisnya ada
hubungan terafiliasi atau simpatisan partai tertentu.

Transaksi Terkait Penyelenggara Pemilu

Pada sistem pemilihan legislatif dengansuaraterbanyaksudahtentu tiap
caleg berusaha mencapai suara sebanyak mungkin. Dalam proses
penghitungan suara dan penentuan caleg terpilih, diduga terjadi
transaksi antarcaleg untuk kepentingan merekamasing-masing.Untukcaleg
yang gagal dapat menjual suaranya sebagai kompensasi biaya yang sudah
keluar.

Untuk caleg yang kekurangan suara dapat membeli suara dari caleg yang
gagal.Sudah tentu ini dapat terjadi dengan bantuan petugas penyelenggara
pemilu di daerah.yang juga menerima manfaat ekonomi dari transaksi
ini.Sudah tentu sulit untuk mengetahui transaksi ini karena dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, apalagi kalau dilakukan dengan tunai.

Sungguh disayangkan transaksi ini dapat terjadi, karena tidak
mencerminkan hasil pemilu yang sebenarnya. Biaya penyelenggaraan pemilu
yang jumlahnya sekitar Rp40 triliun dapat merangsang orang untuk
mengambil keuntungan dari kegiatan penyelenggaraan pemilu.

Misalnya ada pengurus KPUD yang menempatkan dana KPUD di rekening
pribadinya yang sudah tentu merupakan penyimpangan.Selain itu, ada juga
anggota Komisi Pemilihan Umum di daerah yang melakukan penyimpangan,
misalnya ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Tangerang karena
kelalaiannya mengakibatkan bertambahnya suara caleg tertentu.

Transaksi dengan Penyedia Barang dan Jasa

Untukpemiludiperlukanbelanja barang dan jasa. Belanja barang dalam
bentuk poster, stiker, kaus, spanduk, baliho, kendaraan, konsumsi, dll.
Kalau sumbangan dana kampanye diberikan dalam bentuk barang, terdapat
kesulitan bagi akuntan publik yang mengaudit untuk memverifikasi
kebenaran sumbangan tersebut, karena jumlahnya banyakdansudahtersebardi
berbagai tempat.

Selain itu ada juga partai yang membeli jasa konsultan politik dan
lembaga survei dalam menghadapi pemilu. Biaya
konsultanpolitikinicukupmahal, adayang sampai jutaan dolar AS atau
miliaran rupiah. Sudah tentu partai yang punya banyak uanglah yang
memakai konsultan politik.

Untuk penyelenggaraan pemilu sendiri banyak diperlukan barang dan jasa,
sehingga proses pengadaannya pun dapat diwarnai kolusi, korupsi, dan
nepotisme (KKN), seperti yang terjadi pada Pemilu 2004 lalu. Dalam
Pemilu 2009 ini, hal ini hampir tidak terjadi.Mungkin karena belajar
dari kesalahan masa lalu.

Hasil Audit

Tampaknya laporan dana kampanye yang disampaikan oleh partai politik
banyak yang bersifat formalistis. Banyak dana awal yang dilaporkan
kurang menunjukkan kemampuan keuangan yang sebenarnya, misalnya Partai
Golkar dengan modal awal hanya Rp156 juta,Partai Keadilan Sejahtera
dengan modal awal Rp26 juta.

Sebaliknya ada partai yang baru berdiri tapi modal awalnya besar seperti
Partai Gerindra dengan modal awal Rp15 miliar dan Partai Hanura dengan
modal awal Rp5 miliar. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), hasil
audit dana kampanye dinilai kurang dapat menjelaskan kondisi sebenarnya
dari praktek pendanaan kampanye.

Dari hasil tersebut ada beberapa temuan yang menarik, antara lain adanya
identitas penyumbang tidak jelas, tidak sesuai antara sumber penyumbang
dan identitas penyumbang, sehingga kebanyakan auditor sulit untuk
melakukan konfirmasi kepada penyumbang. Dapat disimpulkan bahwa partai
politik kurang transparan dan kurang akuntabel terkait dengan dana
kampanye pemilu.

Untuk menghasilkan pemilu yang jujur dan adil, sudah tentu sangat
diperlukan transparansi dan akuntabilitas partai politik beserta para
calegnya. Mudah-mudahan aspek transparansi dan akuntabilitas ini lebih
baik pada pemilihan presiden yang akan datang.(*)

Yunus Husein
Kepala Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/248359/
Share this article :

0 komentar: