BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » »

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 09.03

Membangun Pemerintahan yang Bersih

Di mata masyarakat, keberadaan negara hanya bisa dirasakan jika
pelayanan publik tersedia dengan baik dan memadai serta semakin
meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

Pada tahap selanjutnya masyarakat juga merasa adanya jaminan keamanan
karena tegaknya law and order serta adanya kebebasan individual yang
dijamin dalam batas-batas konstitusi. Tujuantujuan bernegara,
sebagaimana setiap kali dikumandangkan oleh para wakil rakyat,
capres-cawapres, dan calon kepala daerah menjelang pemilu,hanyalah akan
menjadi isapan jempol belaka jika tidak diikuti dengan komitmen yang
tinggi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Bahkan bagi sebagian
masyarakat yang memahami betapa rumit dan buruknya sistem pemerintahan
kita, janji para pemimpin tersebut rasanya sulit untuk diwujudkan.

Tiga Penyakit Utama

Sistem pemerintahan yang bersih dan akuntabel adalah kunci keberhasilan
realisasi semua janji yang diucapkan oleh capres-cawapres. Perdebatan
antara sistem ekonomi pasar dan ekonomi kerakyatan, seperti yang tengah
berlangsung saat ini, tidaklah berarti apaapa jika kualitas pemerintahan
untuk menjalankan sistem ekonomi sangatlah buruk.

Bahkan jikalau peran dan fungsi negara untuk menyelenggarakan pelayanan
publik dan pembangunan diperbesar di dalam sistem pemerintahan yang
buruk tersebut,niscaya justru akan menyebabkan semakin banyak hilangnya
sumber-sumber daya bagi kemakmuran masyarakat.

Buruknya kualitas pemerintahan di Indonesia disebabkan oleh penyakit
korupsi yang sudah mendarah daging dalam semua sistem dan ranah
kehidupan anak bangsa ini.Utamanya,penyakit korupsi ini menjalar dalam
tiga locus, yaitu korupsi dalam ranah politik, korupsi dalam ranah
hukum, dan korupsi dalam ranah birokrasi.

Ketiganya bahkan saling berkelindan membentuk simbiosis mutualisme yang
sangat sulit untuk dibersihkan. Korupsi politik terjadi karena proses
rekrutmen para wakil rakyat dalam pemilu legislatif tidak pernah
memperhatikan sistem meritpolitik melalui proses pendidikan kader.

Bahkan niat untuk menjadi politisi lebih dilatarbelakangi oleh semangat
untuk memperoleh akses dalam mempergunakan sumber daya yang dimiliki
oleh negara.Hal ini diperburuk oleh biaya politik yang sangat mahal yang
harus dikeluarkan oleh para wakil rakyat tersebut. Alih-alih
memperjuangkan kepentingan masyarakat, justru yang terjadi adalah
penyalahgunaan wewenang.

Hal yang sama terjadi dalam proses pemilihan jabatan-jabatan politik
lain.Tidak semua begitu, tetapi pada umumnya hal ini terjadi dalam
proses pemilihan dan pengisian jabatan-jabatan politik. Korupsi dalam
ranah hukum ditandai oleh rendahnya budaya penegakan hukum. Tidak
mengherankan jika masyarakat sebenarnya lebih takut dengan penegak hukum
daripada hukum itu sendiri.

Hukum hanya dihargai sebatas sanksi,bukan menjadi batasbatas dan standar
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lemahnya penegakan
hukum sebenarnya bukan tidak bersebab. Patut disayangkan, karena para
penegak hukum itu sendiri juga tidak pernah dihargai hakhaknya
sebagaimana harusnya.

Selain itu,proses rekrutmen,pengukuran kinerja, pengisian jabatan para
penegak hukum juga masih tidak berdasarkan kompetensi dan kinerja.
Rendahnya remunerasi para jaksa, polisi,dan hakim,serta lemahnya
pengawasan kode etik profesi penegak hukum menjadi alasan mengapa
penyakit korupsi dalam ranah hukum ini sangat sulit diberantas.

Penyakit korupsi dalam ranah hukum sebenarnya sangat berbahaya, karena
dapat menyebabkan efek domino bagi korupsi dalam ranah yang lain.Jika
hukum tidak dapat lagi ditegakkan, apalagi yang akan menjadi pilar bagi
tegaknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Penyakit korupsi dalam
ranah birokrasi disebabkan oleh ketiadaan kesungguhan untuk mengelola
aparatur negara secara baik dan profesional.

Penyakit ini sudah dimulai sejak proses rekrutmen PNS yang tidak
profesional dan tidak independen, remunerasi pas-pasan yang memaksa
setiap PNS untuk mencari tambahan penghasilan dari pekerjaannya,
pengisian jabatan yang memaksa PNS untuk membangun afiliasi dan
patronase politik, serta tidak adanya ukuran kinerja yang memadai atas
prestasi PNS.

Dalam peribahasa yang sudah kita kenal,“Pinter-goblok penghasilan
sama”.Tidak ada penghargaan bagi prestasi dan kinerja,tidak ada pula
sanksi bagi pelanggaran dan buruknya kinerja.Bahkan seburuk apa pun
kualitas PNS, tidak akan pernah dipensiunkan sejauh tidak adanya
pelanggaran-pelanggaran serius seperti pidana dan makar.

Tiga penyakit korupsi sebenarnya menjadi lingkaran setan yang saling
bersinergi dalam membentuk pemerintahan yang buruk kualitasnya, tidak
berkinerja dan korup.Produk pemerintahan yang demikian adalah buruknya
kualitas pelayanan dan pembangunan, sikap mental aji mumpung,dan
kebiasaan menyalahgunakan wewenang.

Keberadaan pemerintah lebih dirasakan memberatkan daripada
ketidakberadaannya. Dalam pandangan sehari-hari hal ini menyebabkan
korupsi pada tingkat jalanan,korupsi dalam pengadaan barang dan
jasa,korupsi dalam penegakan hukum, dan yang paling membahayakan adalah
korupsi melalui kebijakan.

Menuju Perubahan

Apa pun agenda yang diusung oleh para capres-cawapres, hanya akan bisa
diwujudkan jika adanya upaya sungguh-sungguh dan sistematik membangun
pemerintahan yang bersih. Cara paling mudah adalah mengobati sumber asal
penyakit terjadinya pemerintahan yang buruk tersebut.

Korupsi politik membutuhkan waktu yang lama untuk mengubahnya, karena
hal ini hanya bisa dilakukan dengan menyederhanakan partai politik dan
membangun sistem merit politik yang memadai.Kewenangan presiden terpilih
untuk melakukan perubahan dalam sistem politik tidaklah berdiri
sendiri,tetapi juga dipengaruhi oleh konfigurasi politik di DPR.

Perubahan yang paling mungkin dilakukan oleh presiden terpilih justru
pada ranah hukum dan ranah birokrasi. Perbaikan penegakan hukum
sejatinya lebih mudah dilakukankarenahalinimasihberada di dalam lingkup
kewenangan presiden, paling tidak untuk kejaksanaan dan kepolisian.

Jika saja presiden terpilih mau melakukan secara sungguh-sungguh proses
rekrutmen yang profesional dan independen pada jaksa dan polisi,mengukur
kinerjanya secara benar,memberikan remunerasi yang layak dan
memadai,melakukan pengawasan dan memberikan sanksi pada setiap
pelanggaran tanpa pandang bulu, dan memiliki sistem karier berbasis
kinerja,rasanya tidak ada yang mustahil bagi Indonesia untuk memiliki
pemerintahan yang bersih.

Untuk para hakim, karena kewenangannya berada di bawah Mahkamah Agung,
maka presiden bisa menawarkan kepada Mahkamah Agung sejumlah agenda
reformasi bagi para hakim.Akan halnya korupsi yang terjadi dalam
birokrasi, tampaknya tidak bisa ditawar- tawar lagi bahwa presiden
terpilih harus memberikan komitmen yang luar biasa untuk melakukan
reformasi birokrasi.

Tidak sulit untuk melakukannya, karena sejumlah substansi instrumen
sejatinya telah tersedia. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah komitmen
untuk menjadikan reformasi birokrasi sebagai agenda utama pemerintahan
yang akan datang. Pemerintahan yang bersih adalah prasyarat bagi
kemajuan bangsa ini.(*)

Eko Prasojo
Guru Besar Administrasi Negara
FISIP UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/248378/
Share this article :

0 komentar: