BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Koruptor, Kabur Lagi...Kabur Lagi...

Koruptor, Kabur Lagi...Kabur Lagi...

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.30

Koruptor, Kabur Lagi...Kabur Lagi...
Oleh: Emerson Yuntho

*KEJAKSAAN* Negeri Jakarta Selatan Selasa lalu (16/6) gagal mengeksekusi
Djoko S. Tjandra, terpidana kasus korupsi hak tagih (/cessie/) Bank Bali
di Bank Dagang Nasional Indonesia dengan kerugian negara Rp 546 miliar.
Eksekusi itu merupakan bagian dari pelaksanaan putusan peninjauan
kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang memvonis Djoko S. Tjandra dua
tahun penjara.

Jika Djoko gagal dieksekusi dan dinyatakan buron oleh kejaksaan, fakta
itu akan memperpanjang deretan koruptor Indonesia yang kabur atau
melarikan diri. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), lima
tahun terakhir terdapat 45 koruptor -dengan status tersangka, terdakwa
dan terpidana- yang melarikan diri, baik ke luar maupun di dalam negeri.

Para koruptor yang kabur, antara lain, Samadikun Hartono, tersangka
kasus BLBI di Bank Modern yang merugikan negara Rp 80 miliar. Terpidana
yang lain Bambang Sutrisno, terkait kasus BLBI Bank Surya, merugikan
negara sekitar Rp1,5 triliun. Oleh pengadilan, Bambang divonis penjara
seumur hidup.

Demikian juga, Andrian Kiki Ariawan, terpidana kasus BLBI Bank Surya
Rp1,5 triliun, divonis seumur hidup dan diduga kini berada di Australia.
Daftar terpidana lain adalah Sudjiono Timan, terpidana kasus korupsi di
BPUI yang merugikan negara USD 126 juta; Eddy Tansil, terkait kasus
ekspor fiktif Rp 1,3 triliun; dan David Nusa Wijaya, terpidana kasus
BLBI Bank Servitia Rp 1,3 triliun dan telah divonis di tingkat kasasi 8
tahun penjara.

Di antara sejumlah pelaku yang melarikan diri, hanya David Nusa Widjaya
yang tertangkap. Hendra Raharja, terpidana seumur hidup BLBI Bank
Modern, bahkan meninggal dunia dalam pelariannya di Australia.
Selebihnya belum tertangkap dan bahkan masih leluasa menjalankan
usahanya dari luar negeri.

***

Jika dicermati kembali, kaburnya Djoko S. Tjandra terjadi karena
lambatnya MA menyerahkan salinan putusan dan lambatnya kejaksaan
melaksanakan eksekusi. Berdasar pasal 170 KUHAP, intinya menyebutkan
bahwa kejaksaan baru dapat melakukan eksekusi setelah menerima salinan
putusan dari pengadilan. Artinya, meskipun telah divonis penjara oleh
MA, jika salinan putusan kasasi belum diserahkan kepada jaksa sebagai
eksekutor, terpidana belum dapat dijebloskan ke penjara.

MA menjatuhkan putusan peninjuan kembali pada 11 Juni 2009. Namun,
eksekutor dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan baru akan melaksanakan
eksekusi pada 16 Juni 2009 atau enam hari kemudian. Adanya rentang waktu
yang cukup lama itu jelas membuka peluang Djoko melarikan diri.

Sebelumnya, peristiwa itu juga terjadi pada terpidana David Nusa Wijaya
yang divonis MA selama 8 tahun penjara pada 23 Juli 2003. Namun, hingga
setahun lebih, salinan putusannya belum juga diserahkan kepada kejaksaan.

Demikian halnya dengan Sujiono Timan, terdakwa korupsi BPUI Rp 2 miliar
yang divonis 15 tahun penjara oleh MA. Petikan putusannya baru
diserahkan ke kejaksaan seminggu setelahnya. Lambatnya proses tersebut
justru menjadi peluang David dan Sujiono Timan melarikan diri ke luar
negeri.

Tidak dimungkiri pula, terdapat indikasi adanya upaya kesengajaan dari
pihak-pihak tertentu untuk memberikan kesempatan kepada koruptor
melarikan dengan cara sengaja mengulur-ulur atau menghambat salinan
putusan ke pengadilan negeri tempat terpidana kali pertama disidangkan
yang selanjutkan diserahkan kepada kejaksaan negeri untuk di eksekusi.

Masalah lain juga muncul akibat buruknya koordinasi di antara penegak
hukum dan imigrasi. Ketika koruptor kabur, sering antara pihak
pengadilan, kejaksaan, dan imigrasi akan saling menyalahkan.

***

Indonesia bukanlah negara pertama yang mengalami masalah koruptor
melarikan diri. Tiongkok dan Peru jauh sebelumnya juga memiliki masalah
serupa. Surat kabar /Legal Daily/ dalam tajuk rencananya di halaman
depan, sebagaimana dikutip kantor berita /AFP/ akhir 2004, menulis ada
sekitar 4.000 pejabat Tiongkok yang melarikan diri ke luar negeri.

Begitu pula Peru yang pada 2003 dalam kasus Alberto Fujimori, mantan
presiden Peru keturunan Jepang yang diduga melakukan sejumlah kasus
korupsi selama menjabat sebagai orang pertama di Peru. Alberto Fujimori
bahkan telah berganti kewarganegaraan Jepang sehingga upaya mengadili
dia di Pengadilan Peru pada akhirnya kandas.

Untuk menghindari kejadian serupa pada masa mendatang, terdapat beberapa
hal penting yang harus dilakukan. Pertama, sebagai langkah antisipatif,
pelaku korupsi sudah selayaknya dicekal sejak berstatus sebagai
tersangka. Perlu ada upaya mencegah pelaku melarikan diri sejak
penyidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap
(/inkracht/). Kedua, perlu penelusuran dan penyitaan harta kekayaan
koruptor. Hal itu menjadi penting untuk menghindari pelaku mengalihkan
harta kekayaannya kepada pihak ketiga maupun membawa kabur ke luar negeri.

Dengan cara tersebut, kewajiban koruptor membayar uang pengganti senilai
uang yang dikorupsi dapat segera dilaksanakan. Meskipun koruptor kabur,
harta kekayaaannya dapat disita dan dilelang untuk negara.

Ketiga, koordinasi antaraparat penegak hukum perlu diperbaiki kembali.
Seharusnya pada saat pengadilan menjatuhkan vonis bagi pelaku korupsi,
pada hari itu juga salinan putusan disampaikan kepada kejaksaan.
Selanjutnya, kejaksaan segera mengeksekusi terpidana sekaligus
berkoordinasi dengan pihak imigrasi untuk mencekal pelaku ke luar
negeri.

Keempat, selain pembenahan administrasi, MA dan kejaksaan harus juga
memeriksa dan memproses secara hukum terhadap pihak-pihak yang diduga
memperlambat penyelesaian dan pengiriman salinan putusan atau bahkan
membocorkan putusan kepada koruptor sehingga mengakibatkan pelaku
melarikan diri.

Tanpa adanya perbaikan dan langkah yang /extra ordinary, /dapat
dipastikan pada masa mendatang peristiwa koruptor yang kabur akan
kembali terjadi. (*)

/*). Emerson Yuntho, wakil Koordinator Badan Pekerja ICW, Jakarta/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: