BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Demokrasi Tujuh Puluh Persen

Demokrasi Tujuh Puluh Persen

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.40

Demokrasi Tujuh Puluh Persen


Oleh *M Alfan Alfian*

Akhir-akhir ini masyarakat dibingungkan oleh hasil survei Lembaga Survei
Indonesia dan Lembaga Riset Indonesia.

LSI yang mengaku dibiayai Fox Indonesia—konsultan politik calon
presiden-calon wakil presiden Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono—memprediksi 71 persen responden akan memilih
SBY-Boediono, 16,4 persen memilih Megawati-Prabowo, dan 6,0 persen
memilih Jusuf Kalla-Wiranto.

Sementara itu, hasil survei LRI yang diumumkan, 7 Juni 2009— tiga hari
setelah LSI mengumumkan hasil surveinya— SBY-Boediono disebut akan
dipilih 33,02 persen, Jusuf Kalla-Wiranto 29,29 persen, dan
Megawati-Prabowo 17,56 persen. LRI tidak mau mengungkap penyandang dana
survei itu meski Johan Silalahi, pemimpin lembaga itu, dikenal dekat
dengan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto.

Terlepas dari konteks profesionalitas dan integritas kedua lembaga jajak
pendapat, juga lembaga serupa lainnya, persoalan etis mengemuka. Jika
aktivitas jajak pendapat itu disponsori kelompok kepentingan atau
politik tertentu, dan seyogianya untuk konsumsi internal, mengapa harus
diumumkan kepada publik. Bukankah itu semacam kampanye terselubung?

Namun, biasanya masalah etis gampang dipatahkan karena relatif. Tetapi,
jika yang tidak etis di mata umum terus dilakukan, tentu menjadi tidak
elok. Politik kerap tidak terlampau memasalahkan keetisan atau keelokan.
Apakah politik itu seperti gaya bertinju Muhammad Ali atau Mike Tyson
kadang tak dipentingkan. Dalam kondisi tertentu, politik dimaknai
sekadar urusan kalah-menang.

Dalam konteks ini, Al Gore pernah berkomentar, the presidency is more
than a popularity contest. Kandidat mutlak perlu populer. Karena itu,
masuk akal jika saling berebut simpati. Tetapi pemilu presiden
seharusnya tak sebatas unjuk popularitas, tak hanya tontonan, tetapi
harus jadi tuntunan. Tontonan seharusnya menyehatkan dan mencerdaskan,
bukan membodohkan.

*Tujuh puluh persen*

Bagaimana jadinya jika ada kandidat mendapat dukungan di atas 70 persen
dalam pilpres? Kandidat yang layak memenangi penghargaan Demokrasi Tujuh
Puluh Persen Award ini jelas ”menang telak”. Kemenangannya mengingatkan
pada istilah yang populer di akhir Orde Baru, single majority. Tingkat
legitimasinya ”superkuat”. Namun, itu belum menjadi jaminan pemerintahan
pascapilpres akan kokoh sekali.

Satu preseden dalam sejarah kepemimpinan politik di Indonesia, misalnya,
pernah dialami dalam pemerintahan terakhir Soeharto. Basis legitimasi
politik pemerintahan ini adalah perolehan suara Golkar pada Pemilu 1997,
yang saat itu benar-benar fenomenal, dukungan suaranya di atas 70
persen. Namun, gejolak moneter dan politik membuat Soeharto jatuh. Pada
era Demokrasi Terpimpin, Soekarno terkesan memperoleh dukungan politik
yang superkokoh, tetapi ternyata rapuh.

Konteksnya lain-lain. Siapa tahu dalam era demokrasi langsung saat ini
dukungan berlimpah betul-betul berkah dan bukan bumerang. Agar menjadi
berkah atau bumerang, tergantung dari banyak faktor, terutama gaya dan
pilihan kebijakan pemimpin.

*Entitas dinamis*

Keinginan dan ikhtiar kandidat tertentu agar pilpres satu putaran dapat
dipahami, tetapi itu bukan merupakan keharusan. Tampaknya, masyarakat
tidak terlalu memasalahkan apakah pemenang pilpres berpersentase
dukungan 70 persen atau tidak. Namun, demokrasi check and balances harus
tetap jalan. Yang terpenting lagi adanya tanggung jawab pemerintahan
pascapilpres untuk membuktikan janji-janji secara sungguh-sungguh
sehingga berkualitas dan berprestasi. Pemilih bukan entitas yang statis,
tetapi amat dinamis. Dukungan 70 persen di awal belum tentu mampu
bertahan hingga akhir masa jabatan.

Jatuh bangunnya rezim demokratis tak lepas dari fluktuasi respons
masyarakat atas kinerja pemerintah. Dalam sistem demokrasi parlementer
fenomena ini tampak sekali. Misalnya yang terjadi di Inggris saat ini,
saat popularitas Perdana Menteri Gordon Brown sedang memudar seiring
dengan mencuatnya kasus anggaran dan kalahnya Partai Buruh dalam pemilu
Uni Eropa. Dalam sistem presidensial, ketidakpuasan yang terjadi
biasanya tak sampai membuahkan keputusan politik mempercepat pemilu,
tapi bukan berarti harus diabaikan.

Besarnya dukungan justru bisa menjadi beban, bahkan arus balik, jika tak
diimbangi dengan kualitas kebijakan. Setiap pemimpin dituntut mampu
mengelola kekuasaan dengan baik saat memulai dan mengakhirinya.

*M Alfan Alfian* /Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/18/02473061/demokrasi.tujuh.puluh.persen.
Share this article :

0 komentar: