BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tradisi dan Pengabaian Suara Rakyat

Tradisi dan Pengabaian Suara Rakyat

Written By gusdurian on Selasa, 14 April 2009 | 11.36

Tradisi dan Pengabaian Suara Rakyat
Krisis Politik di Thailand

KTT ASEAN dan KTT Asia Timur di Thailand terpaksa dibatalkan (11/4/09), padahal pemimpin negara-negara ASEAN, tiga negara Asia Timur, dan PM Australia sudah di sana. Pembatalan itu dilakukan karena pemerintah Thailand tidak kuasa mengatasi demonstrasi yang digelar oposisi yang sengaja menggagalkan KTT tersebut.

Semua media massa meliput pembatalan itu. Sebab, yang dibatalkan adalah pertemuan besar yang tentu acara dan pengamanannya sudah dipersiapkan. Liputan tersebut menyampaikan tiga pesan. Yakni, bahwa sedang terjadi krisis politik dalam negeri di Thailand, kelompok oposisi kuat sehingga berhasil membatalkan KTT, dan pemerintah tidak bisa menguasai keadaan.

Tradisi Ekstraparlementer

Kita bisa belajar dari krisis politik negeri lain. Ketika terjadi krisis di Thailand tahun lalu, saya menulis tiga pelajaran dalam opini Jawa Pos (19/9/08). Pada krisis kali ini, kita masih bisa mengambil dua pelajaran lain: tradisi politik ekstraparlementer dan pengabaian suara rakyat (vox populi).

Pelajaran pertama, ada tradisi politik baru yang tidak sehat di Thailand yang bergerak di luar lembaga politik resmi dan menjatuhkan wibawa pemerintahnya di depan banyak pemimpin negara lain.

Krisis politik sudah berlangsung setahun, sejak pendukung Aliansi Partai untuk Demokrasi mengepung kantor PM Samak Sundarajev. Atau, kalau ditelusuri ke belakang, krisis politik tersebut berlangsung sejak Thaksin Shinawatra dikudeta tentara pada September 2006.

Setelah Thaksin dijatuhkan, diadakan pemilihan umum Desember 2007. Yang menang partai pendukung Thaksin, Partai Kekuatan Rakyat. Partai itu lalu memilih Samak sebagai perdana menteri. Tapi, sejak Mei 2008, pendukung Aliansi Partai untuk Demokrasi terus-menerus mendemo sampai Samak mundur pada September 2008.

Partai Kekuatan Rakyat mengajukan Somchai Wongsawat sebagai pengganti Samak. PM Somchai pun terus-menerus digoyang demonstrasi pendukung Aliansi Partai untuk Demokrasi sampai dia turun pada Desember 2008. Demo di sana itu nekat dan ganas. Mereka memblokade semua jalan kantor PM. Mereka juga melumpuhkan bandara di Bangkok selama beberapa hari pada akhir November tahun lalu.

Setelah Abhisit Vejjajiva, pemimpin oposisi, menjadi perdana menteri, ganti demonstran pro-Thaksin yang menggoyang pemerintah. Demo pro-Thaksin pun senekat pendukung Aliansi Partai untuk Demokrasi. Mereka mengepung kantor perdana menteri dan mengacaukan KTT ASEAN serta KTT Asia Timur di Pattaya, Sabtu (11/4/09). Secara sengaja, para pendukung Thaksin itu menjatuhkan citra dan wibawa pemerintah sendiri di forum internasional.

Abaikan Suara Rakyat

Pelajaran kedua, hiruk-pikuk atau politicking di kalangan elite politik Thailand itu mengabaikan suara rakyat (vox populi). Ketika dikudeta oleh militer pada September 2006, Thaksin masih mendapatkan mandat dari rakyat karena partainya menang pemilu. Dengan dalih macam-macam, Thaksin dijatuhkan. Kemudian, ketika menjadi PM karena partainya menang pemilu, Samak digoyang oleh demonstran sampai jatuh pada September 2008.

Thaksin, Samak, dan Somchai dijatuhkan dengan pola yang mirip. Yaitu, dengan putusan pengadilan atas kesalahan sederhana atau masih bisa diperdebatkan. Thaksin dijatuhkan karena skandal penyalahgunaan kekuasaan. Samak jatuh karena menerima honor tampil di stasiun TV. Somchai jatuh (Desember 2008) karena tuduhan kecurangan pemilu.

Pengadilan memang bisa mengadili siapa saja, termasuk PM. Namun, menjadi praktik yang kian kentara bahwa pengadilan bersifat politis. Yaitu, ketika goyangan demonstrasi menguat, pengadilan memutuskan sesuatu yang memojokkan orang yang sedang menjadi PM. Padahal, ada fakta politik lain, yaitu mereka itu bisa menjadi PM karena mendapat dukungan dari rakyat melalui pemilihan umum.

Elite politik Thailand mengabaikan suara rakyat itu dan dengan berbagai dalih serta upaya melakukan politicking untuk merekayasa politik. Politik ekstraparlementer dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan politik mereka tercapai. Padahal, dengan krisis politik yang tidak kunjung usai selama ini, Thailand berisiko menjadi tidak stabil dan mundur secara sosial-ekonomi-politik.

Jangan Terjadi di Sini

Kita berharap dua hal di Thailand itu tidak terjadi di negeri kita. Kita berharap hasil pemilu selalu kita hormati bersama. Sebab, itulah suara rakyat. Kita pernah melihat para elite kita ber-politicking ketika pasca Pemilu 1999 mengganjal Megawati untuk jadi presiden.

Sistemnya waktu itu memang memungkinkan untuk itu. Tapi, sebenarnya etika politiknya menyarankan pemenang pemilu yang diberi kesempatan maju. Proses alamiah memberi pelajaran bagi kita semua bahwa Megawati kemudian dipilih juga jadi presiden.

Selain itu, kita menjunjung tinggi nilai tradisi yang menghormati tamu, sehingga tidaklah pantas kita meniru tradisi politik Thailand yang dengan sengaja menjatuhkan wibawa pemerintah sendiri persis di depan atau di panggung internasional.

Kita menyadari, aksi politik ekstraparlementer memang pernah mewarnai politik kita. Namun, itu terjadi saat pemerintah dianggap tidak sah karena tidak didasari hasil pemilihan umum sama sekali atau didasari hasil pemilihan umum yang salah secara moral dan tidak sah secara substansial.

Kini, sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2004, pemerintah kita secara moral benar dan substansial sah karena dibangun atas dasar suara rakyat lewat pemilihan umum yang sah, sehingga aksi politik ekstraparlementer tentulah sudah kehilangan dasar pembenarnya. Pemerintah hasil Pemilu 2009 tentunya juga punya dasar yang kukuh.

*. I Basis Susilo, dosen hubungan internasional FISIP Unair

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: