BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi Kamis, 16 April 2009 | 03:18 WIB Oleh Sri Hartati Samhadi Pentingnya pembangunan manusia sudah lama disadari ole

Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi Kamis, 16 April 2009 | 03:18 WIB Oleh Sri Hartati Samhadi Pentingnya pembangunan manusia sudah lama disadari ole

Written By gusdurian on Minggu, 19 April 2009 | 13.30

Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi




Oleh Sri Hartati Samhadi

Pentingnya pembangunan manusia sudah lama disadari oleh para pemimpin negeri ini, tecermin dari dituangkannya agenda pembangunan sumber daya manusia dalam UUD 1945 serta Garis-garis Besar Haluan Negara, dan kini Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Namun, di tataran praktis, kebijakan pembangunan ekonomi cenderung masih melihat penduduk yang besar sebagai beban dan bukan aset penting nasional yang bisa diberdayakan. Belum ada kebijakan pembangunan ekonomi berwawasan kependudukan yang menempatkan penduduk sebagai subyek sentral dari pembangunan.

Di atas kertas, transisi demografi yang terjadi sejak beberapa dekade terakhir membuka peluang bagi Indonesia untuk menikmati apa yang oleh PBB disebut sebagai bonus demografi (demographic dividend) pada 2020-2030. Pada saat itu, jumlah penduduk usia produktif dua kali lipat dari nonproduktif sehingga dimungkinkan bagi Indonesia untuk melakukan lompatan kesejahteraan (tecermin dalam pendapatan per kapita).

Dan ”jendela peluang” (window of opportunity) ini hanya terjadi sekali karena setelah itu sebagian dari kelompok produktif akan memasuki usia lansia. Dominasi penduduk usia produktif akan tergusur oleh usia nonproduktif dan angka keter- gantungan (dependency ratio—rasio penduduk produktif dengan nonproduktif) kembali meningkat sehingga beban ekonomi akibat penduduk usia nonproduktif yang besar juga meningkat.

Yang menjadi persoalan, bagaimana kita bisa memanfaatkan jendela peluang yang hanya datang sekali itu?

Selama ini kita cenderung melihat jumlah penduduk besar dari dua aspek, yakni tersedianya secara melimpah tenaga kerja murah dan potensi pasar dalam negeri yang besar. Semakin besar jumlah tenaga kerja, semakin besar jumlah tenaga produktif. Demikian pula semakin besar jumlah penduduk, semakin besar skala pasar domestik. Kita terlena menjadikan ini keunggulan komparatif sehingga melupakan pekerjaan rumah besarnya: membangun kualitas SDM itu sendiri.

Dilihat dari profil demografi, dominasi penduduk usia kerja pada struktur kependudukan sudah terjadi sejak 1990-an. Pada 2008, dari sekitar 227 juta penduduk, sebanyak 166,6 juta memasuki usia kerja. Dengan dominasi penduduk usia kerja dalam struktur demografi ini, seharusnya kita sudah bisa mulai mencicipi bonus demografi sejak 1990-an, tetapi itu tidak terjadi.

Struktur angkatan kerja

Jika dilihat, dari 166,6 juta penduduk usia kerja, sebanyak 111,95 juta masuk angkatan kerja. Dari jumlah ini, 102,55 juta berstatus bekerja, dengan angka pengangguran terbuka hanya 9,39 juta. Tetapi, jika kita cermati lagi, dari 102,55 juta yang bekerja, sebagian besar berstatus setengah menganggur. Sebanyak 33,26 persen hanya bekerja kurang dari 35 jam seminggu dan 59 persen kurang dari 45 jam seminggu.

Sekitar 60-70 persen lebih yang bekerja terserap di sektor informal dengan upah minim tanpa jaminan sosial dan kesejahteraan. Artinya, sebagian besar pekerja kita belum mampu keluar dari perangkap kemiskinan. Kemiskinan ini menghasilkan lingkaran setan yang membuat mereka semakin sulit keluar dari kemelaratan dan kualitas SDM rendah.

Mereka yang bekerja di sektor formal, seperti industri manufaktur, pun umumnya hanya menjadi operator atau buruh kasar. Klasifikasi Baku Jabatan Industri 2002 yang dikutip panelis menunjukkan, dari pekerja di sektor elektronik, separuhnya merupakan operator dan perakit, dengan produktivitas dan nilai tambah minim (3,1 persen dari seluruh subsektor manufaktur).

Hanya 0,7 persen yang mampu menduduki posisi manajerial dan 0,6 persen posisi profesional. Ini menggambarkan apa yang disebut krisis keterampilan (skill crisis), yang membuat Indonesia tak mampu menangkap peluang persaingan global yang ada.

Dari latar belakang pendidikan, separuh lebih atau 58,36 juta dari 111,47 juta angkatan kerja hanya berpendidikan SD ke bawah. Sisanya SMP 19,91 persen, SMA 20,7 persen, dan perguruan tinggi 5,05 persen. Kita kalah jauh dari negara-negara lain dalam mencetak SDM berpendidikan tinggi. Itu pun tak semuanya siap kerja. Sampai 2030, sebagian besar angkatan kerja kita masih akan berkarakteristik pendidikan SD ke bawah.

Dengan profil SDM seperti ini, bagaimana kita mau bicara SDM berkualitas? Padahal, seperti dikatakan seorang panelis, 80 persen kemajuan ekonomi ditentukan oleh kualitas SDM, bukan oleh SDA yang melimpah.

Pertumbuhan ekonomi tidak akan berjalan tanpa dukungan SDM memadai dan berkualitas. Repotnya, seperti dikatakan ekonom Prof Widjojo Nitisastro, pembangunan kualitas SDM sendiri juga tak akan terwujud tanpa adanya pertumbuhan ekonomi. Dan, keduanya tak akan terjadi tanpa adanya upaya mengendalikan jumlah penduduk yang besar itu sendiri.

Jadi ada tali-temali. Ini yang sering kali tidak dilihat dalam kerangka pandang dan kebijakan holistis. Ini juga terjadi dalam kebijakan sektoral, di mana sinergi tak terjadi dan egosektoral lebih dominan. Dalam kaitan pembangunan SDM, bukan hanya kelembagaan pendidikan tak mampu mencetak SDM siap kerja, tetapi kebijakan industri sendiri juga tak berpihak pada karakteristik tenaga kerja yang ada.

Hal ini antara lain tecermin dari kebijakan yang lebih memberi angin pada sektor industri padat modal, tak berbasis kekuatan sumber daya domestik, dengan kandungan impor yang tinggi. Akibatnya, ketika krisis ekonomi global terjadi seperti sekarang, kita ikut babak belur.

Tidak adanya sinergi kebijakan lintas sektor mengakibatkan ketidakmampuan menyediakan lapangan kerja produktif sehingga tak terjadi peningkatan pendapatan per kapita dan akumulasi tabungan rumah tangga (household saving) yang kemudian bisa diinvestasikan kembali untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja.

Singkatnya, bonus demografi hanya akan terjadi kalau ada upaya rekayasa demografi yang dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM (human capital deepening). Kualitas ini bukan hanya menyangkut pendidikan, tetapi juga aspek gizi, kesehatan, dan soft skill sehingga pendekatan kebijakannya juga harus life cycle approach dan lintas sektor karena investasi modal manusia ini sifatnya investasi sosial jangka panjang yang hasilnya (return on investment) baru akan bisa dinikmati dalam 30 tahun.

Dari diskusi panel terungkap, kita sebenarnya memahami betul masalah yang kita hadapi dan mengetahui solusinya, tetapi tak melakukannya. Padahal, semakin kita menunda solusi, semakin besar biaya ekonomi yang harus dibayar. Cost of no action ini yang bisa membuat ledakan penduduk usia kerja tak menuntun pada terwujudnya window of opportunity, sebaliknya jalan menuju bencana (door to disaster). Bentuknya bukan hanya generasi hilang, tetapi sebagai bangsa bisa kolaps dan terjadi chaos.

Lebih-lebih kalau proyeksi pesimistis penduduk membengkak menjadi 360 juta pada 2050 (jika program KB gagal) atau prediksi Lembaga Demografi FE-UI bahwa pada 2020 akan ada lebih dari 20 juta-30 juta angkatan kerja yang menganggur menjadi nyata.

Persoalannya, siapa yang harus melakukan ini dan bagaimana agar komitmen ini tak hanya berhenti di tataran politis, tetapi juga diimplementasikan di tataran praktisnya?



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/16/03182426/penduduk.dan.pertumbuhan.ekonomi
Share this article :

0 komentar: