BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pemilu dan Mitos Kesejahteraan

Pemilu dan Mitos Kesejahteraan

Written By gusdurian on Selasa, 14 April 2009 | 11.39

Pemilu dan Mitos Kesejahteraan
Oleh Razali Ritonga Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah


P EMILU tahun 2009 telah dilaksanakan. Masyarakat kini tengah menunggu ha sil pemilu untuk mengetahui peta dis tribusi suara antarparpol. Diketahui, peta distribusi suara itu akan menentukan peta wakil rakyat yang duduk di dewan. Akankah peta wakil rakyat itu merepresentasikan aspirasi masyarakat?
Suatu pemilu barangkali bisa disebut ideal jika wakil rakyat yang terpilih sesuai dengan aspirasi masyarakat, dan proses pilihan itu ditentukan selama kampanye pemilu. Namun celakanya, sejumlah kalangan menilai bahwa kampanye belum berjalan efektif. Bahkan, kampanye ditengarai justru membuat masyarakat bingung karena sulit membedakan visi dan misi yang nyaris seragam dari setiap calegparpol.
Selain hampir seragam, visi dan misi yang ditawarkan dari setiap caleg-parpol belum memuat program spesifik. Bahkan, sebagian caleg-parpol nyaris tanpa program atau program placebo. Diketahui, terminologi placebo umumnya digunakan di dunia farmasi untuk mengidentifikasi suatu obat tanpa ramuan, yang digunakan sebagai sugesti.
Mitos kesejahteraan Kilas balik prosesi pemilu itu tampaknya perlu dicermati sebagai masukan untuk perbaikan pemilu mendatang dan pemantapan visi, misi, dan program bagi caleg-parpol yang terpilih dalam pemilu. Perbaikan program amat penting dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya kekecewaan masyarakat. Hal ini tidaklah mengada-ada mengingat berdasarkan pemilu-pemilu sebelumnya tidak sedikit masyarakat yang saat ini merasa kecewa karena kesejahteraan yang dijanjikan tak kunjung terwujud. Bahkan, sebagian di antaranya sampai pada kesimpulan bahwa kesejahteraan merupakan mitos belaka.
Mitos kesejahteraan itu tampaknya terpatri cukup kuat di benak masyarakat mengingat pendeklarasian untuk mewujudkan kesejahteraan telah lama dikumandangkan, setidaknya diawali dalam pembukaan UUD 1945. Bahkan, pendeklarasian untuk mewujudkan kesejahteraan itu berulang kali disampaikan dalam setiap kesempatan kampanye pemilu sejak tahun 1955.
Patut dicatat, mitos kesejahteraan akan berakhir jika ada jaminan pekerjaan untuk semua pencari kerja (job for all), kesehatan untuk semua (health for all), pendidikan untuk semua (education for all), dan pangan untuk semua (food for all). Namun, nyatanya kesejahteraan yang didambakan masih jauh dari harapan, seperti yang terekam dalam sejumlah indikator kesejahteraan. Tercatat, misalnya, angka kemiskinan masih sebesar 15,42% pada Maret 2008, angka pengangguran sebesar 8,39% pada Agustus 2008, angka buta huruf sebesar 9,1% tahun 2005, angka kematian bayi sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 2007), dan kasus gizi buruk masih cukup tinggi.
Perubahan radikal Untuk mengakhiri mitos kesejahteraan tampaknya tidak bisa dilakukan dengan program biasa apalagi dengan program placebo, tetapi dengan program yang benar-benar menyentuh kesejahteraan masyarakat. Ini mengisyaratkan bahwa peningkatan kesejahteraan tidak bisa dilakukan hanya dengan pendekatan parsial, tetapi harus secara komprehensif dan terintegratif.
Untuk mengatasi kemiskinan, misalnya, diperkirakan sulit berhasil jika hanya bertumpu pada pendekatan parsial, yaitu dengan bantuan tunai (cash). Bantuan tunai memang dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dan daya beli masyarakat.
Namun, bantuan tunai itu tidak akan menghasilkan solusi permanen terhadap pengentasan kemiskinan. Sebab, bantuan tunai tidak akan mewujudkan kemandirian sehingga bantuan tunai itu perlu diintegrasikan dengan pemberdayaan.
Namun, pemberdayaan tidak akan berhasil optimal jika kapabilitas penduduk rendah. Maka, program pemberdayaan itu perlu diintegrasikan dengan program peningkatan kapabilitas, khususnya pengetahuan dan pendidikan serta kesehatan.
Akan tetapi, program peningkatan kapabilitas tidak bisa berjalan otomatis meski, misalnya, dengan layanan gratis. Sebab, aksesibilitas terhadap layanan itu masih membutuhkan biaya. Minimal biaya transportasi ke tempat layanan, dan kelengkapan identitas diri. Maka, program layanan gratis, khusus nya bagi penduduk miskin, perlu diintegrasikan dengan kemudahan dalam aksesibilitasnya, yaitu dengan memberikan kompensasi biaya transpor dan melonggarkan persyaratan identitas diri.
Dari contoh program antikemiskinan itu diketahui bahwa peluang keberhasilannya besar jika program dapat mengintegrasikan sejumlah faktor, seperti pemberdayaan, kapabilitas, dan aksesibilitas.
Bahkan, program integratif antikemiskinan itu bersifat one for all, atau satu paket program untuk semua, yaitu sekaligus dapat menyelesaikan persoalan lainnya, seperti pengangguran (melalui pemberdayaan), pendidikan dan kesehatan (melalui peningkatan kapabilitas), serta pemerataan (melalui aksesibilitas).
Artinya, dari contoh program komprehensif antikemiskinan itu dapat dikemukakan bahwa perubahan radikal dapat dimaknai sebagai proses transformasi dari vicious circle ke virtous circle, atau lingkaran setan keterpurukan menjadi lingkaran surga kesejahteraan.
Atas dasar itu, bagi caleg-parpol yang nantinya terpilih dalam pemilu kiranya dapat melakukan perbaikan atas visi, misi, dan program yang disampaikan ketika kampanye dan berupaya untuk mewujudkannya. Perbaikan program itu mengindikasikan adanya komitmen yang tinggi untuk membela kepentingan rakyat, yang diyakini tidak hanya berpeluang besar untuk mengakhiri mitos kesejahteraan, tapi juga untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemilu mendatang, khususnya Pemilu 2014.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/14/ArticleHtmls/14_04_2009_021_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: