BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kunci Sukses Partai Demokrat

Kunci Sukses Partai Demokrat

Written By gusdurian on Selasa, 14 April 2009 | 11.41

Kunci Sukses Partai Demokrat
Firmanzah PhD
Pakar marketing politik
Pemilihan Umum 2009 berpihak kepada incumbent dan bukan oposisi. Terlihat bagaimana pencapaian luar biasa Partai Demokrat pada pemilu legislatif tahun ini. Hasil quick count beberapa lembaga pooling menempatkan Partai Demokrat sebagai pemenang: LSI (20,46 persen), LSN (20,22 persen), LSI/Lingkaran (20,34 persen), dan CIRUS (20,61 persen). Hal ini meruntuhkan sikap sinis dan skeptis banyak kalangan terhadap figur Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat. Ternyata dukungan publik atas SBY/Partai Demokrat/calon legilslator lebih tinggi dibandingkan dengan partai-partai lainnya, termasuk Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Lantas di manakah letak kunci sukses Partai Demokrat? Apakah hal ini hanya karena faktor figur SBY atau ada hal lain? Harus diakui bahwa baik popularitas maupun elektabilitas SBY jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tokoh-tokoh politik lainnya, seperti Jusuf Kalla, Megawati, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Prabowo Subianto, dan Wiranto. Tetapi hal ini masih tetap meninggalkan tanda tanya, karena yang dicontreng sekarang adalah calon anggota legislatif dan/atau lambang partai, bukan gambar SBY. Melihat hasil ini, jadi pertanyaannya apakah publik secara cerdas sudah mampu mengaitkan antara SBY dan Partai Demokrat atau para calon legislator sebagai dua hal yang tak terpisahkan? Bagaimanapun peran dan pengaruh SBY sebagai tokoh sentral Partai Demokrat begitu kuat dalam pembentukan citra partai dan para calon legislatornya.
Dua faktor penentu kemenangan Partai Demokrat adalah kekosongan figur alternatif dari partai lain dan tingginya kualitas marketing politik yang dilakukan. Dari perspektif marketing politik, Demokrat menang karena kampanye yang dilakukan SBY sebagai Dewan Pembina Partai Demokrat adalah kampanye politik permanen/jangka panjang (permanent campaign) yang sudah dilakukan jauh hari dan tidak hanya terbatas selama periode kampanye pemilu. Selain itu, pencitraan dilakukan secara terus-menerus dengan tidak berusaha menyudutkan pihak lain (positive campaign) ternyata efektif untuk pembentukan keberpihakan masyarakat luas.
Keti(Ada)an alternatif
Kualitas pesaing akan sangat menentukan hasil yang akan kita capai. Bagaimanapun, SBY sangat diuntungkan oleh ketidakhadiran tokoh politik alternatif yang mampu bersaing dengannya. Beberapa tokoh muda, seperti Rizal Mallarangeng, Yuddy Chrisnandi, dan Fadjroel Rahman, gugur di tengah jalan oleh satu atau lain hal. Sementara itu, tokoh lainnya, seperti Jusuf Kalla, Megawati, Prabowo, Sutiyoso, dan Wiranto, juga belum mampu menggeser popularitas SBY.
Sayang sekali, sampai detik ini belum ada tokoh politik yang mampu bersaing dengannya. Hal ini tecermin oleh serangkaian pooling yang dilakukan oleh lembaga riset yang menunjukkan superioritas SBY dibandingkan dengan tokoh yang lainnya. Seharusnya hal ini disadari oleh lawan-lawan politik SBY untuk segera mengemas dan mengusung tokoh alternatif yang berkualitas. Waktu yang tersisa sampai pemilihan Presiden RI relatif sangat singkat untuk bisa menampilkan sosok pahlawan baru, segar, dan berpihak kepada rakyat.
Sebenarnya publik berada pada situasi tidak memiliki pilihan selain memilih SBY dan Partai Demokrat. Apalagi dengan konflik internal sejumlah partai, seperti Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa, membuat pilihan akan tokoh alternatif menjadi semakin sedikit. Golkar dihadapkan pada situasi disintegrasi internal, di mana masing-masing kadernya mengajukan diri sebagai calon presiden. Pada saat yang sama, konflik antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Muhaimin Iskandar di PKB semakin menambah antipati publik atas partai ini. Seolah-olah mereka menggiring suara pendukungnya ke SBY dan Partai Demokrat.
Indikasi masyarakat merasa bingung akan partai mana yang akan dipilih terlihat pada serangkaian survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga. Golput dan swing voters dalam beberapa survei menunjukkan angka yang tinggi. Masyarakat menunggu adanya kebijakan partai politik yang benar-benar dibutuhkan masyarakat di tingkat grass root dan bukan konsumsi elite politik untuk saling menyerang satu dengan yang lain.
Terlebih lagi ketika PDIP beriklan untuk mengawal penyaluran dana bantuan langsung tunai. Menunjukkan pergeseran sikap dari menentang ke mengawal adalah bentuk ketidakkonsistenan PDIP. Hal ini mempertegas citra kepada publik bahwa secara substansial kebijakan BLT benar! Bahkan PDIP, yang menolak kebijakan ini, akhirnya setuju untuk mengawal penyalurannya. PDIP sedang mendekonstruksi legitimasinya sebagai partai oposisi.
Produk politik
SBY dan Partai Demokrat sangat piawai memainkan isu politik dalam tema kampanye. Pada saat Jusuf Kalla dan Golkar begitu gamang untuk mengklaim keberhasilan pemerintah, SBY dan Partai Demokrat secara tegas mengambil posisi. Bahwa sejumlah keberhasilan atas penurunan harga bahan bakar minyak, anggaran pendidikan, BLT, beras untuk rakyat miskin (raskin), dan swasembada beras adalah kinerja dari SBY dan Partai Demokrat. Meskipun dengan cepat Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera membuat iklan bahwa merekalah yang berjasa, namun citra kepahlawanan SBY dan Partai Demokrat sudah telanjur tertanam dalam benak masyarakat.
Kecepatan untuk mengangkat isu nasional dan konsistensi positioning SBY merupakan faktor penentu keberhasilan SBY dan Partai Demokrat. Sementara itu, dinamika politik di Indonesia adalah dinamika elite politik. Jatuh-bangun suatu partai kerap disebabkan oleh naik-turunnya tokoh penting di belakangnya. Hal ini juga berlaku bagi Partai Demokrat. Popularitas yang tinggi dari figur SBY mampu mengangkat citra positif Partai Demokrat di tingkat bawah. Hal ini yang tidak dimiliki oleh partai-partai lain.
Selama kampanye terbuka, SBY dan Partai Demokrat selalu mengucapkan kata-kata yang ingin didengarkan oleh masyarakat luas. Tema-tema populis, seperti BLT, raskin, pendidikan, dan kesehatan, terus didengungkan oleh SBY. Seolah-olah tidak memilih Partai Demokrat berarti akan kehilangan BLT, raskin, pendidikan, dan kesehatan yang diterima selama ini. Ketakutan akan hal ini menjadi mesin penggerak alam bawah sadar masyarakat Indonesia untuk memilih Partai Demokrat. Tidaklah mengherankan apabila Partai Demokrat banyak mendulang suara di daerah dengan basis pendukung partai lain.
Dapat dipastikan pengaruh iklan televisi begitu luar biasa untuk menggiring partai yang akan dipilih. Tentu saja iklan di TV tidak akan berarti apa-apa tanpa disertai fakta di lapangan. Sebenarnya iklan Partai Gerindra lebih baik dari sisi konsep, tema, dan penyajian. Namun, sayang sekali, masyarakat merasakan kebingungan ketika berusaha menerjemahkan isi dan pesan iklan terhadap langkah nyata yang telah dilakukan Gerindra. Begitu juga PDIP, yang kembali mengangkat tema "kerakyatan" dan keberpihakan kepada wong cilik, namun menjadi sulit ketika PDIP membandingkan masa kepemimpinan Megawati selama menjadi presiden. Sementara itu, masyarakat mempersoalkan kesulitan hidup saat sekarang. Kekinian persoalan yang ditampilkan oleh Partai Demokrat jelas membantu masyarakat untuk memahami tema dan isu politik yang terdapat dalam iklannya.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/14/Opini/krn.20090414.162347.id.html
Share this article :

0 komentar: