Pemilu dan Korupsi
Teten Masduki
Model kampanye clientelistic, dengan iming-iming materi dan bentuk varian lainnya (direct payment) untuk menarik simpati pemilih secara perorangan atau kelompok kecil dalam masyarakat, tampak amat dominan dalam kampanye Pemilu 2009 ketimbang bentuk kampanye programmatic policy. Mengapa?
Mungkin, di satu sisi, sebagian besar parpol miskin gagasan atau ideologi berhadapan dengan pemilih irasional yang menginginkan pembayaran langsung karena alasan kemiskinan atau kapok bertubi-tubi ditipu janji-janji politik.
Kecenderungan itu bukan fenomena pemilu populer di Indonesia saja. Kitschelt dan Wilkinson (2007) menstudi model clientelism yang hidup pada zaman praindustrialisasi dan lenyap secara perlahan ditelan modernisasi Barat, muncul kembali di negara-negara industri maju seperti Italia, Jepang, Austria, dan Belgia.
Dari sisi korupsi, model kompetisi clientelistic akan memberikan tekanan besar terhadap penyimpangan dana publik dan kian memperkuat struktur korupsi. Hal itu mulai dari bentuk penggunaan dana dan sarana publik untuk memperluas basis pendukung pada saat pemilu (pork-barrel spending), alokasi program pemerintah ke basis konstituen partai (allocational policies), hingga melanggengkan relasi patronase politik dan bisnis. Tidaklah keliru apabila PDI-P mencurigai program bantuan langsung tunai (BLT) untuk rakyat miskin berpotensi dijadikan sarana untuk memperluas pemilih oleh partai yang duduk dalam pemerintahan.
Kriminalisasi politik
Apa jadinya masa depan kualitas demokrasi Indonesia jika sistem hubungan warga dan politik dibangun berdasar transaksi langsung? Bisa jadi dunia politik kita akan diwarnai perdagangan pengaruh politik yang didasarkan berbagai kepentingan pribadi dan jangka pendek, miskin kepentingan publik dan gagasan besar.
Schaffer (2007), dalam buku Election for Sale, mengingatkan kita bahaya politik uang dalam mobilisasi pemilu, yaitu (1) hasil pemilu tidak legitim (illegitimate outcomes); (2) politisi yang terpilih bisa jadi tidak memiliki kualitas untuk menjalankan pemerintahan, bahkan bisa mendaur ulang politisi korup (bad selection); (3) melanggengkan pelayanan yang bersifat clientelistic ke konstituen (wrong incentive); (4) kualitas perwakilan merefleksikan dari mereka yang dibayar, tidak berdaya dan miskin (skewed representation); (5) menghalalkan sumber-sumber dana kotor (kriminalisasi politik).
Sebenarnya sejak era reformasi, sistem akuntabilitas politik kita secara kerangka hukum telah memadai, lewat pengaturan dana parpol dan dana kampanye yang mengacu kepada standar universal. Yang pokok ada pembatasan nilai donasi, transparansi, dan kewajiban audit publik.
Faktanya, ketaatan parpol terhadap aturan dana politik masih rendah, dan KPU seperti tidak berdaya terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi secara kasatmata. Kini, keadaannya jauh lebih parah karena aturan dana kampanye menjadi tidak efektif saat kampanye dilakukan secara individual oleh para calon, bukan melalui partai sebagaimana mestinya.
Yang lebih parah, baru-baru ini pimpinan KPU membuat diskresi tentang batas donasi dana kampanye, yaitu batas maksimal sumbangan per transaksi bukan setahun sebagaimana lazimnya. Dengan begitu, batas donasi kampanye, yang untuk perorangan maksimal Rp 1 miliar dan perusahaan Rp 5 miliar, menjadi tidak terbatas jumlahnya. Padahal, pembatasan dana politik (parpol dan kampanye) sejatinya guna mencegah korupsi politik (state capture) dengan membebaskan kandidat, partai, dan calon terpilih dari pengaruh yang tidak diinginkan dari kontributornya (Nassmacher, 2001).
Terus membengkak
Kebutuhan dana politik dalam kompetisi politik modern kian hari kian besar, selain keperluan mobilisasi pemilih lewat pesta-pesta politik, juga iklan di media adalah instrumen kampanye yang kini vital. Larry Makinson, peneliti dana politik ternama di AS, dalam diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu menyebutkan, di AS sendiri ongkos kampanye bagi kandidat presiden, senat, dan DPR dari waktu ke waktu cenderung meningkat, dan politisi debutan jauh membutuhkan dana lebih besar dari mereka yang telah berkuasa. Di Indonesia mungkin tidak jauh berbeda. Hanya saja, studi tentang dana politik menghadapi kendala akses informasi.
James Kerr Pollock di tahun 1932 sudah mengingatkan, kehidupan politik yang sehat tidak mungkin terjadi jika penggunaan uang tidak dibatasi (Walecki, 2007). Maka perlu ada pembatasan belanja kampanye, selain penyederhanaan dalam pemilu legislatif dan eksekutif. Padahal, pengeluaran dana politik yang besar dalam memperebutkan jabatan publik, suka tidak suka, akan menekan para politisi memperdagangkan semua kewenangan yang mereka miliki guna mempertebal saku mereka, dan dengan begitu sinisme publik terhadap politik akan menjadi-jadi.
Politisi di DPR produk Pemilu 2009 yang dipilih lewat suara terbanyak bukan tidak mungkin akan sulit dikontrol integritasnya meski oleh partainya sendiri. Berbagai penyimpangan kekuasaan di DPR mungkin akan merefleksikan hubungan partai dan politisi yang bersifat transaktif, seperti hubungan pemilih dan politisi dalam model clientelistic yang bersifat sementara (beli putus), karena itu tidak ada lagi tali mandat untuk menarik-ulur akuntabilitas mereka.
Terbukti sejauh ini kontrol terhadap perilaku koruptif para anggota Dewan bukan datang dari partai, Badan Kehormatan DPR, atau konstituen, tetapi dari KPK. Kita berharap KPK tidak menggunakan aneka pertimbangan politik dalam membersihkan politisi kotor, meski sebagai sebuah komisi parlemen terbuka lubang amat besar bagi intervensi politik.
Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/06/04160184/pemilu.dan.korupsi
Pemilu dan Korupsi
Written By gusdurian on Senin, 06 April 2009 | 14.47
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar