Jam Bumi dan Eco-Style
Asep Purnama Bahtiar
Kepala Pusat Studi Muhammadiyah dan Perubahan Sosial-Politik UMY
"Earth Hour is a way for the citizens of the world to send a clear
message. They want action on climate change." (Sekjen PBB Ban Ki-moon)
Awal mula acara Jam Bumi (Earth Hour) ini diselenggarakan di Sydney
pada Maret 2007, hasil rintisan World Wildlife Fund (WWF) Australia
dan Sydney Morning Herald. Tahun ini, 28 Maret 2009, acara tahunan
berskala internasional itu untuk pertama kalinya dilaksanakan di
Indonesia, dan Jakarta menjadi tempat penyelenggaraannya.
Dibandingkan dengan peringatan Hari Bumi (22 April) sejak 1970 dan
Hari Lingkungan Hidup (5 Juni) sejak 1972, acara Earth Hour masih
sangat baru dan belum begitu populer di kalangan masyarakat. Untuk
Earth Hour 2009 ini, misalnya, partisipasi media massa (cetak dan
elektronik), sejauh pengamatan saya, juga kurang. Padahal, seperti
halnya momen bersejarah yang berkaitan langsung dengan keselamatan
ekosistem dan masa depan planet hijau ini, acara Earth Hour juga tidak
kalah strategisnya.
Berkaitan dengan penyelenggaraan Earth Hour 2009 ini, kita kembali
diingatkan oleh Michael M. Bell (1998) tentang empat masalah besar
yang membahayakan dan menimbulkan kesulitan bagi keberlangsungan
lingkungan hidup di planet bumi ini. Keempat masalah itu adalah
pemanasan global, kerusakan lapisan ozon, hujan asam, serta ancaman
terhadap tanah dan air. Semua masalah lingkungan yang mengancam
keseimbangan ekosistem dan kehidupan di bumi ini paling tidak selama
dua dekade terakhir sudah menjadi isu dan agenda dunia.
Kosakata
Penggunaan kosakata jam (hour) yang digandengkan dengan bumi (earth)
tidak hanya mengesankan keunikan dan daya tarik tersendiri, tetapi
juga menyiratkan pesan moral yang kuat mengenai waktu dan tempo yang
tidak bisa ditunda-tunda lagi atau sudah amat sangat mendesak untuk
menyelamatkan bumi dan penghuninya. Pada acara rutin tahunan yang
diselenggarakan setiap Sabtu terakhir di bulan Maret ini, setiap rumah
dan perkantoran diminta memadamkan lampu dan peralatan listrik yang
tidak diperlukan selama satu jam.
Acara Earth Hour pada 28 Maret 2009 di Jakarta juga berisi seruan
penting untuk tidak menyalakan lampu pada pukul 20.30-21.30 WIB.
Pemadaman lampu secara sadar selama 60 menit ini, selain diserukan
kepada masyarakat luas, diinstruksikan sama kepada para pengelola
bangunan-bangunan bersejarah dan landmark serta perkantoran pemerintah
di ibu kota negara ini. Mengapa Kota Jakarta yang dipilih? Pilihan ini
terkait dengan masalah konsumsi listrik dan energi lainnya yang
terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di wilayah Jakarta dan
sekitarnya. Dari sekitar 77 persen konsumsi listrik nasional di Jawa,
lebih-kurang 20 persen dihabiskan di Jakarta.
Karena itu, pesan utama dari acara Earth Hour ini adalah urgensi
penghematan energi listrik dan seruan moral kepada negara-negara
industri--sebagai penyumbang terbesar emisi karbon--agar segera
mengambil tindakan konkret dan langkah nyata bagi keselamatan bumi dan
perbaikan lingkungan, khususnya menyangkut perubahan iklim yang
membahayakan kehidupan umat manusia. Dalam konteks ini pernyataan
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, sebagaimana telah dikutip di awal
tulisan ini, menegaskan pesan moral dari Earth Hour: "Jam Bumi
merupakan sebuah cara bagi warga dunia untuk mengirimkan pesan yang
jelas. Mereka menginginkan tindakan pada perubahan iklim."
Dalam lingkup global, pesan serius tersebut ternyata memperoleh
respons luar biasa. Menurut website resmi Earth Hour, jumlah kota di
dunia yang ambil bagian dalam Earth Hour 2009 ini sudah melampaui
target 1.000 kota. Dukungan lain, baik dari perorangan maupun lembaga,
akan semakin memperkuat pesan moral yang jelas itu bagi pengambilan
kebijakan yang adil dan keputusan para pemimpin dunia yang
prolingkungan dalam Konferensi Perubahan Iklim Global 2009 di
Copenhagen.
Eco-style
Berbagai masalah dan kerusakan lingkungan sesungguhnya berpangkal pada
cara berpikir manusia yang lepas dari kesadaran diri sebagai bagian
dari alam dan penumpang di planet bumi ini. Paradigma yang menempatkan
manusia sebagai pemilik dan penguasa bumi telah mendorong dan
melegitimasi dirinya untuk mengeksploitasi bumi dan kekayaan alam
dengan semena-mena, tanpa memperhitungkan dampak dan kerusakan
ekosistem dan keterbatasan daya dukungnya. Paradigma inilah yang
dikenal dengan sebutan antroposentrisme, cara berpikir dan bertindak
yang berpusat pada kepentingan manusia semata; tetapi mengabaikan
kelestarian alam dan keselamatan bumi.
Rasionalisme dan positivisme menjadi bagian intrinsik dalam paradigma
antroposentrisme ini, hingga melahirkan homo economicus yang serakah
dan eksploitatif. Dengan cara berpikir instrumental, manusia ekonomi
ini menafikan nilai dan prosedur yang sehat demi kepentingan dan
keuntungan materi belaka. Pengabaian prosedur dan pengingkaran
terhadap nilai inilah yang menjadikan manusia tersebut alpa terus-
menerus dan tidak peduli terhadap dampak kerusakan lingkungan hidup.
Dalam konteks problem lingkungan dan masa depan bumi kita, hemat saya,
paradigma yang relevan adalah ekosentrisme atau teo-ekosentrisme. Alam
dijaga dan bumi dihormati sebagai ekosistem tempat hidup semua makhluk
Tuhan, serta dimanfaatkan sumber dayanya secara bertanggung jawab
sesuai dengan pesan dan risalah-Nya. Paradigma alternatif inilah yang
bisa melahirkan eco-style, gaya hidup yang selalu sadar sebagai
makhluk Tuhan dan bagian dari alam dan bertanggung jawab untuk merawat
dan melestarikan bumi.
Eco-style itu pula yang perlu menjadi kesadaran bersama umat manusia
untuk ikut andil dalam Earth Hour 2009 ini dan tahun-tahun berikutnya.
Partisipasi publik dan keterlibatan berbagai pihak lainnya, termasuk
media massa, dalam Earth Hour sebagai manifestasi dari eco-style ini
akan menjadi gerakan sosial baru yang lintas negara dan bangsa untuk
menekan negara-negara maju agar bertanggung jawab dalam menjaga bumi
dan memperbaiki perubahan iklim global.
Dengan begitu, tepat apa yang dikatakan Andy Ridley (Direktur
Eksekutif Earth Hour) bahwa Earth Hour lebih dari sekadar panggilan
untuk bertindak dalam hal perubahan iklim, tetapi peluang bagi
masyarakat global untuk berbicara dalam satu suara mengenai isu
perubahan iklim. Partisipasi publik inilah yang akan menjadi kekuatan
penekan terhadap arogansi dan ketidakadilan lingkungan yang sering
dilakukan negara-negara maju, dengan membebankan biaya dan risiko
kerusakan kepada negara-negara berkembang. Dalam konteks inilah
partisipasi masyarakat luas, tokoh publik, kaum cendekiawan, kalangan
profesional, pengusaha, dan andil para pemimpin dunia dalam Earth Hour
bisa dipandang sebagai bagian dari eco-style.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/01/Opini/krn.20090401.161130.id.html
Jam Bumi dan Eco-Style
Written By gusdurian on Rabu, 01 April 2009 | 13.20
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar