BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Indikasi Kecurangan UN * Oleh Sadimin PENDIDIKAN merupakan proses pembelajaran dalam rangka pencapaian kompetensi peserta didik. Karena itu pen

Indikasi Kecurangan UN * Oleh Sadimin PENDIDIKAN merupakan proses pembelajaran dalam rangka pencapaian kompetensi peserta didik. Karena itu pen

Written By gusdurian on Minggu, 19 April 2009 | 13.06

Indikasi Kecurangan UN

* Oleh Sadimin


PENDIDIKAN merupakan proses pembelajaran dalam rangka pencapaian kompetensi peserta didik. Karena itu pendidikan harus bisa diukur baik dalam proses pembelajaran maupun hasilnya.

Salah satu cara untuk mengukur keberhasilan proses pendidikan dan pencapaian kompetensi peserta didik sesuai Standar Nasional Pendidikan melalui Ujian Nasional (UN). UN bertujuan menilai kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hasil ujian nasional dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan satuan dan atau program pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan atau satuan pendidikan, pembinaan, dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (Depdiknas, 2009).
UN untuk tingkat SMA/MA/SMK dan sederajat akan digelar 20 April sampai dengan 24 April. Dibanding dengan UN tahun lalu, ada perbedaan yang mendasar dalam penentuan kelulusan.

Jika tahun lalu sisiwa dinyatakan lulus dengan target minimal memiliki nilai rata-rata 5,25 dan boleh memiliki nilai 4,25 pada satu mata pelajaran, sedangkan pada tahun pelajaran 2008/2009 dinaikkan minimal memiliki nilai rata-rata 5,50 dan boleh memiliki nilai 4,25 dua mata pelajaran masih bisa lulus.

Dalam pelaksanaan UN tidak terlepas keberadaan pengawas. Pengawas ini bertugas mengawasi pelaksanaan UN agar bisa berjalan dengan tertib dan tidak ada kecurangan dalam pelaksanaannya. Keberadaan pengawas sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai oleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal.

Sepanjang sejarah perjalanan UN di negeri ini masih sering dijumpai indikasi kecurangan yang dilakukan oleh siswa, guru, maupun sekolah yang berusaha untuk membantu siswa supaya bisa lulus 100 persen, karena tingkat keberhasilan suatu sekolah dapat dilihat dari hasil UN.

Jika suatu sekolah lulus 100 persen, maka ia dikategorikan berhasil dan berkualitas. Sebaliknya jika siswa dalam suatu sekolah banyak yang tidak lulus, maka sekolahan tersebut kurang berkualitas.
Empat Indikasi
Karena itu segala upaya dilakukan untuk dapat mendongkrak kelulusan 100 persen. Ada yang lewat perilaku terpuji seperti menambah meteri pelajaran/les, try out atau latihan soal. Ada juga melalui perilaku tidak terpuji dengan melakukan berbagai kecurangan.

Paling tidak ada empat kecurangan yang bisa diendus. Pertama, penyebaran jawaban oleh guru melalui telepon seluler. Penyebaran jawaban ujian dapat dilakukan dengan ponsel yang dibawa siswa secara sembunyi-sembunyi. Bahkan penyebaran bisa dilakukan di toilet sekolah.

Indikasi ini dapat diamati pada jam tertentu dalam suatu ruang siswa pamit ke toliet dan diikuti oleh siswa di ruangan lain dengan waktu yang hampir bersaman. Di toilet tersebut siswa dapat melakukan transaksi jawaban dan selanjutnya disebarkan ke ponsel siswa lain.

Kedua, panitia masuk ruangan ujian. Panitia tingkat sekolah berpura-pura memantau pelaksanaan ujian sambil mengajak berbicara pengawas. Pada saat pengawas ruangan lengah, sang panitia bisa menyampaikan jawaban kepada salah satu siswa dengan lintingan kertas. Selanjutnya jawaban itu disebarluaskan ke siswa lain.

Ketiga, pengantian jawaban oleh panitia setelah ujian berlangsung. Penggantian jawaban LJK bagi siswa yang diragukan kompetensinya oleh sekolah sangat memungkinkan terjadi jika pengawas independen yang ditugaskan di sekolah tersebut tidak bekerja sesuai dengan fungsi.

Apalagi letak geografis sekolah tersebut sangat jauh dari sekretariat UN tingkat kabupaten, sehingga keadaan ini bisa dimanfaatkan oleh sekolah yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kecurangan. Itulah sebabnya kita sering menjumpai persentase kelulusan sekolah-sekolah pinggiran lebih besar daripada sekolah kota.

Keempat, pengkondisian distribusi pengawas. Pendistibusian pengawas dari sekolah satu ke sekolah lain diharapkan bisa menjaga objektivitas pelaksanaan ujian nasioanal. Namun efek pengawasan silang ini bisa membawa petaka bagi sekolah yang diawasi. Terutama jika mereka mendapatkan pengawas yang memiliki tingkat kedisiplinan tinggi atau ketat.
Keadaan demikian bisa membuat siswa grogi dan tegang mengerjakan soal sehingga berdampak pada hasil ujian asional. Sering kita jumpai siswa menangis setelah keluar ruang karena diawasi oleh pengawas yang sangat ketat.

Sebaliknya sekolah akan merasa senang jika mendapatkan pengawas silang yang memilki tingkat kedisiplinan rendah atau terlau longgar sehingga siswa bisa leluasa meminta jawaban pada siswa lain, atau menyontek. Berkenaan dengan hal ini sudah barang tentu setiap sekolah memilki catatan nama-nama pengawas yang dinilai ketat dan longgar berdasarkan laporan dari siswa pada sekolah tersebut.

Karena itu untuk kepengawasan tahun berikutnya pengawas yang dijuluki super ketat bisa kena ”cekal” untuk tidak diminta mengawasi sekolah tersebut. Sebaliknya pengawas yang longgar tetap akan punya jalan mulus untuk tetap mengawasi pelaksanaan UN pada tahun berikutnya di sekolah tersebut.
Memang berat menjadi pengawas. Namun apa pun yang terjadi kita tetap melaksanakan pengawasan dengan penuh keikhlasan, jujur, bertanggung jawab dan tetap menjaga kerahasiaan negara. (35)

–– Sadimin SPd SSos SIPem MEng, Guru SMA Negeri 3 Brebes dan Pengawas Ujian Nasional

Sepanjang sejarah perjalanan UN di negeri ini masih sering dijumpai indikasi kecurangan yang dilakukan oleh siswa, guru, maupun sekolah yang berusaha untuk membantu siswa supaya bisa lulus 100 persen.

http://suaramerdeka.com/
Share this article :

0 komentar: