BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Hemat Dwi : Salah Kaprah Filosofi Mencontreng

Hemat Dwi : Salah Kaprah Filosofi Mencontreng

Written By gusdurian on Senin, 06 April 2009 | 14.56

LONDON, Inggris, ialah salah satu kota yang dirujuk terkait dengan metode penghitungan suara secara elektronik (e-counting). Pemilihan wali kota dan dewan Kota London yang dilakukan London Elect (semacam KPU di Indonesia) melibatkan 6 juta pemilih dengan 7 juta surat suara.
Pada pemilihan 8 Mei 2008, London Elect menggunakan tiga titik e-counting center dengan biaya US$6 juta atau sekitar Rp68,73 miliar.

Prosesnya sederhana. Dari TPS, surat suara langsung di bawa ke e-counting center untuk dipindai dan dihitung secara elektronik. Surat suara di London memang hanya sebesar kertas ukuran A4 sehingga mudah dipindai langsung. Mereka tidak menghitung suara di TPS dan petugas tidak perlu menulis ulang. Semua perhitungan langsung dikerjakan di e-counter center. "Jika ada kesalahan, dibuatkan berita acaranya dan dibetulkan secara manual," kisah Hemat Dwi Nuryanto, staf ahli yang bekerja untuk tim TI KPU hingga Desember 2008.

Di kantornya di Bandung, Jumat (3/4), Hemat menjelaskan, jika ada surat suara yang tidak terbaca di mesin pemindai, pembenahan secara manual bisa dilakukan di bawah pengawasan pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurut Hemat, London Elect menggunakan teknologi berbasis Optical Mark Reader (OMR) yang digunakan untuk mengenali pilihan pemilih di surat suara. Teknologi itu sebetulnya sudah bertahuntahun digunakan di Indonesia, misalnya saat ujian masuk perguruan tinggi yang menggunakan lembar jawaban penuh bundaran hitam.

"Teknologi ICR ataupun OMR sama-sama lama. Tapi, OMR sudah teruji bertahuntahun di Indonesia. Penyedia teknologi ini juga sudah banyak," ujar Hemat.

Dengan OMR, tidak dibutuhkan lagi proses validasi seperti halnya ICR. "Mungkin scan sertifikasi C1-IT tidak butuh waktu lama. Tapi, validasi yang dibutuhkan untuk ICR akan memakan waktu lama."

Proses validasi, dalam estimasi Hemat, akan memakan waktu lama karena melibatkan banyak orang untuk menandatangani, terutama dari pihak saksi parpol. Sudah begitu, lanjut Hemat, ada kemungkinan untuk menyalahkan sesuatu yang sudah benar.

Bila menggunakan OMR, proses penghitungan elektro nik sudah dimulai sejak dari TPS. Namun dengan kertas surat suara yang extra large seperti di Indonesia, tentu akan sulit melakukan pemindaian. "Itulah salah kaprahnya filosofi mencontreng," ujar Hemat.

Dari perspektif teknologi, menandai atau mencontreng dibutuhkan dalam perhitungan suara secara elektronik menggunakan komputer. "Jadi, kalau nanti suara dihitung secara manual di TPS dengan menggunakan tenaga manusia, ya mencontreng tidak ada gunanya. Perhitungan lebih mudah dengan cara mencoblos. Filosofi mencontreng itu bukan sekadar agar tidak 'terbelakang', melainkan juga agar bisa dibaca dan dihitung komputer," ujar Hemat.

Ia menambahkan, usulan yang pernah dikemukakan ialah menggunakan surat suara ukuran A4 berisi barisan kotak kosong sesuai dengan jumlah partai dan calon legislatif.

"Jadi, kertas besar berisi gambar partai, nomor partai dan nomor urut caleg ditempel di bilik suara. Lalu pemilih tinggal menandai kotak kosong di kertas suara sesuai dengan nomor partai dan nomor urut caleg," jelas Hemat.

Surat suara berukuran A4 dan tidak berwarna yang dibutuhkan perhitungan elektronik juga tidak mahal. "Bisa lebih hemat dari sisi kertas surat suara," ujarnya.

Ia mengakui jumlah perangkat yang dibutuhkan untuk mekanisme tersebut akan membengkak, mengikuti jumlah TPS di Indonesia. "Namun tetap lebih murah, cepat, akurat, dan transparan," serunya.

Kekurangan OMR pun diakui Hemat. "Seperti halnya ujian masuk bersama perguruan tinggi, selalu ada saja kan anak pintar yang tidak lolos. Tapi itu kecil sekali," tambahnya.

Bila dibandingkan dengan mekanisme e-voting atau memilih secara elektronik, sistem e-counting lebih sesuai dengan Indonesia. Terutama jika dikaitkan dengan jumlah pemilih dan partai politik. "Kalau e-voting, nanti orang terlalu lama di depan layar komputer di bilik suara. Itu juga membutuhkan banyak komputer," ujarnya lugas.

(Sic/X-9)

Hemat Dwi Nuryanto

Mantan Staf Ahli TI KPU

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/06/ArticleHtmls/06_04_2009_021_003.shtml?Mode=1



Perjalanan Suara dari TPS ke Tabulasi Nasional




<script language="JavaScript" src="http://c2.zedo.com/jsc/c2/ff2.js"></script><noscript> <a href="http://xads.zedo.com/ads2/r?n=563;c=2209;s=748;x=2304;u=j;z=[timestamp]" target="_blank"><img border="0" width="300" height="250" src="http://xads.zedo.com/ads2/x?n=563;c=2209;s=748;x=2304;u=j;z=[timestamp]" alt="Click here"></a> </noscript>
Cukup 12 hari untuk mengetahui hasil Pemilu Legislatif 2009. Titik rawan ada pada proses data entry.

T EKNOLOGI tabu lasi elektronik pada Pemilu Legislatif 2009 diklaim siap 100%. Sabtu (4/4), Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi(BPPT) mempresentasikan kesiapan infrastruktur teknologi informasi (TI) untuk pemilu pada 9 April mendatang di Gedung Telkom, Jakarta.
Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary optimistis, "Hasil pemilu dapat diketahui dalam waktu 12 hari. Bahkan bisa kurang."

Dari sisi teknologi, rancangan infrastruktur TI untuk pemilu nyaris tanpa cela. Titik yang paling memengaruhi keseluruhan proses berada pada tahap data entry, yang membutuhkan pengawasan banyak pihak. Terutama bagi partai politik yang paling berkepentingan dengan pelaporan hasil perolehan suara.

Penghitungan suara secara manual dilakukan di tempat pemungutan suara (TPS). Setelah proses penghitungan selesai, petugas mengisi sertifikat perolehan suara. Dia menuliskannya pada formulir C1 dan C1-IT. Apa yang tertulis di formulir C1 diumumkan di TPS bersangkutan, sedangkan formulir C1-IT dibutuhkan untuk penghitungan suara secara elektronik. "Formulir C1-IT dirancang seperti formulir C1 biasa. Ketua Panitia Pemungutan Suara (KPPS) mengisi formulir itu beserta lampirannya lalu diparaf di TPS," jelas anggota KPU Abdul Aziz.

Setelah itu, kedua formulir dibawa ke KPU kabupaten/ kota yang bersangkutan. Di sana, formulir C1-IT yang berjumlah delapan lembar akan dipindai (scanned) menggunakan scanner. Lembar pertama berisi data rekapitulasi suara, sedangkan lembar selanjutnya berisi perolehan suara partai dan caleg. Setelah dipindai, data itu disimpan dalam bentuk dokumen (file) gambar dengan format JPEG.

Data citra itu memuat tulisan tangan KPPS yang nantinya akan dibaca peranti lunak ICR (intelligent character recognition) sehingga menghasilkan format text. "Jadi, kalau petugas menulis 200, ya akan dibaca oleh ICR dan dituliskan 200," jelas Ketua Tim TI KPU Husni Fahmi.

Dari hasil empat kali pengujian terhadap 50 ribu suara, lanjut Husni, tingkat ketelitian mencapai 98%.

Kecerdasan buatan ICR merupakan penjabaran teknologi artificial intelligent atau kecerdasan buatan. Jadi sebelumnya, ICR 'belajar' terlebih dahulu mengenali pola tulisan dan menyimpan informasi tersebut dalam 'otaknya'. Mirip kerja otak mengenali wajah seseorang. Jika kita tanpa sengaja berpapasan dengan seseorang yang pernah kita temui, otak kita akan menggali informasi nama atau lokasi dan waktu pertemuan dengan orang itu.

Begitu juga dengan ICR. Saat ICR harus membaca sebuah tulisan baru, 'otaknya' bekerja menampilkan format elektro nik terkait dengan pola tulisan itu. Jadi, ada kemungkinan ICR tidak mengenali sebuah tulisan. "Ada proses validasi yang memastikan bahwa ICR betul-betul membaca sesuai tulisan petugas atau tidak. Seorang operator di KPUD dapat mengedit hasil ICR lalu menyimpannya," jelas Husni.

Ketika proses validasi terjadi, di situlah seorang operator dituntut untuk teliti. Jangan sampai hasil pembacaan ICR yang sudah sesuai justru diubah dan akhirnya menjadi salah. Faktor kesalahan manusia akibat kelelahan, misalnya, sangat mungkin terjadi di tahap ini. Apalagi hanya disiapkan rata-rata dua operator untuk setiap KPUD. "Sebetulnya itu kurang. Paling tidak empat atau enam orang yang bekerja," ujar Kepala BPPT Marzan Iskandar.

Kekhawatiran itu segera ditanggapi Aziz. "Kita siapkan dua orang itu dengan tiga sif. Kalau KPUD hanya memiliki 125 TPS, ya cukup dua orang. Kalau sampai 7.700 TPS seperti di Bogor, ya butuh banyak. Fleksibel saja," jelasnya.

Setelah divalidasi, delapan file gambar yang merupakan hasil pemindaian delapan lembar formulir CI-IT diberi watermarked terlebih dahulu. "Ya semacam distempel, begitu. Jadi nanti, jika dokumen itu diutak-atik menggunakan Photoshop, misalnya, untuk mengganti tampilan hasil scan, ya akan ketahuan," jelas Husni.

Kemudian, operator mengirim satu paket data terdiri dari 10 files. Perinciannya 8 files gambar, 1 files data elektronik hasil pembacaan ICR dan 1 file log yang memuat segala macam tindakan atau perubahan yang terjadi dalam proses validasi data ICR oleh operator. Total nya mencapai sekitar 700 kb.

Aman Data dipastikan aman karena sudah dienskripsi dan diberikan digital signature untuk menjamin kerahasiaan. Lalu, paket data itu dikirim dengan kecepatan 128 kb per detik menuju pusat data (data center/ DC) KPU dalam. "Ibaratnya begini, jalan menuju data center itu lebarnya 30 Mb. Lalu paket data 700 kb yang dikirim dari KPUD akan melalui jalanan tersebut," jelas Agung Harsoyo dari tim IT KPU.

Agung memperkirakan kapasitas itu lebih dari cukup.

Pertimbangannya, kemungkinan data masuk secara bersamaan tidak lebih dari 10% dari total 471 KPUD.

Jadi, kapasitas 30 Mb cukup lega untuk dilewati 42 paket data secara bersamaan. Pengiriman tersebut dilakukan melalui jaringan komunikasi teramankan (VPN IP) yang dijamin PT Telkom. Analoginya seperti jaringan intranet sehingga tidak dapat disusupi, tetapi dalam skala lebih besar.

"Jika jalur utama tersebut mengalami gangguan, terdapat cadangan jalur kedua selebar 30 Mb. Jika jalur kedua itu juga terganggu, mekanisme daruratnya ialah menggunakan jalur menuju disaster recovery center(DRC). Link antara DC menuju DRC selebar 10 Mb," jelas Agung.

Paket data sebesar 700 kb diperkirakan akan tiba ke pusat data dalam hitungan detik. Agung memperkirakan waktu pengiriman data dari KPUD ke pusat data KPU tidak lebih dari 6 menit.

Selanjutnya, petugas di pusat data mengirimkan verifikasi data yang telah diterima ke KPUD dalam bentuk e-mail. Jika data yang diterima tidak cocok dengan data yang dikirimkan, kejadian itu akan dibuatkan berita acara. Lalu KPUD mengirim ulang data yang benar.

Data yang tersimpan di pusat data akan ditampilkan ke tabulasi nasional. Juga dikirim melalui jalur internet biasa ke situs KPU agar bisa diakses masyarakat.

Data yang ditarik tabulasi nasional merupakan data dinamik sehingga dapat diketahui perubahan data dari waktu ke waktu, mengenai perolehan suara calon anggota DPR. Data itu dapat ditampilkan dalam bentuk grafis berupa diagram, ataupun teks. Adapun data yang dikirimkan ke situs KPU berupa data statis yang akan diperbarui setiap 30 menit.

"Selama proses berlangsung, ada Help Desk Center yang bertugas membantu petugas di KPUD jika ada kesulitan," terang Husni.

Pusat data KPU juga dapat memonitor jaringan di setiap KPUD sehingga masalah yang terjadi dapat dideteksi dengan cepat. "Semua jaringan sudah siap. Yang terakhir, di Puncak Jaya, Jayapura, sudah terkoneksi dengan menggunakan VSAT," jelas Marzan.

VSAT ialah teknologi yang memungkinkan koneksi langsung melalui satelit. Sementara itu, untuk daerah-daerah yang lebih mudah dijangkau menggunakan koneksi melalui kabel (wirelines).

Kemarin, tim TI KPU melakukan uji coba dengan lima KPUD antara lain Banjarmasin dan Medan.

Dari sudut pandang teknis, penjabaran tersebut memperkuat target 12 hari seperti perkiraan Ketua KPU. Namun di lapangan, fakta terkadang bicara lain. Misalnya pasokan listrik yang tidak terjamin di KPUD sehingga pengiriman data terganggu.

Lalu faktor lain ialah pengiriman hasil perhitungan suara di TPS yang tersendat masuk ke KPUD. Satu lagi yang harus diperhatikan, pengawasan pada saat validasi data di KPUD.

Bagaimanapun, jika aspek manusia tidak bisa dioptimalkan, teknologi paling canggih tidak akan mewujudkan niat awal untuk menampilkan hasil perhitungan suara dengan akurat, cepat, dan transparan. (X-9)




http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/06/ArticleHtmls/06_04_2009_021_002.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: