BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Anak Bangsa Tercekik Utang

Anak Bangsa Tercekik Utang

Written By gusdurian on Minggu, 05 April 2009 | 12.44

Utang Luar Negeri
Anak Bangsa Tercekik Utang

Bermula dari kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun lalu, kini berbagai persoalan pengelolaan keuangan negara pun terkuak. Dari pemborosan, ketidakjelasan pengelolaan pendapatan dari sektor minyak dan gas, sampai ketidakberesan pengelolaan utang luar negeri. Bila ketidakberesan pengelolaan keuangan negara itu dibiarkan, anak bangsa ini akan makin terpuruk.

Untuk masalah pemborosan dan ketidakjelasan pengelolaan pendapatan dari sektor minyak dan gas, kini KPK mulai bertindak. Sedangkan soal pengelolaan utang luar negeri memang bukan masalah yang mudah bagi KPK. Dari temuan KPK terungkap, sejak 1970 Pemerintah Indonesia membuat 4.524 perjanjian utang (loan agreement) dengan pihak luar negeri. Nilai seluruhnya belum diketahui secara pasti.

Bahkan Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Haryono Umar, hanya bisa memperkirakan, jumlahnya Rp 460 trilyun hingga Rp 1.600 trilyun. Yang bikin miris, dari utang segede itu, ternyata yang termanfaatkan dan digunakan hanya 44%. Sisanya, sebanyak 56%, tersia-sia alias mubazir.

Padahal, ketika loan agreement itu ditandatangani, meski dananya belum mengucur, Indonesia wajib membayar biaya komitmen (commitment fee) dan bunganya. Walhasil, saban tahun, pemerintah terbebani membayar dua jenis biaya itu sampai Rp 2,02 trilyun. Belum lagi, dari 44% yang digunakan itu, ternyata sebagian ada yang macet.

Akibatnya, bunganya terus menggelembung seiring dengan menguatnya kurs dolar dan anjloknya nilai tukar rupiah. Karena itu, kata Haryono, ada satu daerah yang utangnya mula-mula Rp 27 milyar, lantaran macet, membengkak jadi Rp 80 milyar. Ada juga utang luar negeri yang dipinjam dengan skema dana talangan. Dalam skema ini, pemerintah membiayai dulu proyeknya. Setelah proyek itu jadi, dana yang talangan pemerintah tadi ditagih kepada peminjam (lender).

Celakanya, lender acapkali ingkar, tidak mengucurkan dana, meski loan agreement telah ditandatangani dan commitment fee serta bunganya sudah dibayar. Pemerintah jadi rugi dua kali, sudah keluar duit, harus membayar bunga pula. Jelas negara sangat dirugikan dengan pengelolaan utang luar negeri yang amburadul ini.

Anak bangsa kian sengsara tercekik utang. Sebab hampir 30% dari total dana APBN dipakai untuk membayar utang, dua pertiganya digunakan untuk membayar bunga. "Indonesia sejak dulu tidak punya borrowing strategy (strategi peminjaman) dan tidak ada studi kelayakan untuk setiap proyek yang didanai dengan utang," kata Haryono Umar.

Buktinya, ada pemerintah daerah yang mencari pinjaman, katanya, untuk membangun sanitasi, tapi realisasinya malah untuk membeli mobil dinas. Dalam persoalan ini, kata Haryono, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) harusnya menjadi ujung tombak pengelolaan pinjaman itu, karena persetujuan dikucurkannya utang luar negeri dikeluarkan Bappenas.

Sayang, menurut Haryono, borrowing strategy dan studi kelayakan tidak dilakukan. "Kalaupun ada, hanya di atas kertas, tapi pelaksanaannya menyimpang," ujarnya. Indonesia baru memiliki borrowing strategy setelah diterbikannya Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

Karena itu, awal Februari lalu, KPK membentuk tim untuk menelisik seluruh utang luar negeri ini. Tim yang terdiri dari enam orang itu mulai bergerak mengumpulkan data jumlah utang yang terealisasi, termanfaatkan, sampai yang macet. "Ini semua harus dibenahi. Setidaknya, yang tidak efektif sebaiknya dihapus," ujar Haryono.

Dalam penelusuran itu, kata dia, bukan tak mungkin ada unsur pidana. Misalnya, mulusnya persetujuan utang itu karena ada pihak yang membrokeri. "Kalau ada unsur pidananya, akan kami usut juga," Haryono menegaskan. Dirjen Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan, Rahmat Waluyanto, menepis anggapan yang menyebutkan bahwa pengelolaan utang luar negeri kita selama ini amburadul.

Menurut dia, dana dari luar negeri yang dipinjam pemerintah sudah jelas penggunaannya, transparan, terkoordinasi, dan akuntabel. "Selama ini, pinjaman kita telah sesuai dengan mekanisme dan ada pertanggungjawaban melalui pembahasan di DPR yang ditetapkan melalui APBN," kata Rahmat Waluyanto.

Ia mengakui, sebelum terbit PP Nomor 2 Tahun 2006, pengelolaan dana pinjaman agak terkendala. Banyak proyek yang ternyata belum siap dikerjakan, padahal loan agreement telah ditandatangani dan pemerintah sudah harus membayar biaya komitmen serta bunganya. Namun, setelah PP itu terbit, setiap proposal peminjaman harus menjalani studi kelayakan.

"Harus lebih dulu melihat proyeknya atau diketahui apakah sudah mendapat rekomendasi dari Bappenas, apakah proyek itu sudah siap atau belum, baru agreement ditandatangani," Rahmat Waluyanto menambahkan. Sejak itu, pengelolaan utang luar negeri, katanya, membaik.

Indikatornya adalah penurunan rasio pinjaman terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Pada 2001, misalnya, rasio utang terhadap PDB masih 77%. Namun pada 2008 turun menjadi 31,3%. Lagi pula, kata Rahmat, utang yang dibayar masih jauh lebih besar ketimbang utang yang dikucurkan kreditur.

Sementara itu, ketika dimintai tanggapan soal ini, pihak Bappenas mengaku masih menyusun jawaban tertulis. "Tim kami masih bekerja menyusun jawaban tertulis untuk diserahkan ke KPK," kata Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, kepada Mukhlison S. Widodo dari Gatra. Karena itu, dia minta semua pihak sabar menunggu jawaban yang lengkap soal ini.

Dalam waktu dekat, KPK memang berencana memanggil semua pihak terkait untuk dimintai pertanggungjawaban. "Jeratan utang membuat negara rusak. Kita jadi tidak berwibawa di mata negara lain," tuturnya. Lebih-lebih, kata Haryono, utang luar negeri yang kebanyakan dalam mata uang asing sering dijadikan senjata oleh kreditur untuk makin memurukkan Indonesia. "Kasus krisis moneter tahun 1997 harusnya jadi pelajaran," ujarnya.

Ketika itu, utang luar negeri Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya banyak yang jatuh tempo. Namun, pada saat bersamaan, dolar yang dibutuhkan untuk melunasi utang diborong spekulan. Harga dolar melambung gila-gilaan, sehingga utang luar negeri pun membengkak. Indonesia masih harus mencicil utang sampai tahun 2045. Artinya, selama itu pula kita dan anak-cucu kita terus menjadi sapi perah kreditur asing.

M. Agung Riyadi dan Anthony Djafar
[Nasional, Gatra Nomor 20 Beredar Kamis, 26 Maret 2009]

http://gatra.com/artikel.php?id=124544
Share this article :

0 komentar: