BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Surya Paloh Factor" dalam Politik Pilpres

Surya Paloh Factor" dalam Politik Pilpres

Written By gusdurian on Kamis, 26 Maret 2009 | 13.14

Surya Paloh Factor" dalam Politik Pilpres

Senin siang pekan lalu, saya penuhi undangan ''tokoh-tokoh Aceh'' bertemu dengan Bang Surya --panggilan para junior untuk Surya Paloh-- untuk perbincangan pemimpin politik nasional. Ketika ada usulan untuk maju, Bang Surya menolak dengan santun.

Ketika diminta bicara, saya sampaikan bahwa hasil pemilu legislatif unpredictable, karena pemberlakuan sistem suara terbanyak. Proses pembujukan rakyat secara intensif dan massif yang dilakukan masing-masing caleg berpotensi mengubah atau memperteguh pendirian konstituen. ''Yang akan dipilih rakyat,'' ujar saya, ''bukan hanya partai, melainkan juga pribadi-pribadi yang mereka kenal dan terima pada tingkat lokal.'' Maka, seperti terjadi di Thailand, hasil pemilu legislatif kali ini berpotensi menghadirkan the unsophisticated politicians di dalam parlemen.

Akan tetapi, sambung saya, ekspektasi tentang pilpres tidak banyak terdistorsi. Popularitas Yudhoyono tetap teratas, diikuti Megawati Soekarnoputri. ''Maka'', ujar saya lagi, ''jika Bang Surya maju bersama Mbak Mega, hasilnya pasti ramai.'' Ia tertawa lepas hingga, sebagaimana biasa, kepalanya terangkat. Pertemuan informal itu berakhir tanpa kesimpulan.

Beberapa hari kemudian, Bang Surya tampil dalam acara Konsultasi Nasional Partai Golkar. Dalam kapasitas sebagai ketua dewan penasihat, ia mengecam elite DPP partai itu yang ''sedikit-sedikit bicara pokoknya SBY-JK. Urusannya apa?'' Dan dengan nada komando ia berkata: ''Tolong catat siapa elite DPP yang bersikap semacam ini.'' Seperti terdengar dalam tayangan Metro TV secara berulang-ulang, ucapan Bang Surya ini mendapat respons bergemuruh dari floor.

Gaya retorika kecaman yang mengandung daya komando ini memang milik Surya Paloh seorang. Ia ekspresif, dan karena itu suara, aspirasi, serta --dalam beberapa hal-- ''ambisi''-nya mudah terlacak di tingkat publik.

Kepribadian semacam ini secara struktural terdukung oleh fakta bahwa Surya adalah sosok independen. Artinya, ia secara politik dan ekonomi tidak bergantung pada negara dan lembaga-lembaga politik. Dalam posisi sebagai pemilik dua media massa besar (koran Media Indonesia dan Metro TV), Surya bahkan telah menjadi ''faktor'' yang mempengaruhi wacana politik nasional.

Sosok kepribadian dan political instruments miliknya ini cocok dengan situasi politik nasional dewasa ini, yang cair dan bersifat multidirections. Ini pula yang menyebabkan posisinya terperhitungkan di dalam Partai Golkar: orpol yang mewadahi ''orang-orang besar'', dengan watak dan ambisi yang spesifik.

Walau hampir semuanya tidak berakar di tengah masyarakat, di dalam Golkar masing-masing ''orang besar'' itu punya andalan tersendiri. Di samping durasi karier, pemimpin anak organisasi andalan itu juga terletak pada kekayaan material dan political instruments. Maka, masing-masing menjadi ''lembaga dalam lembaga'' dan mengontrol wilayah kekuasaan tertentu --yang membuat ketua umumnya hanya primus inter pares atau first among equals (yang terkemuka di antara yang sederajat). Ini membuat --dalam sebuah partai yang tak mengandalkan ideologi sebagai instrumen evaluatif-- niat atau maksud sang tokoh menjadi sukar dibedakan dengan kebijakan resmi partai.

Dalam struktur horizontal relasi kekuasaan elite Golkar inilah sosok seperti Bang Surya menjadi ''hidup''. Di tengah keadaan multidirections dan tak terfokus, yang dibutuhkan hanya imajinasi, kemauan, dan kemampuan menfasilitasi program tertentu dari seorang tokoh. Inilah yang menjelaskan mengapa ada program yang tampak ''ganjil'' dalam Golkar: rapat-rapat akbar Golkar-PDIP di Medan dan Palembang pada tahun lalu, di bawah arahan Bang Surya. Dan dengan ringan, tanpa beban, Bang Surya menyerukan bahwa Golkar dan PDIP adalah sama.

Maka, dalam struktur relasi ini, Bang Surya adalah faktor yang mengarahkan Golkar kepada the politics of heroism. Keinginan partai digdaya, tidak dipandang sebelah mata oleh yang lain. Lawannya adalah the politics for the real. Artinya, dalam keadaan apa pun, Golkar harus ada dalam kekuasaan. Jika tak bisa sendiri, tidak ''haram'' berkoalisi dengan kekuatan lain yang potensial. Di sini, saya kira, Jusuf Kalla berada.

Rasanya, dua gagasan ini telah bersemai selama dua tahun di dalam Golkar. Maka, pasal 2,5% dari Dr. Mubarok hanya pemicu eksternal kecil yang mendorong, untuk sementara, ''kemenangan'' the politics of heroism di dalam Golkar. Kehadiran 33 ketua dewan pimpinan daerah Golkar ke rumah dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menominasikannya sebagai calon presiden adalah refleksi nyata bahwa Surya Paloh adalah ''faktor''.

Hipotesis apa yang bisa dikemukakan di sini? Sementara hasil pemilu legislatif masih menjadi teka-teki, popularitas Yudhoyono sulit sirna dalam beberapa bulan ke depan. Di sini Golkar dihadapkan pada pilihan: memajukan the politics of heroism atau the politics for the real?

Fachry Ali
Pengamat politik
[Kolom, Gatra Nomor 16 Beredar Kamis, 26 Februari 2009]

http://gatra.com/artikel.php?id=123678
Share this article :

0 komentar: