BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Simalakama di Pusaran Krisis

Simalakama di Pusaran Krisis

Written By gusdurian on Senin, 23 Maret 2009 | 12.40

Simalakama di Pusaran Krisis
Perbankan masih enggan menurunkan suku bunga. Prospek ekonomi yang melambat jadi salah satu penyebabnya.
EKSEKUTIF sebuah perusahaan mengeluhkan masih sulitnya mencari kredit modal kerja. ”Untuk Rp 3 miliar saja, kami harus mengajukan personal guarantee,” katanya. Padahal, delapan bulan lalu, bank tersebut masih menawarkan pinjaman hingga Rp 50 miliar.

Tentu ini bukan soal likuiditas. Melongok indikator perbankan di situs Bank Indonesia, terlihat bahwa simpanan pihak ketiga di perbankan masih sangat tinggi, yakni Rp 1.746 triliun atau hanya turun 0,4 persen. Namun penyaluran kreditnya ambles lebih tajam, yakni 2,1 persen, menjadi hanya Rp 1.325 triliun. Rasio pinjaman (loan to deposit ratio) pun turun mulai Agustus (79 persen) menjadi 74,5 persen pada Desember 2008. Sebaliknya, dana yang disimpan di Sertifikat Bank Indonesia melonjak luar biasa, yakni 25 persen menjadi Rp 208,5 triliun pada Januari lalu.

Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Wimboh Santoso mengatakan, ekspansi kredit sepanjang tahun ini belum sampai Rp 2 triliun menjadi Rp 1.286 triliun. Angka ini jauh merosot dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 34 triliun. Juga lebih buruk dibandingkan posisi awal tahun 2007. ”Kita masih menunggu perkembangan sampai April-Mei nanti,” katanya di Jakarta pekan lalu, seperti dikutip Eko Nopiansyah dari Tempo.

Tahun ini, kata Wimboh, ekspansi kredit kemungkinan akan sebesar 18-20 persen. Namun kalangan perbankan memperkirakan pertumbuhan kredit kemungkinan hanya 15,6 persen, jauh di bawah angka tahun lalu yang mencapai 31 persen. Ini karena krisis keuangan global dipastikan akan membuat perekonomian dunia melambat. Dampaknya terhadap Indonesia sungguh besar. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memperkirakan pertumbuhan ekspor Indonesia tahun ini akan negatif. Januari lalu saja, ekspor Indonesia jatuh 36 persen.

Perdagangan domestik juga tak kalah buruknya. Penjualan mobil diperkirakan turun 26 persen. Kalangan pelaku industri semen meramalkan konsumsi semen tahun ini tidak akan tumbuh alias stagnan. Tahun lalu, permintaan semen masih 11 persen. Bahkan konsumsi semen di semester pertama mencapai 21 persen, namun anjlok di semester berikutnya akibat ekonomi melambat. Sektor yang lain juga tak kalah buruknya. Rendahnya inflasi bisa juga menjadi indikator bahwa tingkat permintaan konsumen jauh menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Akibatnya, kata analis perbankan Mirza Adityaswara, permintaan kredit diperkirakan akan menurun. ”Pasti tidak akan sebesar tahun lalu,” katanya. Wakil Direktur Utama Bank BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan perbankan bukannya tak mau menyalurkan pinjaman. ”Permintaannya memang masih rendah,” katanya. Dia menambahkan, biasanya kredit mulai menanjak pada Juni-Juli, dan akan mencapai puncaknya pada Desember. ”Siklusnya selalu begitu dalam 6-7 tahun terakhir,” katanya.

Itu sebabnya, kata Jahja, banyak bank memilih menempatkan dananya di Sertifikat Bank Indonesia. ”Ini untuk mengamankan dana saja, bukan karena kita tidak mau menyalurkan kredit,” katanya berkilah. Menurut dia, perbankan sebetulnya rugi menempatkan dananya di SBI karena bunganya hanya 8-9 persen, sementara jika disalurkan menjadi kredit bisa sekitar 13 persen. Wakil Direktur Utama Bank BII Sukatmo Padmosukarso menambahkan, bank juga rugi karena rata-rata bunga deposito sekarang masih di atas 10 persen.

Tapi, berbeda dengan Jahja, Sukatmo juga menyebut soal risiko kredit yang terus meningkat belakangan ini, yang membuat bank memilih menempatkan dananya di SBI. Krisis memang sudah menghantam perusahaan dari berbagai sisi. Nilai tukar rupiah yang melemah membuat biaya produksi meningkat, terutama untuk perusahaan yang berbahan baku impor. Di sisi penjualan, permintaan konsumen menurun. ”Stress test yang kami lakukan memang menunjukkan kemampuan debitor membayar kredit semakin lemah,” kata Sukatmo.

Data Bank Indonesia menguatkan pendapat Sukatmo. Pada Januari lalu, rasio kredit seret (non-performing loan) perbankan naik menjadi 4,2 persen dari 3,8 persen pada Desember 2008. Secara nominal juga lumayan besar, yakni Rp 55,4 triliun, dari sebelumnya Rp 50,9 triliun. Memang angkanya relatif masih aman. Tapi, jika kondisi perekonomian terus memburuk, bukan tidak mungkin angkanya akan merambat naik. ”Saya khawatir jika angkanya melewati 5 persen. Ini tanda bahaya,” katanya.

Mirza mengatakan, perbankan memang sedang berhati-hati. Dengan risiko yang masih tinggi karena situasi ekonomi yang tidak menentu, paling aman bagi bank adalah menahan ekspansi. Memang, katanya, siklus awal tahun memperlihatkan pertumbuhan kredit cenderung rendah. ”Tapi pernyataan Wimboh yang bilang bahwa ekspansi kredit masih Rp 1,3 triliun jelas menunjukkan adanya perlambatan,” katanya. Mestinya, kalaupun angkanya kecil, ekspansi kredit awal tahun ini tidak serendah itu.

Suku bunga yang masih tinggi diperkirakan juga membuat banyak calon debitor menunda keputusannya meminjam karena ada ekspektasi bunga akan turun. Sejak Desember 2008, bank sentral sudah empat kali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 7,75 persen, turun 175 basis point. Namun suku bunga kredit rata-rata hanya turun 4-10 basis point per Februari lalu. Rata-rata tertimbang suku bunga kredit konsumsi masih 16,46 persen, kredit modal kerja 15,23 persen, dan kredit investasi 14,37 persen.

Perbankan, kata Sukatmo, masih sulit menurunkan suku bunga pinjaman karena suku bunga deposito masih di atas 10 persen. ”Imbauan menteri, wakil presiden, atau bahkan presiden pun agar bunga turun sulit terealisasi selama bunga deposito tidak beranjak turun,” kata Sukatmo. Dia beralasan, perbankan hingga kini masih berebut dana masyarakat. Dan itu terlihat dari masih banyaknya gimmick dan jorjoran hadiah oleh perbankan untuk menarik atau mempertahankan nasabahnya.

Bank BCA, kata Jahja, juga terus menurunkan suku bunga depositonya. Saat ini bunga tertinggi masih 9 persen, tapi April nanti akan diturunkan menjadi 8,25 persen. Itu sebabnya, BCA berani menurunkan suku bunga kredit lebih besar. Kredit pemilikan rumah (KPR), misalnya, kini bersuku bunga 12,5 persen atau turun 250 basis point, sedangkan kredit yang lain diturunkan dari 16 persen ke 12,5-13 persen. ”Kalau BI Rate turun terus, saya yakin akan sampai juga ke 11 persen,” kata Jahja.

Masalahnya, suku bunga ibarat darah bagi tubuh. Jika ia terlalu mahal, akan merepotkan seluruh sendi perekonomian. Pilihannya memang tidak banyak: dia menjadi pendorong perekonomian atau memilih aman untuk dirinya sendiri.

M. Taufiqurohman, Padjar Iswara, Munawwaroh, Ismi Wahid

Data Perbankan
(Rp Triliun)

Dana Pihak
Ketiga Kredit SBI
Sep 08 1.601,5 1.287,4 87,7
Okt 1.674,2 1.343,5 124,4
Nov 1.707,9 1.371,9 152,3
Des 1.753,3 1.353,6 166,5
Jan 09 1.745,6 1.325,3 208,5


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/23/EB/mbm.20090323.EB129869.id.html
Share this article :

0 komentar: