BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mutasi, Intervensi, dan Profesi Polisi

Mutasi, Intervensi, dan Profesi Polisi

Written By gusdurian on Jumat, 27 Maret 2009 | 14.44

Mutasi, Intervensi, dan Profesi Polisi
Komisaris Besar Purn. Alfons Loemau

Pengamat masalah kepolisian
Dalam hari-hari terakhir ini beberapa media cetak dan elektronik memuat pemberitaan tentang sebuah ekspresi dari seorang petinggi Kepolisian RI, Irjen Herman S.S., mantan Kepala Polda Jawa Timur. Adapun silang sengkarut pemberitaan tersebut terpicu oleh konferensi pers seorang perwira tinggi Polri berbintang dua, yang pada suatu hari, setelah sekian tahun menjalankan tugas sebagai Kapolda Jawa Timur, dimutasikan ke Mabes Polri, digantikan oleh juniornya yang berpangkat brigjen. Kemudian yang bersangkutan menyatakan mengundurkan diri dari dinas aktif kepolisian, yang dilanjutkan dengan konferensi pers dan dilanjutkan dengan kegiatan bersafari ke beberapa pimpinan partai politik.

Adapun yang memicu keadaan sampai yang bersangkutan mengundurkan diri dari kepolisian adalah perbedaan kesimpulan atas penetapan Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur. Menurut dia, apa yang telah ditetapkan tentang telah terjadi suatu tindak pidana berupa pemalsuan data dalam daftar pemilih tetap (DPT) di Jawa Timur, yang dilakukan oleh Ketua KPUD Jawa Timur, adalah benar. Hal ini juga disampaikan kepada petinggi parpol tertentu ketika diminta memaparkan tentang anatomy of crime dari perspektif seorang mantan Kapolda mengenai masalah yang menjadi topik yang memanas akhir-akhir ini tersebut. Jika kesimpulan Herman benar, dapat kita duga bahwa hal tersebut mengakibatkan salah satu pasangan calon yang didukung oleh partai tertentu dimenangkan dalam putaran pemilihan gubernur Jawa Timur.

Setelah terjadi mutasi, Kapolda Jawa Timur yang baru mengubah status yang telah ditetapkan semula, yaitu dari tersangka menjadi saksi. Dan proses perkara, yang semula telah sampai pada tahap penyidikan, diulang kembali pada tahap penyelidikan. Padahal, sesuai dengan KUHAP, tahap penyidikan dan penentuan status tersangka adalah tahap lanjutan dari penyelidikan sebagai indikasi telah ditemukan bukti permulaan yang cukup. Hal ini mengandung arti bahwa tahap penyelidikan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan teknis, sistematis, taat asas, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Tentu kejadian ini menjadi pertanyaan kita semua.

Sebagaimana telah diatur dalam KUHAP Pasal 184 (1), bahwa pembuktian perkara yang di dalam istilah kepolisian dikenal sebagai scientific crime investigation mengacu ke berbagai alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pengertian bukti permulaan yang cukup setidaknya mengandung pengertian bahwa suatu konstruksi pidana setidaknya didukung oleh dua alat bukti yang sah dari antara kelima alat bukti di atas. Apabila dalam proses penyelidikan dan penyidikan di mana berbagai upaya paksa telah dilaksanakan—dan ada hak-hak warga negara yang telah dirampas--penyidik diharuskan menyerahkan berkas perkara dan tersangka kepada penuntut umum. Tahapan yang didasarkan pada ketentuan perundang-undangan tersebut kemudian dinyatakan oleh penuntut umum sebagai P-21, berarti proses hukum memasuki tahap penuntutan.

Pertanyaan yang timbul adalah, pertama, apa peran Badan Reserse Kriminal Polri sebagai pembina fungsi teknis penyidikan? Kedua, apakah pernah melakukan audit investigasi melalui kontrol dan supervisi terhadap proses kegiatan penyidikan--mulai dari metode pengumpulan informasi dan data, metode analisis dan evaluasi, sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan konstruksi pasal yang dipersangkakan? Ketiga, apakah audit yang dilakukan oleh Bareskrim sebagai Pembina Fungsi Teknis pada saat proses pembuktian masih tetap berlanjut, dapat dikategorikan sebagai langkah intervensi yang membuat ketersinggungan bagi penyidik--dalam hal ini mantan Kapolda Jawa Timur? Keempat, apakah tidak perlu menguji kembali setiap hasil tahapan penyelidikan dan penyidikan, khususnya dalam menetapkan tersangka, sebagai wujud profesionalisme Polri sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang? Kelima, apakah dengan dalih transparansi, atau alasan pengunduran diri, dapat dibenarkan seorang penyidik membeberkan seluruh proses dan hasil penyidikan sementara suatu kasus kepada pihak lain di luar konteks kedinasan--apalagi melalui konferensi pers?

Langkah pengunduran diri seorang petinggi Polri patut diacungi jempol sebagai wujud tanggung jawab moral karena kegagalan profesional, antara lain akibat rendahnya kompetensi manajerial dalam menjalankan fungsi kontrol. Kegagalan tersebut mengakibatkan beberapa orang di Jawa Timur masuk penjara karena praktek yang salah dalam melakukan pengumpulan informasi dan data, salah melakukan analisis, dan pasti salah sampai tahap pemberkasan dan penyerahan berkas perkara. Kesalahan ini secara otomatis berpengaruh terhadap tindakan penuntut umum untuk menyatakan berkas perkara sebagai P-21, dan keputusan hakim, seperti pada kasus Asrori dan teman temannya. Pada kasus tersebut, Asrori dkk harus disidang dan dipenjarakan atas tuduhan yang bisa dibuktikan secara hukum, walaupun tidak pernah dilakukan. Kasus lain adalah kasus Lapindo Brantas, sebagai bentuk kejahatan korporasi, yang sampai saat ini belum dapat dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, dan kalau memang suatu tindak pidana, siapa saja yang dikategorikan sebagai pelaku.

Kejadian ini menunjukkan betapa rawannya independensi kepolisian dalam tugas penegakan hukum di era demokratisasi yang syarat dengan berbagai kepentingan politik dan praktek-praktek politisasi penegakan hukum. Di sisi lain, kejadian ini juga menguji kompetensi petinggi Polri yang secara manajerial bertanggung jawab atas proses rekrutmen, seleksi, pembinaan dan pengembangan, serta penempatan dalam jabatan di lingkungan kepolisian secara transparan dan akuntabel tanpa suatu intervensi karena kepentingan politis sesaat.

Semoga proses mutasi serupa ini, proses penentuan hasil penyidikan, dan campur tangan partai politik dalam manajemen organisasi profesi, mampu mengingatkan kembali kita semua ke masa lalu. Kecelakaan sejarah yang pernah melanda organisasi kepolisian, dengan mencuatnya kasus Bulog-gate, Brunaigate, sampai berakhir dengan pemakzulan seorang Presiden Abdurrahman Wahid beberapa tahun yang lalu sebagai hasil penyidikan yang dipaksakan, tidak perlu diulangi kembali. Marilah kita semua bereuforia menyambut dinamika demokratisasi di negeri tercinta ini, dengan segala konsekuensi dalam rangka pembelajaran. Dan kita berharap semoga kepentingan kemaslahatan rakyat bukan hanya kemasan slogan alias komoditas kampanye cari popularitas, yang sebenarnya merupakan ajang perebutan pepesan kosong. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/27/Opini/krn.20090327.160615.id.html
Share this article :

0 komentar: