BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mental Seliter Beras

Mental Seliter Beras

Written By gusdurian on Senin, 23 Maret 2009 | 12.47

Angkringan
Mental Seliter Beras
Ngarto Februana

wartawan Tempo
Pada pekan-pekan kampanye terbuka ini, jargon-jargon berhamburan dari bibir para calon legislator ataupun juru kampanye. Ajakan untuk hidup lebih baik: "mari berjuang bersama meningkatkan taraf hidup", "ayo bekerja keras demi hidup makmur", dan sebagainya, seperti tumpah dari langit. Saya paham seruan itu. Tapi apakah semua orang akan tergerak mengikuti ajakan itu?

Saya teringat obrolan dengan seorang tetangga pada suatu malam ketika ia bertandang ke rumah. Namanya Hawadi, sebut saja demikian. Pria yang sangat gaul, baik dengan warga perumahan maupun penduduk kampung sebelah, itu bercerita tentang pemuda bernama Eman.

Saya mengenal si Eman sebagai orang yang rajin bila diminta membersihkan selokan yang mampet atau memperbaiki talang bocor. Kadang Eman bekerja keras menggali pasir. Tapi, kata tetangga saya, Eman cukup puas bila kerja kerasnya sudah menghasilkan seliter beras. Lha, lauknya? "Mancing ikan di sungai," tutur Hawadi.

"Mestinya orang seperti Eman itu hari ini boleh mematok target seliter, tapi besok harusnya sekarung, dan bulan depan satu truk. Kapan bisa maju kalau cukup puas hanya dengan seliter beras?" ujar tetangga saya.

Lalu, Hawadi bercerita tentang pria bernama Mamak yang sudah punya anak dan cucu. Senada dengan Eman, si Mamak meyakini mitos bahwa "penjaga" kampungnya adalah seorang perempuan. Lantas hal ini diartikan bahwa perempuan cukup berdiam saja di rumah, cukup dengan seliter beras.

Lagi-lagi kerja kok hanya untuk seliter beras. Tak ada motivasi untuk meningkatkan taraf hidup, seperti ajakan-ajakan para juru kampanye. Mungkin masih banyak orang-orang bermental seliter beras, tapi masih lebih banyak masyarakat yang bermental sekarung beras atau bahkan satu truk beras.

Saya pun berandai-andai, dengan nada optimistis, ajakan juru kampanye itu, untuk bersama-sama meningkatkan taraf hidup, bisa merasuk ke setiap hati pendengarnya. Lima tahun lagi, dan di setiap penyelenggaraan ritual demokrasi bernama pemilihan umum, seruan dan jargon-jargon senada--termasuk obral janji--akan dihamburkan lagi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/23/Berita_Utama-Jateng/krn.20090323.160357.id.html
Share this article :

0 komentar: