BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengapa Orang Malas Memilih?

Mengapa Orang Malas Memilih?

Written By gusdurian on Rabu, 11 Maret 2009 | 13.55

Mengapa Orang Malas Memilih?


Semasa saya duduk di SD, SMP, SMA, dan selama menjadi mahasiswa serta dosen dan pengusaha, orang yang bicara bebas di Indonesia dianggap pemberani. Itulah negara totaliter di bawah Soekarno dan Soeharto.


Tidak terbayangkan, di tahun 1999 setelah pemilihan umum,suatu malam di luar Kota Chicago (kebetulan sedang berkunjung) saya mendengar di radio mobil,suara penyiar yang setengah teriak: ”Indonesia is now the third largest democracy in the world!” Bangga betul rasanya.Negara yang memenjarakan puluhan ribu tawanan politik, membantai penentang pemerintah beberapa kali dengan pembunuhan gelap, kok bisa diakui sebagai demokrasi besar di dunia, hanya di bawah India dan Amerika Serikat.

Sampai sekarang orang memuji terus,dari Eropa sampai Asia, dari Australia sampai Afrika. Bulan lalu, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menyatakan di Jakarta, Indonesia mengagumkan karena mampu menggulingkan rezim totaliter dengan kekuatan sendiri, dan memulai suatu demokrasi. Namun, baru sepuluh tahun berdemokrasi, orang sudah malas menanggapi pemilu. Apakah orang Indonesia tidak suka pada demokrasi? Tanpa pretensi ilmiah, saya mengumpulkan pendapat orang biasa melalui email, ngobrol, dan pasang status updatedi facebook.

Silakan lihat di sini: facebook. com/profile.php?id=6349 30347.Yang paling mirip dengan pendapat saya justru seorangrekanmudabelia, Melda Wita namanya.Melda menyatakan, ”Bisa hidup di negara yang menjunjung pluralisme tinggi... biar berbeda-beda tapikitatetapsatujua..bisabebas mengutarakan pendapat... hehehe terus bisa menikmati makanan-makanan dari berbagai daerah yang super sedap....misalnya saksang dan ikanarsikdariMedan..adalagi sate padang..wah”.

Indonesia memang tidak punya apa-apa kecuali demokrasi, kontras dengan negara tetangga yang punya semuanya, kecuali kebebasan. Namun, hanya sedikit yang menyatakan pendapat positif.

Yang lain penuh keluhan,bisa dikumpulkan dalam kelompok yang mengeluhkan soal teknis: Malas karena ngga dapat undangan untuk hadir di TPS, ngga dapat kartu pemilih,dan harus mengecek sendiri namanya di DPT pada PPS Kelurahan terdekat... Pengalaman saya dari 1999 sampai 2004 dan Pilkada DKI 2008 lalu, banyak pemilih yang data di kartu dan KTPnya salah.. ngga usah jauhjauh, semua anggota KPPS di TPS saya ngga ada yang benar data di kartu pemilih nya... Ngga dapat undangan untuk milih, khan bingung mau milih di TPS mana, soalnya di undangan tercantum alamat lokasi TPS...bakal malas mondar- mandir tuh warga yang rata-rata sudah berumur...

Yang menunjukkan sikap cuek: Golput..here i come!!!!?? Terlalu malas untuk memilih n tidak peduli:D EGP...emang gue pikirin.... siapa pun calegnya....siapa pun presidennya....aku tetap orang Indonesia......:)

Yang skeptis mengenai teknik kampanye: Tidak ada kampanye yang cerdas, transparan, dan detail, bukan hanya sekadar kontes popularitas dengan arak-arakan di jalan raya. Komunikasi visual lewat posternya aja berantakan, apalagi komunikasi politiknya ????

Yang skeptis mengenai caleg dari dulu, sekarang, sampai masa depan: Calonnya itu-itu aja... Dari sejak punya hak pilih dulu gak percaya sama outcome pemilu legislatif ... Calonnya gak jelas asalmuasalnya Yang pintar belum tentu kuat, yang kuat belum tentu pintar.. yang pintar dan kuat belum tentu membawa peruntungan untuk masyarakat dan negara.... Jadi harus orang yang pintar,kuat,dan hoki..... Pada oooommmdoooo alias omong doang gak ada hasilnya, kerjanya ngabis-ngabisin duit doang. Bingung yang mana yang bisa buat perubahan. I know nobody bang WW !!

Ada teman-teman yang berkomentar lebih panjang dan lebih bernuansa: ”Rata-rata para caleg itu seragam, ngga bisa dibedain kecuali foto. We don’t know what they stand for, ngga jelas apa agendanya. mereka tidak/kurang berkomunikasi dengan pemilih, hanya melalui gambar wajah yang dipampang di baliho jalan.Untuk pemilih, kita tidak punya dasar untuk memilih si A, B, C (kecuali kenal kali ya). Nah, ada caleg Dapil Jaksel yang pernah tampil di media (elektronik) karena ada kesempatan, ditanya ‘kenapa mau jadi caleg?’ Jawabnya, ‘karena saya melihat rakyat susah dan ingin membantu memajukan kesejahteraan rakyat.’ Then what? how? Apa yang akan anda lakukan jika Anda terpilih untuk duduk menjadi anggota dewan?

Dijawab: ‘saya tidak ingin banyak bicara, saya hanya ingin bekerja dan tidak sekadar mengobral janji.……… Cape deh!” ”Pemilih butuh tahu,yang dipilih butuh kepercayaan. Orang gak tahu gimana mau percaya.Yang kampanye gak ngerti apa yang diomongin. Ngomong ekonomi, tapi yang diomongin normatif, gak konkret, dodol tp sok ngerti.Hancur negara kalo masih banyak yang kayak begitu. Kampanye kok pake simbol pemimpin massa,entah mantan presiden yg sudah mati, atau presiden gagal,tp dipasang di balihonya dia.

Gak pede? Gimana mimpin nanti, kalo gk pede nanti ngikut juga korup kayak pendahulunya. Capek sm orangorang yang dipilih melalui seleksi partai politik,mayoritas gak jujur, suap sana, suap sini biar dapat nomor urut jadi. Walau sudah ada putusan MK, toh gak bakal banyak pengaruh. Ogah milih koruptorkoruptor baru!”

Kecewa terhadap hasil demokrasi (yang baru sepuluh tahun), tapi belum tentu kecewa terhadap demokrasi itu sendiri. Analisis tajam seorang eksekutif PR menyorot parpol: ”Banyak pemilih yang pernah dikecewakan partai yang pernah dipilihnya dan tidak ada usaha dari partaipartai politik untuk membersihkan diri dari dosa-dosa politik atau upaya nyata untuk memperbaiki institusi parpol. Jika ada anggota partai yang ditangkap korupsi, buru-buru ada pengumuman anggota tersebut dipecat dan tidak ada pertanggungjawaban sama sekali dari partai yang telah merugikan rakyat tersebut.

Parpol sama sekali tidak merasakan rendahnya penghargaan rakyat kepada citra dewan legislatif dan parpol di dalamnya. Tidak pernah sekalipun citra positif profesionalitas, kredibilitas dan keberpihakan pada rakyat melekat pada parpol dan dewan legislatif. Premanisme, korupsi, dan kepentingan parpol semata yang selama ini dilihat orang biasa pada calon-calon yang akan dipilihnya. Perception is reality. Selama tidak ada upaya nyata dari para elite politik untuk mengubah citranya, sampai kapan pun orang biasa akan tetap malas memilih.”

Semua kecewa dengan hasil demokrasi.Namun, mengasingkan diri juga bukan jawaban, sebab elite hanya bisa dikoreksi dari masyarakat, kecuali kalau kita mengundang diktator Indonesia ketiga. Mungkin ini yang diinginkan Atmo Prawiro Yahya Hutauruk, menyambung statement beliau bahwa Indonesia belum siap untuk memilih sendiri pemimpinnya, melihat banyaknya keluhan terhadap pemilu.

”Menurut pendapat saya, pimpinan saat ini jangan melalui pemilihan dulu, karena masyarakat,aturan main,dan fasilitas untuk melakukan pemilihan belum memenuhi persyaratan. Untuk itu, harus ditunjuk caretaker, saat ini yang mumpuni, menurut saya hanya dari TNI.Ingat cita-cita kemerdekaan dulu sudah terlalu jauh ditinggalkan para pimpinan saat ini.Saya kira masih banyak TNI nasionalis yang bermoral.... Karena bangsa kita bangsa yang kekanakkanakan, maka perlu diawasi oleh TNI...”

Apakah pendapat seperti Pak Hutauruk itu mewakili golput? Mudah-mudahan tidak. Bagi saya, lebih pas kalimat Andri Sudibyo yang diberikan di facebook sebagai kalimat penutup.

”Demokrasi tidak selalu menghasilkan pemerintahan dan parlemen yang baik, namun perlu diingat demokrasi merupakan suara rakyat yang bisa saja merupakan suara keadilan. Jadi, ikutlah pemilu dan mari berharap bangsa ini semakin pandai dan semakin bisa memilih yang baik”.(*)

Wimar Witoelar


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/219682/
Share this article :

0 komentar: