BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mencari Kaum Demokrat Sejati

Mencari Kaum Demokrat Sejati

Written By gusdurian on Sabtu, 21 Maret 2009 | 13.56

Mencari Kaum Demokrat Sejati

Chris Panggabean

”We give no special power to wealth; the poor man’s voice commands equal authority.”

Theseus dalam drama karya Euripides (484 SM-406 SM)

Prinsip one man one vote dalam demokrasi sesungguhnya merefleksikan pengakuan kesetaraan bagi setiap individu dan simbol bahwa kekuasaan berasal dari suara rakyat. Demokratia atau kekuasaan oleh rakyat (rule by the people) tidak lagi semata soal prosedur, tetapi sejauh apa ia menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Kekuasaan oleh dan untuk rakyat mengasumsikan adanya kebaikan bagi semua (common good). Dalam tradisi republik, common good tercipta dengan partisipasi warga negara. Korupsi, buta huruf, kelaparan, kemiskinan, kerusakan lingkungan, pengangguran, terorisme, kriminalitas adalah kondisi sosial yang berkorelasi negatif dengan kesejahteraan masyarakat. Menghilangkannya sama dengan mewujudkan common good di masyarakat. Common good berbicara mengenai apa yang membuat masyarakat menjadi lebih baik dan demokrasi adalah instrumen pengantarnya.

Kultur politik dengan ciri-ciri ingatan pendek akan masa lalu, penuh permakluman, pragmatis, berpikir mistis dan feodal hanya melahirkan elite dan massa politik yang gampang berselingkuh demi kepuasan sesaat. Jika tidak demikian, mana mungkin figur- figur yang melakukan penyerbuan/kekerasan terhadap markas parpol tertentu serta pembunuhan dan penculikan terhadap para mahasiswa dan aktivis HAM bisa memiliki massa, memimpin partai, dan maju sebagai kandidat- kandidat presiden?

Akibatnya, politisi yang lahir dari kultur politik seperti itu membawa masuk nilai-nilai yang sama ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Akhirnya, korupsi dan manipulasi menjadi sesuatu yang banal dalam lembaga demokrasi kita. Demokrasi hanya akan berjalan lebih efisien dan fokus pada tujuannya jika institusinya dikendalikan oleh individu dengan karakter diri yang sejalan dengan nilai demokrasi. Sementara itu, koherensi dan sekaligus kenaifan demokrasi menjadi arena kontestasi menuju kekuasaan yang terbuka bagi siapa saja, termasuk mereka yang antidemokrasi.

Fasis atau demokrat

Kontra nilai demokrasi adalah fasisme. Jangan bayangkan fasisme hanya ada di Perang Dunia II dalam wujud Hitler atau Mussolini yang seolah amat populis dan prososialisme. Dalam bukunya, Fascism and Democracy in Human Mind (2006), Charny menjelaskan bahwa fasisme yang dimaksud adalah sikap atau predisposisi totaliter dan otoriter. Setiap manusia memiliki bibit tersebut, tetapi ada yang membiarkannya berkembang menjadi karakter dirinya.

Paradigma berpikir fasis cenderung mengarah pada sesuatu yang pasti dan absolut, karenanya ia bersikap intoleran pada ide yang berbeda, menuntut kepatuhan dan menyembah kekuasaan, menempatkan diri superior, siap melakukan kekerasan terhadap mereka yang tidak sekeyakinan, dan akan menyangkal atau mencari pembenaran atas kekerasan yang dilakukan terhadap kemanusiaan.

Demokrasi tidak akan menghasilkan common good di tangan karakter semacam itu. Mereka hanya akan melahirkan aturan- aturan yang menguntungkan diri dan kelompoknya, baik secara ekonomi maupun budaya. Tak peduli jika ekonomi nasional dan keutuhan bangsa menjadi taruhannya. Perda-perda dengan suasana kebatinan agama tertentu yang memicu segregasi bangsa dibiarkan.

Kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) atau skandal daftar pemilih tetap (DPT) di Jawa Timur yang menciptakan pemilih- pemilih fiktif demi melanggengkan kekuasaan adalah praktik paling terkini pribadi fasis di Republik ini. Tidak mustahil DPT fiktif pada Pilkada Jatim yang lalu akan diulangi secara lebih masif dan nasional dalam pemilu legislatif April nanti dan pilpres mendatang.

Seorang demokrat seyogianya bukan pemimpin yang maunya cuma dipuja dan dipuji sebagai yang paling berhasil dan tanpa cacat, yang tak rela ada pesaing lain, yang terjangkit sindrom Sin- derela. Sikap seorang demokrat hanya bisa beroperasi dalam diri yang rendah hati, menolak superioritas, selalu menempatkan kesetaraan akan sesama sekalipun berada pada posisi pemimpin. Oleh karena itu, tabiat demokrat lebih dapat diharapkan untuk mengupayakan peningkatan kualitas hidup masyarakat luas.

Kaum idiot

Idiot berasal dari bahasa Yunani, idiotes, istilah bagi orang- orang yang hidup dalam dunia privatnya sendiri, tak mau terlibat dalam urusan publik. Adapun dalam bahasa Latin artinya tidak peduli atau tidak mau belajar.

Mungkin kebanyakan dari kita adalah idiot. Beranggapan bahwa semua calon anggota legislatif (caleg) tidak bermutu, terburu- buru memutuskan menjadi golput, atau membiarkan pilihan kita jatuh pada wajah yang sering terlihat saja. Kita terlalu malas untuk melatih intelijensi politik. Padahal, hak suara yang kita miliki saat ini mampu mencegah secara demokratis kandidat yang bertabiat antidemokrasi untuk berkuasa. Pasti ada pribadi-pribadi nonfasis di antara ribuan calon anggota legislatif dan belasan calon presiden yang ada. Mungkin sosok-sosok itu tenggelam oleh para demagog berduit yang balihonya mampu menutupi sebuah gedung.

Ujilah segala sesuatu dari buahnya, takkan buah jeruk dihasilkan dari pohon kenari. Rekam jejak seseorang lebih penting dipakai sebagai patokan. Adakah seorang caleg peduli dengan masalah kesehatan (pengasapan dan pengobatan gratis) bulan-bulan belakangan ini saja atau dari dulu? Akankah kita akan memercayai janji akan mendukung dunia pendidikan dari kandidat yang punya riwayat menculik orang- orang kritis sebagai hasil pendidikan?

Masih ada waktu untuk mencari tahu siapakah yang memiliki rekam jejak sebagai seorang demokrat sejati. Dalam pesta demokrasi kali ini, kita akan ikut bergembira, bukan oleh suguhan dangdut, tetapi karena bangga dan haru menemukan nama-nama berintegritas.

Kita akan datang ke TPS tidak sebagai seorang idiot, lebih dari itu, dalam bilik suara kita akan menemukan minimal dua sosok demokrat: pada kertas suara dan pada diri kita sendiri.

Chris Panggabean Asisten Peneliti di Universitas Indonesia; Aktif di Lingkar Muda Indonesia





http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/21/04210520/mencari.kaum.demokrat.sejati.
Share this article :

0 komentar: