BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memisahkan Masalah Politik dan Pidana

Memisahkan Masalah Politik dan Pidana

Written By gusdurian on Selasa, 24 Maret 2009 | 12.40

Memisahkan Masalah Politik dan Pidana

Pelaksanaan Pemilu Harus Diselamatkan

Oleh : Oce Madril *

Pemilu 2009 memberikan harapan sekaligus mencemaskan. Mengutip pendapat J. Kristiadi, dinamika politik sebelum pemilu terancam oleh kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ancaman itu tidak boleh dianggap sepele karena pertaruhannya adalah masa depan politik Indonesia.

Memang, pemilu kali ini penuh dengan kejutan. Baru dimulai kampanye terbuka, KPU mengubah (kembali) jadwal kampanye. Kemudian, kejutan datang dari pengakuan mantan kepala Polisi Daerah Jawa Timur tentang dugaan manipulasi daftar pemilih tetap (DPT).

Kekhawatiran terjadinya manipulasi daftar pemilih tetap (DPT) itulah yang kini dirisaukan berbagai kalangan. Pemilu legislatif yang digelar 9 April tinggal beberapa hari lagi, namun KPU belum terang benderang mengumumkan jumlah DPT setiap daerah pemilihan.

Pemilu Penentu

Banyak pakar dan analis politik menyebutkan bahwa pemilu kali ini merupakan tahap yang menentukan dalam proses konsolidasi demokrasi. Terkait dengan hal itu, Ho Won Jeong yang mengamati perkembangan demokrasi di negara-negara Asia Timur, mengemukakan bahwa pemilu pada masa transisi demokrasi merupakan titik krusial untuk mewujudkan pemerintahan yang legitimate sekaligus mewujudkan legitimacy of democracy, terutama di negara-negara yang masih dibayang-bayangi konflik sosial dan politik.

Sementara itu, Roland Paris dalam Democracy in Post-Authoritarian Regime (1997) dengan tegas menyebutkan bahwa pemilu kedua dan ketiga merupakan demarkasi yang akan menentukan terciptanya konsolidasi demokrasi (sustainable democracy) atau menjadi titik balik terciptanya pemerintahan yang lemah (unlegitimate) dan terbukanya potensi konflik sosial politik baru.

Dalam konteks itulah, pemilu menjadi bagian yang sangat penting. Pemilu sebagai instrumen demokrasi bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Pascareformasi, kita telah berhasil melaksanakan dua kali pemilu yang demokratis. Kali ini merupakan pemilu ketiga yang menjadi faktor penentu apakah demokrasi akan semakin solid atau justru sebaliknya, terjadi kemandekan demokrasi.

Pemilu Ditunda?

Wacana penundaan pemilu dilontarkan Prabowo Subianto setelah mengadakan pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri terkait dugaan manipulasi DPT pada pilkada Jatim yang lalu. Prabowo menilai KPU tidak siap dan masih terdapat ketidakberesan DPT, terutama di Jatim, yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pernyataan itu pun menuai kontroversi di tengah semakin dekatnya hari pemilihan.

Apakah pemilu dapat ditunda? Pasal 228-230 UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur tentang pemilu lanjutan dan pemilu susulan. UU itu tidak menggunakan istilah penundaan pemilu. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemilu lanjutan dan pemilu susulan dapat dilakukan dalam hal di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh/sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Pemilu lanjutan dan pemilu susulan itu dapat terjadi di tingkat kota/kabupaten, provinsi, bahkan nasional.

Berdasarkan ketentuan di atas, secara hukum, pemilu lanjutan dan pemilu susulan dapat saja terjadi jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan UU. Namun, bukan karena ada dugaan manipulasi DPT yang masuk dalam kategori pidana pemilu.

Patut dipisahkan mana yang merupakan proses politik dan mana yang proses hukum. Pemilu merupakan proses politik yang sedang berjalan. Sedangkan dugaan manipulasi DPT merupakan masalah pidana pemilu yang harus diselesaikan melalui mekansime hukum.

Terhadap berbagai dugaan kecurangan dalam pemilu, pada akhirnya, terdapat mekanisme peradilan yang akan memutuskan. Sengketa pemilu diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan pidana pemilu diselesaikan di Mahkamah Agung.

Bahkan, bukan tidak mungkin, dugaan manipulasi dalam penyelenggaraan pemilu akan berimplikasi terhadap hasil pemilu. Berkaca pada beberapa putusan kasus pilkada di MK, bukan tidak mungkin, MK memerintahkan pemilu ulang di suatu daerah.

Selain itu, jika pemilu ditunda, akan teradi krisis konstitusional akibat rusaknya agenda pemilu yang sangat ketat. Apalagi jika penundaan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan politik yang dapat menimbulkan konflik serta krisis pemerintahan, maka terbuka peluang bagi militer untuk intervensi.

Terhadap kemungkinan tersebut, analis politik dari University of California, Barbara Geddes (2005), memberikan catatan bahwa militer merupakan kekuatan yang sangat potensial untuk terlibat dalam proses politik ketika negara dalam keadaan kacau. Pada tahap ini, militer akan menjadi potensi ancaman (potential threat) bagi kelangsungan konsolidasi demokrasi.

Dengan demikian, Pemilu 2009 harus tetap berlangsung sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU. Syaratnya, KPU harus tegas. Pasal 22E ayat 5 UUD 1945 telah memberikan jaminan konstitusional kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Ditegaskan pula dalam Pasal 3 UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu bahwa KPU merupakan institusi yang berwenang menyelenggarakan pemilu dan bebas dari pengaruh pihak mana pun. Oleh karena itu, wahai KPU, selamatkanlah Pemilu 2009!

*. Oce Madril, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: