Krisis Global Air
Peter Rogers, Guru Besar Rekayasa Lingkungan, School of Engineering and Applied Sciences, Harvard University
Di seluruh dunia, permintaan akan air tawar meningkat dua kali lipat setiap tahun, karena bertambahnya populasi dan meningkatnya kemakmuran. Namun, polusi, perubahan iklim, dan intrusi air laut terus menurunkan pasokan air tawar dengan kecepatan yang sama. Jadi apakah kita bakal mengalami krisis air tawar? Untungnya, situasi tampaknya tidak begitu mengkhawatirkan. Bukan berarti kita membantah kenyataan bahwa pasokan air tawar memang sangat ketat. Bila dibiarkan saja tanpa diambil sesuatu tindakan, bakal terjadi kekacauan pasokan.
Banyak yang berargumentasi bahwa air berbeda dengan sumber daya lainnya, seperti minyak, karena tidak ada pengganti air untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan manusia (terutama untuk tanaman pangan). Lagi pula air merupakan sumber daya yang pada dasarnya tetap, walaupun ia memperbarui diri sendiri setiap tahun. Air terdapat dalam jumlah yang luar biasa di dunia, tapi sebagian besar berupa air laut yang asin dan air tanah yang payau. Terdapat sumber daya air tawar yang besar, tapi kebanyakan berupa permukaan es dan gletser, dan hanya sebagian kecil yang tersedia di tempat dan di saat kita membutuhkannya. Pasokan air juga sangat variabel dari satu kawasan ke kawasan lainnya serta di dalam suatu negara. Banjir dan kekeringan silih berganti pada waktu yang tidak tetap.
Satu faktor yang mempengaruhi pasokan air adalah meningkatnya suhu global. Walaupun kita belum tahu persis mengenai pengaruhnya yang pasti, banyak ilmuwan yakin jumlah curah hujan setiap tahun bakal meningkat, tapi musim dan frekuensi curah yang ekstrem mungkin juga meningkat. Situasi seperti ini bakal menyulitkan pemanfaatan infrastruktur pasokan air yang ada sekarang, seperti bendungan, waduk, sistem penjernihan, dan pipa penyalur, tanpa dilakukannya modifikasi yang memadai.
Dari tulisan para pengamat terdahulu mengenai faktor-faktor yang mendorong naik dan turunnya kondisi sosio-ekonomi--Adam Smith, Edward Gibbon, Thomas Malthus, David Ricardo, dan Karl Marx--kita melihat bahwa keprihatinan akan berkurangnya sumber daya bukanlah hal yang baru.. Malthus dan Ricardo terutama sangat tajam melihat ke depan mengenai peran populasi, pangan, dan sumber daya energi.
Malthus membayangkan laju geometris pertumbuhan penduduk (seperti bunga berganda simpanan di bank) dan laju aritmetik pertumbuhan produksi pangan (seperti bunga yang tidak berbunga dalam rekening di bank). Garis-garis lengkung grafik ini selalu silang-menyilang setelah dua dekade, dan Malthus meramalkan kelaparan dan konflik yang meluas: kebutuhan pangan dan populasi bertemu satu sama lain karena "kesengsaraan, perang, wabah, dan maksiat".
Ricardo memproyeksikan apa yang dinamakan declining returns atau menurunnya pengembalian investasi yang ditanamkan dalam sumber daya. Sumber daya yang paling baik (paling rendah ongkosnya) dimanfaatkan pertama, diikuti yang paling baik berikutnya, dan seterusnya. Meningkatnya permintaan akan sumber daya berarti meningkatnya harga yang berlanjut sampai sumber daya itu menjadi terlalu mahal untuk dimanfaatkan.
Sudah tentu kendala ini sudah berlangsung beratus-ratus tahun sebelumnya, sebelum Malthus dan Ricardo mengemukakannya, tapi homo sapiens mampu "menipu" dengan memperluas basis sumber daya (kolonialisme) guna memperoleh sumber daya dan pangan yang lebih murah; dengan penemuan pengganti sumber daya yang langka, serta dengan peningkatan teknologi sehingga luas lahan dan jumlah sumber daya yang sama dapat dimanfaatkan dengan lebih efisien.
Karena dunia sekarang sudah padat, tidak banyak lagi peluang untuk meningkatkan pasokan sumber daya secara fisik. Persoalan riil yang dihadapi planet bumi saat ini adalah apakah kita mampu terus meningkatkan teknologi penemuan pengganti sumber daya yang lebih murah. Karena kita sudah berhasil selama 200 tahun yang lalu, tidak berarti kita akan terus berhasil. Inilah inti persoalan yang kita hadapi menyangkut sumber daya air global.
Tapi kita bisa menghindari krisis dengan melakukan penyesuaian teknik dan pengelolaan berikut ini.
Pertukaran air maya--jumlah air yang terwujud dalam menghasilkan suatu produk (biasanya pangan) di suatu tempat dan mengirimkannya ke tempat lain untuk dimanfaatkan. Langkah semacam ini membantu kawasan penerima tersebut menghemat airnya sendiri yang bisa digunakan untuk keperluan-keperluan lain yang memberikan nilai yang lebih tinggi.
Pelestarian air irigasi. Karena pertanian menghabiskan 75-90 persen dari semua air yang dikonsumsi di sebuah negara, perolehan 10 persen efisiensi akan menghemat sama banyaknya air yang digunakan di kota-kota dan industri-industri negara tersebut. Cara lainnya untuk meningkatkan efisiensi irigasi adalah dengan mengembangkan tanaman yang menghasilkan lebih banyak pangan dengan penggunaan air yang sama jumlahnya atau kurang. Penelitian mengenai bahan pangan genetically modified (GM) atau yang diubah secara genetik sudah sangat maju di negara-negara besar yang langka air, seperti Cina dan India.
Pemanfaatan teknologi desalinisasi. Perkembangan teknologi baru desalinisasi telah membawa ongkos per satuan desalinisasi air laut ke level sebanding dengan ongkos memperoleh air tawar dari sumber alami (sekitar US$ 0,05 per meter kubik).
Perluasan daur ulang air limbah. Daerah-daerah perkotaan biasanya membuang sekitar 85 persen dari intake air tawarnya sebagai limbah, sering ke dalam badan-badan air di sekitarnya. Air limbah ini dapat dijernihkan dan digunakan untuk mengganti air tanah yang terpakai. Teknologi sanitasi baru yang menggunakan sedikit air, seperti toilet kompos kering yang mampu memisahkan air seni, dapat juga mengurangi permintaan air perkotaan jika dikembangkan dengan baik.
Pengembangan kebijakan harga yang kreatif dalam penyediaan air dan pengolahan air limbah perkotaan. Perlindungan kesehatan manusia dan ekosistem sulit ditentukan harganya, karena ia merupakan bagian dari externalities yang terkait dengan pemanfaatan air. Namun, banyak pemanfaatan air bakal menyesuaikan diri dengan harga yang lebih efisien ini.
Walaupun menghindari krisis air global tidak mudah, kita punya kebijakan dan teknologi, yang jika diterapkan dengan baik dapat dengan aman memenuhi kebutuhan kita akan air beberapa dekade ke depan, bahkan di saat kita dihadapkan pada populasi yang semakin meningkat jumlahnya serta semakin makmur dan kaya.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/23/Opini/krn.20090323.160309.id.html
Berbagi Air, Berbagi Kehidupan
Tom Saptaatmaja, aktivis lingkungan, tinggal di Surabaya
World Water Day (WWD) atau Hari Air Sedunia, yang jatuh pada 22 Maret, sudah diperingati sejak 1993. Sejarahnya berawal ketika usulan Agenda 21 diterima dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-47 pada 22 Desember 1992 melalui Resolusi Nomor 147/1993. WWD tiap tahun mempunyai topik menarik. Topik WWD pada 2009: "Sharing Water, Sharing Opportunities" (Berbagi Air, Berbagi Peluang untuk Hidup).
Memang harus diakui, air memungkinkan segenap makhluk, termasuk manusia, bisa hidup. Tak berlebihan jika ada yang menyebut air adalah kehidupan. Tidak aneh, air punya tempat terhormat dalam berbagai peradaban dan agama. Dalam peradaban Cina, air adalah salah satu unsur dari lima unsur yang menghidupi dunia. Dalam kebudayaan Timur Tengah kuno, peran air diwujudkan dalam keberadaan Dewa Air, bahkan Sang Pencipta dikaitkan dengan air.
Dalam perspektif agama samawi, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, peran penting air sangat jelas, baik bagi keperluan ritual (berwudhu, baptis) maupun keperluan sehari-hari. Air termasuk yang paling awal diciptakan Tuhan, seperti diungkapkan dalam Kitab Kejadian. Air menghidupi, tapi juga dahsyat untuk menghancurkan kehidupan, seperti dalam kisah air bah Nabi Nuh.
Di Bali, ketika anak masih bayi, ia diselamati dengan upacara Ayusya, yaitu upacara untuk umur panjang bagi bayi itu. Pada telinga kanan, bapaknya mengucapkan mantra yang isinya menyatakan, antara lain, "air adalah lambang umur panjang, melalui Dewa Air manusia memohon kepada Tuhan agar anak itu dianugerahi umur yang panjang".
Namun, segenap makhluk hidup, termasuk manusia, terancam tidak bisa berumur panjang karena persediaan air tidak mencukupi lagi. Forum Air Sedunia yang baru membicarakan krisis air di Istanbul, Turki, pada 16 Maret 2009, banyak membeberkan kabar memprihatinkan. Populasi dunia saat ini lebih dari 6,5 miliar jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 9 miliar jiwa pada pertengahan abad ke-21. Ini berujung pada permintaan masif akan suplai air. Menurut Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), jumlah penduduk yang kekurangan air akan meningkat menjadi 3,9 miliar jiwa pada 2030.
Populasi melonjak, sedangkan persediaan sumber daya air justru menyusut. Secara global, pasokan air di seluruh dunia berkurang hampir sepertiganya dibanding pada 1970 ketika bumi baru dihuni 1,8 miliar penduduk. Kelangkaan air sungguh ironis dengan predikat bumi sebagai "Planet Air" lantaran 70 persen permukaan bumi tertutup air. Namun, sebagian besar air di bumi adalah air asin dan hanya sekitar 2,5 persen air tawar. Itu pun tidak sampai 1 persen yang bisa dikonsumsi. Untuk negeri kita saja, persediaan air kita sekitar 6 persen dari persediaan air dunia atau sekitar 21 persen persediaan air di Asia-Pasifik. Namun, krisis air tak bisa dihindari mengingat tingkat konsumsi air melonjak secara tajam, sedangkan ketersediaan air bersih terbatas, yaitu diperkirakan 15-35 persen per kapita per tahun.
Yang menyedihkan, di tengah kian susutnya persediaan air, beragam pencemaran dan kerusakan lingkungan justru kian memperparah krisis air, sehingga air menjadi tidak layak dikonsumsi. Berbagai bahan kimia beracun berbahaya atau B3 serta jenis logam berat, seperti merkuri, kadmium timbal, dan tembaga, jelas bisa memperpendek umur jika masuk ke tubuh kita. Di Surabaya, misalnya, air Kali Surabaya yang dijadikan bahan baku air minum sudah sangat parah tingkat pencemarannya. Bayangkan, kandungan logam berat jenis merkuri dan kadmium di Kali Surabaya sudah mencapai 100 kali lipat dari baku mutu yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 82 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Sementara itu, belum semua warga kita terlayani air bersih. Sekitar 72-100 juta warga kita di kota-kota besar, misalnya, belum terlayani air bersih. Di Jakarta, bakteri E.coli juga menjadi ancaman serius karena dipicu oleh sekitar 1 juta jamban atau septic tank--yang dibangun dengan jarak kurang dari 10 meter dari sumur. Padahal banyak warga Jakarta minum dari sumur. Jika kondisi ini dibiarkan, akan semakin banyak jatuh korban. Pasalnya, tanpa air yang memenuhi standar kesehatan, kita jelas menghadapi ancaman kematian akibat berbagai penyakit, seperti diare. Menurut data Direktorat Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, sejak 2001, angka kematian akibat diare di negeri ini mencapai 23 per 100 ribu penduduk, termasuk tertinggi di dunia, setelah India.
Konyolnya lagi, kadang regulasi yang dibuat justru menjadi bumerang. UU No.7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air, yang banyak ditentang para aktivis lingkungan dan agamawan, justru diyakini sebagai perusak dan memberi legitimasi bagi eksploitasi alam dan kian memperparah krisis air. Sayang, isu air ini tampaknya selalu tersisih oleh isu-isu besar lain, seperti politik. Calon presiden atau partai politik kaya bisa beriklan miliaran rupiah, tapi tak ada yang peduli kepada warga yang kekurangan air. Konyolnya lagi, di musim kampanye ini, banyak calon legislator atau calon presiden lebih menomorsatukan kekuasaan daripada isu ekologis seperti air. Seharusnya para politikus memahami pentingnya mengaplikasikan green politics yakni gerakan politik yang sadar ekologi seperti diungkapkan Harlene Spretnak dalam The Spiritual Dimension of Green Politics.
Terkait dengan krisis air, Jared Diamond dalam tulisannya, Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005), sudah mengingatkan, jika suatu bangsa tidak segera menyadari krisis ekologi yang tengah berlangsung (katakanlah seperti krisis air), bangsa itu bisa lenyap di bumi, sebagaimana bangsa-bangsa yang pernah berjaya pada masa silam, tapi kini hanya tinggal nama. Melihat gawatnya krisis air ini, segenap anak bangsa yang berbeda partai politik atau agama seharusnya segera berkoalisi. Bukan untuk berebut kursi kekuasaan, melainkan guna meminimalkan dampak krisis air ini. Jangan sampai kita berebut kekuasaan atau klaim kebenaran, tapi tiba-tiba kita mati semua gara-gara tidak ada air untuk dikonsumsi. WWD menjadi momentum untuk menggugah kesadaran bahwa krisis air sebenarnya lebih gawat daripada krisis keuangan global. Tak ada uang, manusia bisa hidup. Tapi, walau banyak uang tanpa ada air, uang itu tidak bisa dipakai membeli air dan hidup kita dipastikan segera berakhir.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/23/Opini/krn.20090323.160310.id.html
Krisis Global Air
Written By gusdurian on Senin, 23 Maret 2009 | 13.01
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar