BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kekhawatiran Parpol atas PT

Kekhawatiran Parpol atas PT

Written By gusdurian on Selasa, 31 Maret 2009 | 11.37

Kekhawatiran Parpol atas PT

Oleh Moch. Nurhasim *

Para pimpinan parpol yang tergabung dalam Forum Komunikasi 27 Partai Politik meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menunda parliamentary threshold (PT) -Jawa Pos, 29/3/09.

Alasan mereka meminta perppu karena menganggap PT sebagai bentuk korupsi dan pengkhianatan suara rakyat.

Benarkah jika PT diberlakukan akan menimbulkan kerawanan sosial-politik pasca Pemilu Legislatif 2009?

Posifit Negatif PT

Permintaan Forum Komunikasi 27 Parpol untuk meminta perppu merupakan hal yang wajar. Sebab, Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan judicial review pasal 202 UU No 10/2008.

Masalahnya, bukankah di antara 27 parpol tersebut ikut serta dalam merancang RUU Pemilihan Umum Legislatif. Lalu, mengapa mereka meminta PT diberlakukan pada 2014? Mengenai hal itu, kekhawatiran parpol yang tergabung dalam Forum Komunikasi 27 Parpol tersebut terkait beberapa hal.

Pertama, mereka khawatir tidak lolos ambang batas 2,5 persen. Jika sebagian besar partai peserta Pemilu Legislatif 2009 tidak lolos, besar kemungkinan suara mereka yang hilang untuk DPR sangat banyak.

Kedua, adanya missing link di antara partai yang memiliki dukungan politik di daerah, tetapi mereka tidak memiliki perwakilan di parlemen pusat. Hal itu sangat mungkin terjadi. Sebab, dengan sistem Pemilu 2009 yang berlaku, khususnya dengan adanya PT, partai yang tidak lolos ambang batas 2,5 persen masih diikutkan dalam penghitungan kursi DPRD provinsi, kabupaten, dan kota.

Hal itu tentu dikhawatirkan akan terjadi missing link dalam memperjuangkan suara dan kepentingan rakyat ketika partai yang memiliki basis dukungan politik di daerah tidak memiliki perwakilan di tingkat pusat.

Di antara dua sisi negatif adanya ambang batas 2,5 persen tersebut, sisi negatif pertama yang memang sering menimbulkan perdebatan. Sebab, prinsip dasar sistem proporsional sesungguhnya tidak mengenal istilah ''suara hilang''. Sekecil apa pun suara akan dihargai dan berharga dalam sistem proporsional.

Dengan adanya ambang batas 2,5 persen, tentu kita tidak menganut lagi prinsip sistem proporsional murni, tetapi campuran. Letak campuran sistem pemilu kita sudah dimulai pada Pemilu 1999, yang disebut sebagai sistem hybrid, atau sistem ala Indonesia, yang mencampurkan antara prinsip-prinsip proporsional dan distrik.

Letak pencampuran itu adalah diperkenalkannya daerah pemilihan (dapil) yang sempit yang menganut sebagian prinsip distrik. Saat ini Pemilu 2009 memperkenalkan PT yang menyebabkan adanya suara hilang.

Di balik kelemahan PT dan implikasi negatifnya, gagasan PT yang disetujui di antara 27 partai tersebut sebenarnya untuk membenahi kelemahan mendasar dari kombinasi sistem multipartai dengan sistem presidensial yang kita anut.

Sistem multipartai menghasilkan konvergensi politik yang rapuh di parlemen. Sementara sistem presidensial yang dipilih secara langsung memungkinkan presiden terpilih berasal dari partai kecil. Kombinasi keduanya akan melahirkan pemerintahan yang tidak efisien dan stabilitas politik yang rendah.

Agar konvergensi dan perbedaan kepentingan politik tidak tajam di parlemen (DPR), perlu ada pembatasan. Pembatasan partai peserta pemilu gagal dilakukan karena UU kepartaian yang baru tidak mungkin dapat melakukan pembatasan tersebut.

Karena itu, hampir semua partai yang membahas RUU Pemilu Legislatif 2009 menyepakati adanya PT sebagai saringan akhir agar partai yang lolos di parlemen tidak terlalu banyak. Ada dua tujuan, menurut saya, pada waktu itu. YAkni, agar sistem politik kita kuat dan presiden terpilih pada Pemilu 2009 dirancang agar memiliki basis yang memadai secara politik. Idealnya ada hubungan antara PT dan syarat pencalonan presiden.

Sayang, antara UU No 10/2008 dan No 42/2008 cenderung jalan sendiri-sendiri. Gagasan PT (2,5 persen) tidak selaras dengan batas minimal persyaratan calon presien (20 persen kursi dan 25 persen suara sah nasional) dalam UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung.

Apa dampaknya? Partai-partai yang tidak memiliki wakil mereka di DPR, jika bergabung dan memenuhi syarat 25 persen suara sah nasional, dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden. Tidak bisa dibayangkan bila calon dari mereka terpilih, presiden kita secara riil tidak memiliki basis dukungan politik di parlemen. Tentu hal itu dapat menimbulkan kekacauan politik di tingkat nasional.

Buah Simalakama

UU No 10/2008 yang dirancang dengan penuh kompromi politik pada akhirnya menjebak partai-partai yang dahulu ikut menyusun. Jebakan itu adalah, pertama, inkonsisten prinsip proporsional yang dikombinasikan dengan sistem distrik yang setengah-setengah. Kita sesungguhnya menganut sistem proporsional yang terlalu dimodifikasi dan syarat dengan kompromi politik yang justru merusak hakikat dari suara rakyat.

Kedua, partai politik -yang sejak semula merancang sistem proporsional terbuka, namun dalam praktiknya ''tertutup'' dengan batasan-batasan penentuan calon terpilih- akhirnya kalang kabut ketika pasal 214 UU No 10/2008 dibatalkan MK. Ketika prinsip penentuan calon terpilih dikembalikan ke mekansime suara terbanyak, partai-partai politik menjadi kelimpungan.

Begitu halnya dengan lolosnya pasal parliamentary threshold, sekarang PT menjadi buah simalakama bagi partai. Partai yang sudah ngos-ngosan, dana yang begitu besar dikeluarkan, utang caleg sudah banyak, tetapi hasilnya belum tentu lolos ambang batas 2,5 persen. Nah, Lho!

*. Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta, penyunting buku: Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, 2009

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=60364
Share this article :

0 komentar: