Kabar Buruk dari Kopenhagen
Oleh Goei Tiong Ann Jr *
Para ilmuwan yang hadir membahas perubahan iklim di Kopenhagen (10-15 Maret 2009) mengatakan, permukaan air laut bisa naik lebih dari satu meter pada 2100. Jelas, kenaikan itu berdampak sangat serius. Sepuluh persen penduduk dunia, atau sekitar 600 juta jiwa, hidup di kawasan rendah, termasuk negeri kita (Jawa Pos 12 Maret 2009).
Memang KTT puncak tentang Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen baru akan digelar Desember akhr tahun ini. Jadi, pertemuan para ilmuwan tersebut masih merupakan pemanasan.
Meski pemanasan, banyak kabar buruk yang disampaikan, termasuk untuk kita. Kabar buruk itu memang sengaja diberi aksentuasi sebagai bekal untuk negosiasi politik agar masyarakat dunia, khususnya para penguasa, benar-benar sadar bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu yang direkayasa para ahli.
Dalam konteks negeri kita, boleh jadi, banyak orang masih sangsi akan kenyataan bahwa iklim telah berubah. Padahal, kalau melihat curah hujan yang begitu hebat dalam musim hujan kali ini sehingga menimbulkan banjir di mana-mana, pemicu utamanya jelas perubahan iklim.
Beragam Penyakit
Kalau masih ada yang sangsi dengan benar tidaknya perubahan iklim, simak saja berbagai penyakit yang juga tengah marak melanda. Salah satunya adalah demam berdarah. Sejak Februari hingga Maret 2009, hampir tiap hari dilaporkan ada pasien demam berdarah yang dirawat di berbagai rumah sakit, termasuk di Surabaya. Bukan bermaksud latah mengikuti apa yang terjadi di Kopenhagen, tapi sudah pasti demam berdarah merupakan penyakit yang dipicu oleh perubahan iklim.
Seperti diketahui, perubahan iklim disebabkan pemanasan global sebagai dampak emisi CO2 (karbon) yang banyak dihasilkan negara-negara maju. Jika diibaratkan raksasa, perubahan iklim adalah Rahwana atau Dasa Muka yang memiliki banyak wajah dan masing-masing wajah memiliki perangai sendiri. Demikian pula perubahan iklim yang multidimensional sifatnya. Salah satu dimensinya adalah menyebabkan penyakit.
Para ahli kesehatan di level dunia maupun dalam negeri sudah beberapa kali mengingatkan tentang itu. Para ahli sudah menyadari kenaikan suhu bumi (global warming) yang memicu terjadinya perubahan iklim bisa meningkatkan angka kasus penyakit dengan vektor nyamuk, seperti malaria, demam berdarah, chikungunya, Japanese encephalitis (radang otak), dan filariasis lantaran perubahan bionomik nyamuk.
Cuma anehnya, adanya perubahan iklim dan pemanasan global masih direspons dingin oleh mayoritas masyarakat kita. Bagi kita yang masih skeptis apakah perubahan iklim itu fiktif atau fakta, mari kita cermati berbagai fenomena alam. Misalnya, hujan es di Gresik, berbagai kasus angin puting beliung, dan tenggelamnya pulau-pulau kecil di dekat Sumenep adalah indikasi bahwa perubahan iklim yang dipicu pemanasan global sesungguhnya tengah berlangsung.
Jangan Sibuk Politik
Aneh pula, di tengah musim hujan, kadang suhu juga terasa amat gerah. Apalagi di musim kemarau yang sudah di depan mata, sudah pasti akan lebih panas lagi. Jujur saja, memang ada kenaikan suhu bumi seperti pernah diprediksi para ahli pada tahun 1990-an.
Sebuah lembaga studi di AS, yaitu GISS (Goddart Institute for Space Studies), melakukan prediksi pemanasan bumi dengan membuat simulasi perubahan gas GRK. Dampak emisi GRK ini menyebabkan pemanasan global secara umum akan berubah sekitar 0,4C sampai 2,24C. Prakiraan untuk Indonesia, yang 21 titik datanya terwakili dalam permodelan itu, diperkirakan terjadi kenaikan suhu sekitar 1.0-1.4% dan kenaikan permukaan laut setinggi 0.6-1.46 meter per 10 tahun sekali sejak simulasi itu dibuat, 21 tahun yang lalu.
Yang penting lagi, jika dikalkulasi, ancaman perubahan iklim sebenarnya juga bisa mendongkrak angka kemiskinan. Orang sakit seperti demam berdarah, misalnya, pasti menguras tabungan atau harta milik mereka. Demikian pula warga yang rumahnya terkena banjir atau nelayan yang takut melaut karena rob (air laut pasang), jelas kian jadi miskin. Demikian pula petani yang terpaksa memanen padinya karena telanjur terendam banjir, pasti akan jadi miskin.
Karena itu, untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, seharusnya para pengambil kebijakan di tingkat daerah segera bertindak. Bukan hanya bergantung kepada pemerintah pusat yang lebih sibuk menyukseskan agenda politik masing-masing di Pileg dan Pilpres 2009.
Pileg dan Pilpres 2009 memang penting maknanya dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Tapi, jangan hanya sibuk mengurus masalah politik semata, lalu abai persoalan yang lebih krusial seperti perubahan iklim. Para caleg atau capres seharusnya juga mengampanyekan kesadaran ekologis untuk mengantisipasi perubahan iklim.
Kadang saya geli membaca banyak parpol dan capres punya program pemberantasan kemiskinan, tapi tak ada satu pun yang melihat kaitannya dengan perubahan iklim. Indonesia memang lambat dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, sebagaimana diungkapkan para aktivis lingkungan. Bagaimana kita punya respons atau strategi tepat menghadapi perubahan iklim kalau kesadaran atau persepsi akan perubahan iklim saja sudah tidak punya?
* Goei Tiong Ann Jr, rohaniwan dan aktivis lingkungan, menetap di Roma, Italia
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=57032
Kabar Buruk dari Kopenhagen
Written By gusdurian on Minggu, 15 Maret 2009 | 14.19
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar