BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Hukum Versus Politik Dalam Kasus Irjen Herman

Hukum Versus Politik Dalam Kasus Irjen Herman

Written By gusdurian on Senin, 23 Maret 2009 | 12.31

Hukum Versus Politik Dalam Kasus Irjen Herman


oleh Edy M Ya,kub

Surabaya (ANTARA News) - Bertugas selama tiga tahun dua bulan sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur hingga 19 Februari 2009 agaknya membuat Irjen Pol Herman S Sumawiredja begitu mencintai "arek" Jatim.

Kecintaan itu terlihat dari puisi "Mohon Pamit" yang dibacakan di hadapan puluhan wartawan saat berpamitan di Mapolda Jatim (18/2).

Irjen Herman pun membacakan bait-bait puisi bertajuk "Mohon Pamit" itu :

..........

Desember 2005 aku datang, Kali pertama di Tanah Pahlawan.

Tapi aku bukanlah pahlawan itu, Aku hanyalah penjaga Tugu Pahlawan,

Yang menyapu debu pada dindingnya... Memastikan ia tetap tegak di sana

..........

Semula kulakukan itu karena tugas, Kusadari kini kulakukan itu karena cinta,

Cinta pada Arek Suroboyo... Arek Malang dan Arek-Arek lainnya

..........

Keberhasilan itu pastilah milik anak buahku, Kekurangan itu pastilah tanggung jawabku

Waktuku terbatas, kawan.... Mohon pamit

Terimakasih atas segala kerja sama, Maaf atas segalang kekurangan

..........

Tentang puisi yang mendapat applaus para wartawan itu, ia mengaku dirinya memang "jatuh cinta" kepada masyarakat Jawa Timur yang dinilainya sangat dinamis dan fair.

"Sebagai orang Sunda, saya melihat masyarakat Jawa Timur itu dinamis dan fair. Kalau ada masalah, mereka mudah didekati dan bila dijelaskan secara rasional akan diterima dengan fair pula," katanya.

Kecintaan kepada "arek" Jatim itu ditunjukkan pula dengan melakukan apa saja untuk "arek" Jatim hingga mendekati akhir tugas, termasuk menetapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur, Wahyudi Purnomo, M.Phil, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Ulang di Bangkalan dan Sampang.

"Polisi tetap netral, tapi kami harus mencegah potensi kerusuhan yang lebih besar di masa mendatang, karena itu kami menindaklanjuti laporan tim Ka-Ji (Cagub Khofifah-Cawagub Mudjiono) secara profesional dan transparan," kata Kapolda Jatim Irjen Pol Herman S Sumawiredja di Surabaya (18/2/2009).

Menurut dia, pihaknya telah menindaklanjuti laporan tim Ka-Ji dan menemukan bukti permulaan yang cukup terkait dugaan pemalsuan DPT, sehingga memutuskan untuk melakukan penyidikan dengan tersangka sementara Ketua KPU Jatim, Wahyudi Purnomo M.Phil.

"Saya baru saja mengeluarkan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) tertanggal 18 Februari 2009 dengan tersangka Ketua KPU Jatim yang diduga melanggar pasal 115 ayat 1 dan 3 UU 32/2004 yang diubah dengan UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah," katanya.

Herman menyatakan penduduk Bangkalan mencapai 667.719 orang dan Sampang 576.900 orang, sehingga jumlah penduduk keseluruhan adalah 1.244.619 orang, tapi penduduk yang menggunakan hak pilih berjumlah 768.784 orang atau 61,77 persen.

"Laporan yang ada kami cross check dengan softcopy (data dalam bentuk file komputer) DPT, karena kami tidak dapat memperoleh DPT dari KPU setempat dengan alasan ada di PPK, ada di KPPS, dan KPPS pun ternyata menyimpan di rumah-rumah, padahal DPT itu `kan dokumen negara," katanya.

Hasil temuannya, dari 345.034 data pemilih yang dilaporkan ada dugaan menyimpang, ada kecocokan dengan softcopy yang ada sebanyak 128.390 data pemilih pada 368 DPT.

Ada tujuh model penyimpangan DPT, di antaranya NIK (nomer induk kependudukan) yang sama, nama yang sama, alamat yang sama, tanggal kelahiran yang sama, hingga anak-anak yang belum waktunya memilih, tapi justru masuk DPT.

"Dari 128.390 pemilih itu diteliti ulang akhirnya ditemukan 29.949 data pemilih yang data-nya nggak benar. Itu baru dari 368 DPT, padahal DPT untuk Bangkalan dan Sampang mencapai 2.768 DPT, sehingga dugaan pemalsuan DPT bisa di atas angka 29.949 pemilih," katanya.



Tidak terima

Namun, kepedulian dan rasa cinta Irjen Herman kepada "arek" Jatim itu akhirnya terantuk pernyataan Humas Mabes Polri dan Bareskrim Mabes Polri yang langsung "menganulir" penetapan tersangka Wahyudi Purnomo, sehingga Kapolda Jatim yang baru Brigjen Pol Anton Bachrul Alam pun "meng-amin-i."

"Belum, belum (tersangka), kasusnya masih kita dalami. Belum ada (alat bukti) yang mendukung, kasusnya masih kita pelajari dulu. Sekarang, masih lidik (penyelidikan atau belum penyidikan)," kata Brigjen Anton Bachrul Alam di Mapolda Jatim (27/2/2009).

Awalnya, perubahan status mantan Ketua KPU Jatim itu berjalan lancar, namun tiba-tiba muncul pernyataan Irjen Herman pada 17 Maret 2009 bahwa dirinya mengundurkan diri dari Polri, karena ia tidak terima bila kepalsuan dalam Pilkada Jatim 2008 dianggap sebagai kesalahan pendataan semata.

Sikap mundur Irjen Herman itu agaknya menunjukkan masalah hukum dalam kasus pemalsuan DPT Pilkada Jatim 2008 akhirnya masuh ranah politik, karena Irjen Herman juga menyebutkan adanya indikasi intervensi dalam kasus yang bergulir dalam hitungan waktu cukup pendek itu.

Masyarakat Jatim sendiri mengenal Irjen Herman cukup berprestasi selama menjabat Kapolda Jatim, di antaranya maklumat yang diterbitkan Irjen Herman untuk mengatur masalah pelayanan publik tanpa KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Selain itu, Irjen Herman juga melakukan pola rekruitmen calon bintara Polri regular dan Akpol dengan melibatkan LSM dan akademisi, sehingga cara itu akan menghindari praktik percaloan dalam penerimaan calon anggota Polri.

Namun, prestasi Irjen Herman dalam pengamanan Pilkada Jatim akhirnya terantuk dengan penganuliran status tersangka, kendati Pilkada Jatim seharusnya menjadi urusan Polda Jatim sebagai penanggungjawab keamanan Pilkada Jatim.

Ranah politik itu pun akhirnya berkembang kemana-mana hingga terlihat dari "pemanggilan" Irjen Herman oleh beberapa pimpinan partai politik (parpol), seperti Megawati, Wiranto, Prabowo, dan Jusuf Kalla. Mereka khawatir kecurangan DPT di Jatim merebak ke daerah-daerah lain saat pemilu.

Perkembangan situasi pun membuat Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri bertekad untuk mengembalikan berkas laporan Panwaslu Jawa Timur yang melaporkan adanya daftar pemilih tetap (DPT) palsu dalam Pilkada Jawa Timur untuk dilengkapi.

"Kapolda Jatim akan kembalikan berkas untuk dilengkapi dengan barang bukti," katanya dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan (20/3/2009), yang didampingi Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, Ketua Panwaslu Jatim, Ketua KPU dan Panwaslu dari Kabupaten Sampang dan Bangkalan dan Aspidum Kejati Jatim.

Ia mengatakan, pengembalikan berkas itu akan dilakukan sebab sejak dilaporkan 9 Pebruari 2009 lalu, Panwaslu belum menyerahkan barang bukti dan hanya menyerahkan fotokopi DPT yang diragukan validitasnya, mengingat fotokopi DPT itu tidak ditandatangani pejabat yang berwenang.

"Penanganan pidana dalam Pilkada Jawa Timur putaran tiga di Polda Jawa Timur masih dalam penelitian sebab bukti awal tidak cukup kuat. Panwaslu Jatim belum menyerahkan dokumen asli sebagai syarat mutlak untuk memulai penyidikan. Penyidik tidak bisa menyidik kalau hanya berdasarkan dokumen yang yang difotokopi," katanya.

Dalam kesempatan itu, Kapolri juga menegaskan, dalam penanganan kasus itu, Polda Jawa Timur tidak diintervensi oleh Mabes Polri sehingga menyebabkan ada tersangka yang kemudian menjadi saksi.

"Tidak ada intervensi dari kami sebab penyidikan memang belum ada. Bahkan belum ada satu pun saksi yang diperiksa. Kalau Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji turun ke Jawa Timut itu bukan intervensi tapi supervisi," katanya.

Agaknya, kata-kata intervensi dan supervisi itulah yang menunjukkan pertarungan antara faktor yuridis (hukum) dan faktor politis dalam kasus pengunduran diri Irjen Herman S Sumawiredja dan keanggotaan Polri, namun perkembangan situasi yang akan menjawab, apakah supervisi yang dimaksud itu intervensi atau tidak. (*)

COPYRIGHT © 2009



http://antara.co.id/arc/2009/3/21/hukum-versus-politik-dalam-kasus-irjen-herman/
Share this article :

0 komentar: