BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Calon Presiden dan ‘New Media’

Calon Presiden dan ‘New Media’

Written By gusdurian on Sabtu, 21 Maret 2009 | 13.43

Calon Presiden dan ‘New Media’
Lily Yulianti Farid, penulis, aktif mengembangkan citizen journalism

I even have read those messages that have started with a sentence like "I know that the president is not going to read this message..."

(Blog Mahmud Ahmadinejad)

Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad mengumumkan peluncuran blognya pada 14 Agustus 2006, dan laporan media menyebutkan partisipasi di online voting blog tersebut melampaui angka 12 ribu di hari pertama. Dan ketika berita ini tersebar ke seluruh penjuru dunia, banyak yang mengeluh tak bisa mengakses blog tersebut saking padatnya kunjungan warga maya (netizen).

Keputusan tokoh dunia yang kencang mengkritik Amerika Serikat dan Barat ini untuk menyapa dunia melalui blog memang menjadi berita di kala itu. Ada yang memuji, tapi tak sedikit yang mengkritik, bahkan mencurigai. Aktivis hak asasi manusia di Barat yang mengecam kontrol ketat atas media di Iran, termasuk terhadap blogger, mencibir dan mengatakan blog Ahmadinejad itu propaganda terselubung rezim yang dipimpinnya.

Meski tak banyak tulisan yang di-posting oleh Ahmadinejad dalam tiga tahun terakhir dan bahkan tak ada artikel sepanjang 2008, ia setidaknya telah menunjukkan upaya komunikasi personal kepada dunia. Blog yang tersaji dalam empat bahasa--Persia, Arab, Inggris, dan Prancis--itu diawali dengan biografi panjang. Ketika respons pengunjung memuncak, sementara hasil posting-nya semakin gersang, Ahmadinejad menjelaskan bahwa ia tetap teguh pada janjinya meluangkan waktu 15 menit per minggu (ya betul, hanya 15 menit per minggu!) memeriksa semua pesan. Ia dibantu sejumlah mahasiswa melakukan tabulasi pesan yang disebutnya sebagai masukan penting yang perlu ditindaklanjuti.

Dengan alokasi waktu yang superminim untuk memelihara blognya, di pengujung 2007 Ahmadinejad mengumumkan bahwa ia memutuskan untuk memanfaatkan waktu itu membaca pesan yang masuk daripada menulis posting baru. "Semua pesan saya baca, termasuk pesan yang dibuka dengan kalimat 'saya tahu bahwa Presiden tidak akan membaca pesan ini’.”

Blog ini sudah lama tidak diperbarui, tapi Ahmadinejad menangguk untung: pesan tetap terus mengalir dan ia memiliki "kolam ide" berkat komentar dari segala penjuru dunia. Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat diikuti aktivitasnya di situs www.presidensby.info. Tapi ini media resmi, bukan sebuah kanal komunikasi yang didesain agar sang Presiden bisa bercakap-cakap secara lebih personal dengan publik. Yang jadi berita heboh pekan ini justru blog sang Wakil Presiden, Jusuf Kalla, yang sejak Rabu lalu (4 Maret) mengisi lahan blogger tamu Kompasiana. Posting pertama berjudul “Assalamu Alaikum”, tulisan dua paragraf sebagai salam pembuka, yang langsung disambut riuh komentar pembaca. Beberapa jam sebelumnya, Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto juga menulis blog di Kompasiana. Posting pertama Prabowo berjudul "Pengalaman Singkat Saya Bermilis" ditayangkan di laman public blogger. Ia pun juga panen puluhan komentar dan meroket sebagai salah satu tulisan terpopuler.

Respons yang tumpah-ruah bagi Kalla dan Prabowo bukan hal yang mengejutkan. Pejabat, politikus, dan newsmaker lainnya yang memutuskan membuat media personal pastilah menarik perhatian. Publik ingin tahu, bagaimana sosok yang selama ini diberitakan kini mengabarkan diri atau menyajikan pikirannya sendiri. Bagi sang tokoh, membuktikan bahwa tulisan itu karya sendiri adalah tantangan awal untuk menumbuhkan kepercayaan audiens, meski tentunya agak sulit meyakinkan audiens bahwa calon presiden dan wakil presiden yang supersibuk bakal punya waktu membaca semua komentar.

Perilaku warga maya, menurut Dan Gillmor dalam We the Media (2004), adalah cerminan rakyat "dunia nyata" yang bila memiliki akses berdialog dengan tokoh publik akan memanfaatkan peluang itu sebaik-baiknya. Yang membedakannya adalah rakyat dunia maya merupakan audiens yang bisa langsung merespons secara kritis dan menempatkan diri setara dengan siapa saja. Mereka adalah representasi warga yang sadar akan haknya dan tak mudah digiring untuk percaya terhadap suatu pandangan.

Gelombang new media tak pelak menuntut perubahan model komunikasi pejabat pemerintah, politikus, korporat, dan media mainstream, empat elemen yang selama ini menguasai kanal informasi dan publikasi. Sekarang ada arus new media, yakni orang-orang biasa yang aktif bercakap di dunia virtual melalui media alternatif yang mereka ciptakan dan isi sendiri. Topik yang mereka bahas terbentang dari hal terpenting hingga yang paling remeh, termasuk kiprah penguasa dan politikus korup, perusahaan yang menipu konsumen, dan media besar yang kehilangan independensi. Suara warga dunia maya ini begitu kencang.

Pada Pemilu 2009, peran new media jelas semakin signifikan. Preseden gemilang telah dicatat Barack Obama dalam pemilihan presiden AS, ketika barisan pendukung dan relawan yang direngkuhnya tumbuh pesat berkat web-based organizing campaigns. Di Tanah Air, politikus ramai-ramai mengikuti jejak Obama, merambah blog, serta SNS (social network system), seperti Facebook dan Youtube. Tak cukup beriklan di media mainstream, tim komunikasi calon legislator dan calon presiden pun terjun ke media alternatif.

Sayangnya, penguasa dan politikus yang terbiasa dirubung staf itu banyak yang terlambat menyadari kekuatan media baru ini. Bagi Jusuf Kalla, Prabowo, atau calon presiden lainnya, menemui publik lewat blog merupakan hal yang penting mengingat bahwa netizen memiliki ekspektasi untuk menemukan the real you, sosok yang mendengarkan dan meladeni percakapan yang dinamis dan kritis, tanpa mendelegasikannya. Ini merepotkan, tapi tak mustahil, meski hanya 15 menit sepekan, seperti yang pernah dilakukan Ahmadinejad. *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/21/Opini/krn.20090321.160188.id.html
Share this article :

0 komentar: