BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Buku Sintong dan Pelajaran Mandela

Buku Sintong dan Pelajaran Mandela

Written By gusdurian on Kamis, 19 Maret 2009 | 14.06

Buku Sintong dan Pelajaran Mandela
Endang Suryadinata, peminat sejarah Indonesia-Belanda, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

Publik kita hari-hari ini tengah menikmati kontroversi yang mencuat dari buku baru Letjen (Purn.) Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Buku itu membuat suhu politik negeri ini kian panas menjelang Pemilu 2009.

Seperti diketahui, dalam otobiografinya itu Sintong banyak membeberkan beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa silam, seperti kasus Santa Cruz di Dili, Timor Timur, penculikan aktivis pada 1997- 1998, dan tragedi Mei, yang semuanya melibatkan TNI sebagai institusi.

Tentang kasus penghilangan paksa, misalnya, buku Sintong mengungkapkan posisi mantan Komandan Jenderal Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto dan keterlibatan Tim Mawar. Respons pun bermunculan. Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerakan Indonesia Raya yakin bahwa sejumlah pihak bertujuan melancarkan kampanye negatif atas calon presiden usungan Partai Gerakan Indonesia Raya, Prabowo Subianto. Sebaliknya, meski belum membaca buku setebal 520 halaman itu, Presiden SBY langsung memberikan apresiasi. Menurut SBY, pasti Sintong punya data akurat, apalagi Sintong termasuk saksi sejarah atas sebagian besar peristiwa masa silam yang telah ditulisnya (Jawa Pos, 16 Maret 2009).

Lepas dari keuntungan politik yang entah menguntungkan siapa, dari polemik buku Sintong kita sebenarnya bisa membaca bahwa masih banyak peristiwa masa lalu, seperti tragedi Mei 1998, yang ternyata belum kita tuntaskan dalam bentuk rekonsiliasi yang final seperti telah dilakukan Afrika Selatan. Kita terus membiarkan persoalan pelanggaran hak asasi masa lalu menggantung dalam dendam tanpa penuntasan. Yang memprihatinkan, di balik dendam dan derita yang dialami para korban pelanggaran HAM, justru ada politikus yang bisa mengeruk keuntungan politik demi popularitas dirinya. Buntutnya, di pucuk pimpinan atau elite pemimpin bangsa, dendam juga kian menyebar.

Ironisnya, banyak orang langsung lebih berfokus pada Prabowo sebagai korban buku Sintong, bukan memikirkan derita para korban pelanggaran masa silam, seperti tragedi Mei 1998, yang disebutkan dalam buku Sintong. Tak mengherankan, dendam kian memecah-belah manusia-manusia di negeri ini, dari tampuk pemimpin tertinggi negeri ini hingga rakyat jelata. Generasi baru yang tak tahu apa-apa tentang peristiwa masa lalu, seperti 1965 atau 1998, kini ikut-ikutan mewarisi dan mencoba melestarikan dendam, apalagi bila mereka menjadi pendukung partai politik yang berbeda.

Untuk itulah negeri ini butuh kekuatan besar untuk menyelesaikan segala dendam kesumat dari masa silam. Seharusnya generasi saat ini tidak bisa dipecah-belah lagi. Kita semua seharusnya menjadi kekuatan yang menjadi inspirasi untuk mengakhiri segala bentuk dendam lewat rekonsiliasi. Kalau kita membuka kembali sastra-sastra klasik warisan para leluhur kita, sebenarnya tak ada yang mengajarkan dendam. Dalam kitab Wanaparwa, yang pertama kali penulis baca di perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde), yang merupakan pusat dokumentasi terbesar di dunia (www.kitlv.knaw.nl), ada sebuah dialog menarik antara Drupadi, istri Yudhistira, dan sang suami, setelah Pandawa kalah judi oleh Kurawa dan harus dibuang di hutan selama 12 tahun. Merasa jengkel dengan kelicikan dan kecurangan para Kurawa, Drupadi memprovokasi Yudhistira: "Tuanku seorang kesatria atau bukan? Apakah kesatria harus memaafkan musuh?"

Anehnya, Yudhistira memberi jawaban amat menyentuh, yang layak untuk kita refleksikan: "Kebencian adalah kesia-siaan. Apa jadinya kalau hinaan dibalas hinaan dan kebencian dengan kebencian. Memaafkan adalah pengorbanan. Memaafkan adalah adat-istiadat kita. Memaafkan adalah kebenaran dan penebusan dosa. Jangan membujukku untuk tidak memaafkan. Karena memaafkan adalah kebijakan orang arif dan wujud nyata dari kemenangan atas kebencian."

Berbagai karut-marut bangsa ini sebenarnya bisa dicari akarnya pada dendam yang masih kuat bercokol dalam hati, dari level elite hingga rakyat jelata. Membebaskan bangsa ini dari dendam masa silam adalah tugas yang mendesak untuk kita selesaikan. Jadi kita seharusnya bisa menjadi kekuatan untuk pembebasan, termasuk pembebasan dari dendam. Dengan demikian, kita akan bisa melihat masyarakat yang mau belajar saling memaafkan. Nelson Mandela, sosok sukses yang bisa mengakhiri dendam di negaranya (Afrika Selatan), sering menyampaikan pesan agar siapa pun mau menjadi kekuatan penyembuh bagi masyarakat yang terluka akibat dendam masa silam.

Seperti kita tahu, Mandela adalah korban kebiadaban sistem apartheid, tetapi dia akhirnya dikenal sebagai sosok pemenang karena berani mengasihi dan mengampuni rezim yang pernah menindasnya. Bayangkan, dia sudah dipenjara selama 27 tahun dari 1963 sampai 1990. Dalam bukunya, Long Walk to Freedom, Mandela menulis: "Aku ingin Afrika Selatan melihat bahwa aku mencintai musuh-musuhku, sementara aku membenci sistem yang menyebabkan kita bermusuhan." Dengan spirit kasih seperti itu, Mandela berhasil mewujudkan cita-cita rekonsiliasi di negerinya, Afrika Selatan. Betapa indahnya jika di negeri yang memproduksi batik yang digemari Mandela ini juga akan banyak sosok yang mau memakai spirit Mandela untuk berani mengampuni.

Akhirnya, kalau kita tidak berani memaafkan dan menghapus dendam, Tocqueville (1805-1859) sudah memberi peringatan. Dalam bukunya Democracy in America, dia mengingatkan: "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, manusia mengelana di tengah kabut." Buku Sintong seharusnya bukan menerbitkan dendam baru, melainkan menjadi momentum bagi penegakan HAM sekaligus momentum mewujudkan rekonsiliasi. *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/19/Opini/krn.20090319.159965.id.html
Share this article :

0 komentar: