BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Teori Evolusi pun Berevolusi

Teori Evolusi pun Berevolusi

Written By gusdurian on Selasa, 24 Februari 2009 | 12.41

Teori Evolusi pun Berevolusi
Dian R. Basuki, PEMINAT ISU-ISU SAINS

Jean-Baptis Lamarck menerbitkan karyanya, Zoological Philosophy, bersamaan dengan tahun kelahiran Charles Darwin, 1809. Memang, karya Lamarck mendahului setengah abad dibanding publikasi karya Darwin, On the Origin of Species. Ketika Darwin baru lahir, orang Prancis ini sudah berpendapat bahwa hewan, burung, dan ikan akan berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi tempat mereka hidup. Hewan-hewan ini menggunakan sebagian organ mereka (karena itu organ ini menjadi kuat) dan kurang menggunakan sebagian organ yang lain (karena itu organ ini menjadi lemah). Prinsip use and disuse ini menjadi pokok pikiran pertama Lamarck.

Lamarck juga berpendapat, hewan-hewan akan meneruskan karakteristik yang diperolehnya sebagai akibat penyesuaian diri dengan lingkungannya ini (acquired characteristics) kepada keturunannya. Ketika jerapah “dipaksa lingkungannya” untuk menjulurkan lehernya guna meraih daun-daun di dahan yang tinggi, keturunan jerapah ini akan dilahirkan dengan leher yang lebih panjang.

Darwin, yang tidak nyaman dengan adaptasi yang tercipta dengan sendirinya ala Lamarck, mengajukan pandangan yang berbeda. Menurut dia, jerapah mempunyai leher panjang bukan karena terpaksa menjulurkannya, melainkan karena sebagian jerapah lahir dengan leher lebih panjang dari jerapah yang lain. Semakin panjang lehernya, semakin besar peluang jerapah itu untuk mendapatkan makanan. Lantaran itulah jerapah berleher panjang lebih mampu bertahan hidup.

Mengapa ada jerapah yang berleher lebih panjang? Ini adalah salah satu konsekuensi dari ciri khas makhluk hidup: variasi dalam keturunan. Genetika modern, yang berutang budi pada Gregor Mendel, menampik pandangan Lamarck dan menjelaskan konsep variasi Darwinian sebagai mutasi genetik yang berlangsung acak. Hasil mutasi yang lebih sesuai dengan lingkungan akan lebih mampu bertahan.

Sejak masa Darwin, dan terutama pada 1930-an, teori evolusi telah mengalami modifikasi dan penajaman melalui pengetahuan mengenai mekanisme pewarisan, gen, dan mutasi. Ronald Aylmer Fisher, ahli statistik dan genetika Inggris, pada 1930 menunjukkan bahwa genetika Mendelian menyediakan mekanisme yang diperlukan untuk evolusi melalui seleksi alam. Bahwa kemudian ada yang berpandangan gensentris, seperti Richard Dawkins, ini mesti dipandang sebagai salah satu varian dari neo-Darwinis—sebagian ilmuwan malah menyebut Dawkins sebagai ultra-Darwinis karena menentang pandangan apa pun yang berlawanan dengan pandangan Darwin.

Dengan berfokus pada gen, seperti ia tuturkan dengan begitu retoris dalam The Selfish Genes (1976), Dawkins dianggap oleh pelopor sosiobiologi Edward O. Wilson telah mematikan ide seleksi kelompok secara prematur. Gen yang tidak mampu mereplikasi diri, kata Dawkins, berarti gagal berevolusi. Pandangan reduksionis Dawkins ini dikritik oleh Lynn Margulis, yang mengajukan konsep simbiosis yang menghargai sejenis Lamarckisme. Melalui simbiosis, satu organisme secara genetis bisa menyerap atau menembus organisme lain dan dengan begitu menjadi lebih cocok dengan alam. Sebagai contoh, jika jamur tembus cahaya menyerap alga yang bisa berfotosintesis, jamur itu akan memiliki kemampuan fotosintesis pula, yang kemudian akan diteruskan kepada keturunannya.

Gagasan seleksi-kelompok yang “dikubur secara prematur” oleh Dawkins saat ini malah dianjurkan oleh Edward Wilson maupun David Sloan Wilson. Wilson-yang-pertama (keduanya bukan bersaudara) berangkat dari studinya yang telaten terhadap semut dan koloni semut. Begitu pula idenya tentang bagaimana spesies baru terbentuk (spesiasi) begitu lama tertutupi oleh pandangan Ernst Mayr bahwa kendala reproduksi, misalnya gunung, memaksa spesies untuk berpencar. Namun, sejumlah biolog kini berpaling kepada gagasan Darwin bahwa spesiasi paling sering terjadi melalui kompetisi di ruang-ruang terbuka. Sejumlah ilmuwan berpandangan bahwa seleksi berlangsung pada berbagai tingkat dalam hierarki kehidupan, dan bukan hanya pada tingkat gen.

Boleh jadi, menengok kembali kepada Darwin adalah upaya para ilmuwan untuk memahami secara lebih utuh pikiranpikirannya dikaitkan dengan berbagai kemajuan pengetahuan belakangan ini. Namun, untuk berpaling atau mengadopsi sebagian pandangan Lamarckisme masih membutuhkan konfirmasi yang lebih pasti.

Perkembangan teori evolusi memang semakin rumit ketika memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas dari biologi: studi psikologi Steven Pinker, sosiobiologi Wilson, neuroscience, pengetahuan yang mempelajari otak (brain science), bahasa, dan seterusnya.

Dalam pandangan Dawkins (A Devil’s Chaplain, 2003), acquired characteristics ala Lamarck secara prinsip dapat diwariskan hanya jika embriologi lebih bersifat preformationistic ketimbang epigenetic. Embriologi preformationistic adalah embriologi cetak biru yang bersifat dapat-dibalik (reversible).

Contohnya, jika Anda memiliki sebuah rumah, Anda bisa-dengan mengikuti aturan sederhana-merekonstruksi cetak birunya. Tapi, jika Anda mempunyai sepotong kue, tidak ada aturan yang memungkinkan Anda untuk merekonstruksi resepnya. Padahal semua makhluk hidup di planet ini tumbuh dengan mengikuti embriologi resep, bukan embriologi cetak biru.

Apakah ini berarti bahwa pengaruh lingkungan harus diabaikan dalam perkembangan evolusi? Ini merupakan perdebatan yang belum berakhir dalam waktu yang dekat ini: bagaimana gen dan lingkungan berpengaruh terhadap perkembangan makhluk hidup. Sebagian ilmuwan percaya bahwa lingkungan berpengaruh, tapi seperti apa mekanismenya? Kita juga tidak bisa mengatakan 20 persen karena faktor gen dan 80 persen lantaran faktor lingkungan.

Memang, kesulitan terbesar yang dihadapi ialah menciptakan gambaran yang akurat mengenai interaksi genetis dan budaya. Mekanismenya niscaya sangat kompleks.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/24/Opini/krn.20090224.157783.id.html
Share this article :

0 komentar: