BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » 'Tangan-tangan Tersembunyi' Yahudi

'Tangan-tangan Tersembunyi' Yahudi

Written By gusdurian on Senin, 16 Februari 2009 | 11.45

'Tangan-tangan Tersembunyi' Yahudi
Mohamad Guntur Romli

pemerhati politik di kawasan Timur Tengah
Ketika bangsa Arab kalah perang melawan Israel pada 1967, Anwar Sadat, Presiden Mesir yang menggantikan Gamal Abd. Nasser, melontarkan slogan a'rif aduwwaka (ketahui musuhmu!). Yang dimaksud musuh adalah Israel, yang selalu menaklukkan gabungan militer negara-negara Arab sejak perang 1948.

Pada perang 1948, Israel dikeroyok Mesir, Suriah, Libanon, Irak, Yordania, Arab Saudi, Yaman, dan pejuang Palestina. Ujung-ujungnya hanyalah kekalahan dan hampir seluruh wilayah Palestina dikuasai oleh Israel. Pada Juni 1967, perang kembali terjadi antara Israel dan tiga negara Arab yang memiliki perbatasan dengan Israel: Mesir, Suriah, dan Yordania, yang dibantu penuh oleh Irak, Arab Saudi, Sudan, Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Lagi-lagi negara Arab itu kalah. Malah wilayah mereka, seperti Sinai dan Jalur Gaza, yang sebelumnya berada dalam pemerintahan Mesir, Dataran Tinggi Golan milik Suriah, dan Tepi Barat yang dikontrol oleh Yordania, dikuasai Israel.

Kekalahan 1967 disebut sebagai Nukbah (Petaka Terbesar) yang hingga saat ini diratapi oleh bangsa Arab. Apatisme dan fatalisme menjangkiti penduduk dan pemimpin negara-negara Arab. Desas-desus yang sangat terkenal: hal yang mustahil mengalahkan Israel, jangankan negara-negara Arab, dunia sudah dikuasai oleh Yahudi dan lobi Israel. Yahudi memiliki "tangan-tangan tersembunyi" yang mampu menggerakkan kemenangan dan kekalahan. Namun, bagi Anwar Sadat, salah satu sebab dari kekalahan bangsa Arab itu tidak mengetahui dengan baik pihak lawan: baik kekuatan maupun kelemahan mereka. Konfrontasi yang dipilih pun hanya berdasarkan "gelap mata" dan emosi kebencian yang meluap-luap.

Sejak saat itu, Sadat memilih jalur rasional: membuka studi-studi Israel di universitas-universitas di Mesir. Untuk strategi perang, Sadat menunjuk Husni Mubarak dari Angkatan Udara Mesir untuk membangun kekuatan dan memutakhirkan teknologi angkatan udara Mesir yang akan menjadi ujung tombak pasukan Mesir. Strategi Sadat ini berbeda dari negara-negara Arab lainnya yang lebih memperkuat pasukan darat.

Untuk hubungan dengan dunia internasional, Sadat tetap memperkuat hubungannya dengan Uni Soviet, namun diam-diam ia membuka dialog dengan Amerika--hal yang paling diharamkan oleh pendahulunya, Gamal Abd. Nasser, yang sangat pro-Uni Soviet. Sadat adalah peletak dasar-dasar pragmatisme politik luar negeri Mesir, yang hingga saat ini tetap dijalankan oleh Mubarak. Kepentingan nasional Mesir diletakkan di atas segala-galanya. Siapa pun negara yang mendukung kepentingan Mesir, maka Mesir akan membuka diri terhadapnya. Dan prioritas utama Mesir saat itu adalah pembebasan tanah-tanah Mesir yang dikuasai oleh Israel, soal negara Palestina, dan konflik Israel-Arab secara umum untuk sementara ditunda.

Enam tahun setelah itu, Anwar Sadat membuktikan strateginya, menang dalam satu pekan dalam Perang Oktober 1973. Pasukan Mesir berhasil mengusir tentara Israel dari Sinai. Awal penyerangan juga dipilih sesuai dengan saat bangsa Yahudi lengah, di Hari Pengampunan ketika umat Yahudi menghentikan aktivitas untuk melakukan ibadah. Setelah menang melalui konfrontasi, Mesir memperkuat hasil itu dengan diplomasi. Israel menyusun serangan balik, tapi terpaksa dibatalkan karena tekanan Amerika yang khawatir akan ada perang nuklir di Timur Tengah. Israel juga terpaksa berunding dan mengakui kedaulatan Mesir atas Sinai. Balasannya, Mesir membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Meskipun Sadat dan Mesir membayar mahal, dikucilkan oleh negara-negara Arab dan dikeluarkan dari Liga Arab karena hubungan diplomatik dengan Israel, faktanya hingga saat ini tak ada lagi pemimpin di negara-negara Arab yang mampu mengulangi prestasi Sadat ini, yang sukses mengalahkan Israel, mulai konfrontasi militer hingga kecerdasan diplomasi. Lebih aneh lagi tak banyak strategi Sadat ini dikaji, kemenangan Sadat dan Mesir lebih dikenal karena alasan mitos: bangsa Mesir yang mampu mengalahkan Israel, seperti Firaun Mesir yang memperbudak bangsa Yahudi selama berabad-abad.

Bagi saya, kesuksesan Sadat itu karena ia telah melampaui sikap dan cara pandang yang salah yang sering digunakan baik oleh pihak kawan maupun lawan Israel. Misalnya tetap terjebak pada stereotipe yang positif atau yang negatif. Dua model stereotipe ini sengaja dibangun untuk menciptakan suatu image terhadap umat Yahudi dengan alasan yang sangat politis.

Stereotipe yang positif--seperti kejeniusan orang Yahudi atau yang berasal dari buku The Protocols of the Elders of Zion bahwa kelompok-kelompok Yahudi di balik penggalangan Revolusi Bolshevik, Revolusi Prancis, dan runtuhnya Nazi Jerman serta penyiapan pemikir dan ilmuwan terkenal dunia: Darwin, Marx, Nietzsche, dan lainnya. Padahal penisbahan ini tak lebih dari strategi perlawanan dari kelompok-kelompok yang sebelumnya selalu ditindas untuk menggetarkan lawan. Buku The Protocols ini bukan buku sejarah, melainkan buku dongeng tentang Yahudi.

Sedangkan stereotipe negatif bahwa umat Yahudi di balik kejahatan di dunia, dari terorisme, penculikan, pencucian uang, hingga krisis moneter--seperti yang pernah diungkap oleh Mahathir Mohamad bahwa Yahudi di balik krisis moneter di Asia--hanyalah dalih untuk mencari kambing hitam dan mengalihkan isu kelemahan internal. Untungnya, di Indonesia, pandangan ini tidak populer. Krisis moneter malah mempercepat proses reformasi di Indonesia.

Bagaimana umat Yahudi bisa survive di tengah intimidasi, penindasan, dan fasisme pada abad ke-20 juga bukan misteri lagi dan tidak perlu dianggap mengacaukan pikiran masyarakat. Saya ingat sosok Rachel Steinn yang difilmkan dalam Black Book. Steinn bisa mewakili bagaimana orang-orang Yahudi dulu bisa selamat dari pembantaian. Rachel Steinn adalah seorang penyanyi keturunan Yahudi yang cantik jelita di Belanda. Seluruh anggota keluarganya dibantai. Dia pun bergabung dengan kelompok pejuang Belanda. Ia menjadi mata-mata dan masuk ke jantung militer Nazi Jerman dengan menggunakan seluruh keahliannya.

Tidak terlalu banyak peran yang diambil oleh Steinn untuk kawan-kawan seperjuangannya--sebagaimana orang-orang Yahudi dulu. Belanda pun berhasil dibebaskan setelah tentara Sekutu menaklukkan Hitler. Kesimpulannya, orang-orang Yahudi waktu itu, sesuai dengan insting mereka, memang terlibat perlawanan dengan alasan mempertahankan hidup. Namun, mereka lebih banyak dibantai atau lari dibanding bisa melawan. Di sinilah selalu ada kemujuran. Orang-orang Yahudi yang bisa selamat bukan karena memiliki kekuatan luar biasa yang bisa mengalahkan lawan, melainkan karena mereka terus berupaya bisa survive di tengah-tengah musuh mereka hingga saat ini di Israel

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/16/Opini/krn.20090216.156947.id.html
Share this article :

0 komentar: