Ekonomi Internasional
Stimulus di Antara Kucuran Bonus
Kongres Amerika akhirnya menyetujui paket stimulus lanjutan senilai US$ 789 miliar. Para manajer puncak malah sibuk membagi bonus.
SEPUCUK surat dilayangkan Jaksa Agung New York Andrew Cuomo kepada Ketua Komite Jasa Keuangan Parlemen Amerika Serikat Barney Frank. Isinya soal pemberian bonus Merrill Lynch senilai US$ 3,6 miliar. Surat yang dikirim Januari lalu itu ternyata berbuntut panjang. Belakangan, penyidik kejaksaan mengendus keterlibatan Bank of America dalam percepatan pencairan duit yang dilakukan secara diam-diam tersebut.
Rabu pekan lalu, Cuomo membeberkan isi surat soal besaran bonus tahun 2008 yang dibagikan raksasa investasi tersebut. Empat petinggi Merrill Lynch menerima US$ 121 juta atau sekitar Rp 1,3 triliun, empat pejabat level di bawahnya kebagian US$ 62 juta (Rp 682 miliar), dan enam pejabat level berikutnya kecipratan US$ 66 juta (Rp 762 miliar). Secara keseluruhan, 696 karyawan masing-masing menerima sedikitnya US$ 1 juta dan 149 eksekutif menerima total US$ 858 juta (Rp 9,4 triliun).
Bonus miliaran dolar itu telah dibayarkan pada akhir Desember tahun lalu. Pemberian bonus pada akhir tahun berjalan itu tidak jamak dilakukan. Sebab, biasanya, perusahaan—termasuk perbankan—mencairkan bonus pada kuartal pertama tahun berikutnya. ”Bank of America tampaknya terlibat dalam percepatan pembayaran,” tulis Cuomo dalam surat tersebut.
Eh, beberapa hari setelah pencairan bonus, Merrill Lynch melaporkan kerugian lebih dari US$ 15 miliar pada triwulan keempat 2008 karena krisis kredit yang sedang berlangsung. Akhirnya, Bank of America mengakuisisi bank investasi itu senilai US$ 50 miliar atau sekitar Rp 550 triliun pada 15 Januari lalu. Inilah rekor transaksi tercepat dalam sebuah proses akuisisi mahabesar. Tiga Direktur Merrill Lynch akan bergabung dengan jajaran manajemen Bank of America.
Yang jadi soal, Merrill Lynch menerima kucuran dana dari program penyelamatan aset bermasalah yang diluncurkan pemerintah Amerika dan bank sentralnya, The Federal Reserve. Ini merupakan bagian dari paket stimulus tahap pertama sebesar US$ 700 miliar yang diluncurkan Oktober 2008. Bantuan serupa diulurkan kepada bank dan lembaga keuangan lain, seperti Lehman Brothers Inc., Citigroup Inc., dan JPMorgan Chase & Co.
Kabar bagi-bagi bonus tersebut langsung menggegerkan publik Amerika. Apalagi Kongres Amerika baru saja memberikan persetujuan akhir atas paket stimulus pemerintahan Obama sebesar US$ 789 miliar, Jumat pekan lalu. Usul pemerintah Barack Obama itu disahkan melalui voting setelah perdebatan panjang. ”Ini akan menciptakan jutaan lapangan kerja,” kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Nancy Pelosi, dari Partai Demokrat California.
Sebelumnya, Selasa pekan lalu, Menteri Keuangan Timothy Geithner mengumumkan penggunaan dana talangan untuk menyerap aset-aset buruk perbankan yang diperkirakan senilai US$ 1 triliun. Juga untuk mencairkan kembali pasar kredit konsumen dan korporasi yang memerlukan US$ 200 miliar sampai US$ 1 triliun. Pemerintah pun merancang program a public-private initiative yang akan mendorong investor membeli aset-aset yang mengakibatkan buku perbankan merah.
Geithner mengatakan pemerintah akan agresif memerangi krisis keuangan yang terburuk dalam tujuh dekade ini. Komitmen dana talangan pun direvisi karena kebutuhannya diperkirakan US$ 2 triliun. Kalau dirupiahkan, kira-kira Rp 22 ribu triliun, setara dengan 22 kali anggaran belanja Indonesia. Namun, tampaknya, jurus-jurus Geithner tak mampu meredam gejolak pasar.
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup turun 6,77 poin ke level 7.932,76 pada perdagangan Kamis pekan lalu. Malah indeks sempat merosot hingga tiga persen karena investor khawatir stimulus US$ 789 miliar tersebut tidak akan cukup untuk mengangkat perekonomian Amerika dari resesi.
Pasar saham Asia ikut-ikutan jatuh. Bursa Jepang, misalnya, kehilangan hampir tiga persen. Indeks Hang Seng melorot 305,89 poin ke posisi 13.233,32. Indeks Kospi Korea Selatan juga terkoreksi 1,4 persen dan indeks Shanghai turun 2,5 persen.
Perekonomian Amerika dan negara lain yang masih terus memburuk menyebabkan para investor semakin pesimistis atas kemampuan pemerintah memperbaiki perekonomian global secepatnya. ”Masalahnya, Amerika seperti sebuah lubang besar. Orang-orang takut dana triliunan dolar itu tidak akan banyak membantu,” kata Francis Lun, General Manager Fulbright Securities Ltd. di Hong Kong.
Menurut Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas Mirza Adityaswara, pernyataan Geithner bahwa kebutuhan dana talangan akan mencapai US$ 2 triliun (15 persen produk domestik bruto Amerika) justru menimbulkan ekspektasi negatif. Itu berarti ia mengkonfirmasi kerugian perbankan masih ada sekitar US$ 1 triliun lagi—membengkak dari yang dideteksi selama ini sebesar US$ 1 triliun. ”Artinya, kondisi krisis keuangan ini berat sekali,” kata Mirza.
Mirza menambahkan, Geithner juga mengatakan akan membuat suatu lembaga khusus yang bakal membeli kredit macet, semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Masalahnya, lembaga itu pasti akan membeli dengan harga murah. ”Artinya lagi, masih ada another losses buat bank-bank itu.”
Persoalan lain, kata Mirza, bagaimana pemerintah Amerika memenuhi dana US$ 2 triliun itu. Pilihannya: mencetak uang atau menerbitkan obligasi. Mengeluarkan surat utang negara bukan perkara gampang, karena pasar meminta bagi hasil alias yield yang tinggi. Pada awal tahun, bunga obligasi di Amerika 2,2 persen. Sekarang sudah naik menjadi 2,9 persen. Bisa-bisa utang Amerika bakal bengkak enggak keruan. Tahun lalu saja, utang mereka bertambah US$ 800-an miliar. Tahun ini berpotensi meningkat menjadi US$ 1,5-2 triliun. ”Uangnya dari mana?” kata Mirza
Namun yang membuat pasar makin keki adalah kurang transparannya penyaluran dana stimulus. Skandal bonus tadi hanya sebagian kecil dari problem Amerika. Kantor berita Bloomberg, misalnya, pernah meminta rincian pengucuran dana kepada US Freedom of Information Act. Tapi jawaban mereka sangat tidak gamblang: The Fed sudah mengucurkan dana melalui 11 program utama. Delapan program di antaranya dilakukan dalam kurun 15 bulan terakhir, di tengah krisis finansial, sejak terjadinya Great Depression.
Menurut Scott Talbott, Senior Vice President Financial Services Roundtable, perbankan enggan merilis informasi tersebut. Sebab, jika angka-angka itu dipaparkan ke publik, justru akan bisa menunjukkan kelemahan perusahaan. Mereka khawatir akan terjadi short selling dan para investor bakal menarik dana besar-besaran.
”Harus ada keseimbangan antara transparansi dan melindungi kepentingan publik,” kata Talbott. Para pembayar pajak, ia menambahkan, memang berhak mengetahui ke mana uang singgah, tapi jika dipublikasikan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap sistem.
Beberapa lembaga keuangan kakap Amerika, seperti Citigroup, Bank of America Corp., JPMorgan Chase, Wells Fargo & Co., Goldman Sachs Group Inc., dan Morgan Stanley, menolak menjawab apakah mereka sudah menerima kucuran dana. Semua bungkam jika ditanyai soal perkembangan penyaluran dana stimulus tahap pertama sebesar US$ 700 miliar.
Pemerintah pun mencoba menggunakan jurus lain untuk membalik pesimisme. Misalnya mengeluarkan larangan menggunakan jet pribadi kepada petinggi delapan bank terbesar di Amerika. Mereka juga harus siap menerima pemotongan gaji. Chief Executive Officer Bank of America Kenneth Lewis sudah melakoninya. Ia menghabiskan delapan jam perjalanan menggunakan kereta api menuju kantor pusatnya di Charlotte, Carolina Utara.
Retno Sulistyowati (AP, AFP, Bloomberg, Washington Post)
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/16/EB/mbm.20090216.EB129543.id.html
Stimulus di Antara Kucuran Bonus
Written By gusdurian on Selasa, 17 Februari 2009 | 11.52
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar